Teologi Transformatif 2

Teologi Transformatif

Cara pandang kesukuan bangsa Arab jahiliah yang menciptakan prioritas kelas-kelas sosial pun direvisi oleh Islam melalui ayat: "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa", bukan status sosial maupun hartanya. Perhatian terhadap fakir miskin dan anak terlantar juga sangat ditekankan, salah satunya melalui Q.S. Al-Ma'un, di mana orang yang tidak memiliki kepedulian sosial disebut sebagai pendusta agama. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

 

Ini menunjukkan bahwa agama memiliki peran sosial yang penting. Ini sejalan pula dengan pemikiran Engels (sahabat Marx). Ketika Marx pesimistik terhadap agama dan menganggapnya candu bagi masyarakat, Engels --- dalam bukunya "The Peasant War in Germany" --- justru optimistik dan melihat agama berpotensi untuk menjadi kekuatan revolusioner yang dahsyat. Ia mencontohkan aksi Pendeta Munzer, yang memilih untuk melepaskan diri dari Martin Luther yang mendukung Raja Jerman dalam menindas para petani.

 

Pada masa kontemporer, kita bisa jumpai pula aksi-aksi kepedulian sosial di dunia Islam. Sebagai contoh, Farid Esack di Afrika Selatan, yang mengembangkan teologi pembebasan dan pluralisme. Dengan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Al-Quran, Esack mampu membangkitkan semangat perlawanan kaum miskin terhadap penindasan yang dilakukan para tengkulak dan tuan tanah, serta berhasil mengubah kehidupan perekonomian masyarakat miskin menjadi lebih baik.

Begitu juga Ruhullah Khomeini di Iran. Melalui kekuatan nalar dan tafsir aktual yang bersumber pada tradisi Islam, Khomeini sukses menggerakkan revolusi masyarakat muslim Iran dalam menggulingkan pemerintahan despotik Syah Pahlevi dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang dikenal dengan sebutan "wilayah al-faqih".

 

Dengan demikian, teologi transformatif yang membumi dan peduli sosial ini sudah semestinya diterapkan pula di negeri kita tercinta. Sebagaimana kita ketahui bahwa negeri ini sedang sakit. Globalisasi telah merambah di segala bidang, dari produk pangan hingga sekolah. Mekanisme pasar bebas pun tak ketinggalan mengambil peran. Sehingga, untuk kebutuhan sembako sekalipun, kita mesti mengimpor. Ironis sekali untuk sebuah negeri agraris.

 

Lebih dahsyat lagi, perusahan-perusahaan asing telah dengan leluasa mengeruk kekayaan negeri ini. Ratusan triliun harta publik telah mereka boyong. Bahkan pihak asing turut pula terlibat dalam penyusunan Undang-Undang, melalui persetujuan pemerintah kita yang lebih suka menjadi budak di negeri sendiri. Belum lagi jeratan utang luar negeri yang maha besar. Sementara, rakyat hanya bisa menggigit jari sembari berkutat dengan kelaparan, kemiskinan, penyakit, dan kebodohan.

 

Melihat kondisi ini, ulama dan cendekiawan muslim mesti turun gunung demi membangun kesadaran masyarakat akan kondisi aktual negerinya. Supaya rakyat tidak mengulang kesalahan saat memilih pejabat negara dalam pesta demokrasi. Supaya rakyat tidak lagi tenggelam dalam banjir pencitraan politisi hitam saat kampanye. Di sisi lain, ulama dan cendekiawan muslim negeri ini mesti intensif pula dalam mengingatkan dan menegur pemerintah saat menyimpang dari khittah-nya sebagai pemangku amanat rakyat.

Oleh: Muhammad Anis, Dosen Pascasarjana UGM dan UIN Yogyakarta.

Kirim komentar