Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi (Bagian 1)

Redaksi Islam Indonesia kali ini menurunkan “Kajian” berseri tentang sosok fenomenal sekaligus kontroversial dalam sejarah pemikiran Islam, yakni Syaikh Akbar Ibn Arabi. Tujuannya agar kita dapat sedikit memahami pemikiran salah satu ulama produktif dengan jumlah karya tidak kurang dari 300 buah itu, yang telah banyak mempengaruhi perkembangan khazanah keilmuan Islam. Dengan tulisan berseri ini, Redaksi Islam Indonesia berharap masyarakat Muslim Indonesia dapat memperluas wawasan tentang berbagai pemikiran yang berkembang di dunia Islam, sekaligus menyadari bahwa keragaman khazanah keilmuan Islam justru menunjukkan kekayaan dan keluasan agama Ilahi ini. Dalam kesempatan lain, rubrik “Kajian” juga akan menuangkan pemikiran tokoh-tokoh dan isu-isu penting lain yang diupayakan bersifat kritis dan mendalam.

* * *

Salah satu kekuatan Ibn Arabi ialah ketaatannya menggunakan alat seperti bahasa, logika dan teks dalam tiap aspek pemikirannya. Bagi seorang literalis, Ibn Arabi akan tampak memenuhi seleranya. Dalam bab Taharah (Bersuci) karya Al-Futuhat Al-Makkiyah yang pernah diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Menghampiri Sang Kudus”, Ibn Arabi terlihat sangat literalis, sedemikian sehingga kalangan tekstualis kehilangan alasan untuk melawan dan menolak argumennya.

Tapi, di sisi lain, Ibn Arabi berhasil menjadikan teks-teks Arab (yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis) seperti bola yang dia mainkan terus-menerus. Kata-kata bahasa Arab memang mendukung cara berfikir seperti ini. “Liarnya” Ibn Arabi (dalam menggunakan teks-teks) itu terakomodasi karena dia menguasai bahasa Arab bahkan dia menemukan ‘dzauq araby’ (rasa bahasa Arab asli) di dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya. Dan yang lebih utama, seperti kata Toshihiko Izutsu, bahasa Al-Qur’an itu sudah merasuki tiap pengalaman batin Ibn Arabi.

Seperti diketahui, bahasa Arab merupakan bahasa ‘huruf’ dan bukan bahasa ‘kata’. Satu huruf dalam bahasa Arab bisa memiliki banyak makna. Oleh sebab itu, dalam Alqur’an, Allah memulai dengan kata ‘ba’ dalam bismillah. Jika merujuk pada kamus, seperti ‘Lisanul Arab’ atau ‘Majma’ Al Ma’any’, kita akan menemukan bahwa huruf ‘ba’ itu saja memiliki banyak makna. Dan Ibn Arabi sangat pandai bermain-main dengan kelenturan kata sehingga berujung pada kesimpulan—yang bisa dikatakan—bersifat paradoksal. Jadi dia memulai dari seorang yang tampak literalis tapi berujung dengan seoarang yang non-literalis bahkan bisa dikatakan anti terhadap teks.

Fenomena ini tampaknya timbul dari seorang ahli suluk yang telah menyatu padu dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam pengantar terjemahan buku Taoisme-Sufisme karya Toshihiko Izutsu (Mizan, 2015) dikatakan bahwa Ibn Arabi sebenarnya menceburkan dirinya dalam pemahaman Al-Qur’an—yang ‘beyond’ imajinasi manusia. Oleh sebab itu, siapapun bisa “menggunakan” Al-Qur’an; mulai dari kelompok garis keras seperti ISIS hingga kaum Sufi; mulai dari filsuf dan sarjana zaman dahulu hingga sekarang. Hampir tidak ada orang yang tidak bisa memanfaatkan kandungan Al-Qur’an. Mau digunakan sebagai jalan kesesatan “hujjatun ‘alaih” atau jalan kebenaran “hujjatun lahu”. Keduanya sama-sama bisa menggunakan Al-Qur’an. Dan Ibn Arabi memahami “kemahakayaan” sekaligus “keliaran” Al-Quran itu.

Ibn Arabi menurunkan pengalaman ber-agama-nya dalam teks bahasa Arab yang sangat kaya dan lentur itu. Hal ini juga diakui oleh Toshihiko (yang berpendapat) bahwa teks-teks Ibn Arabi dibuat sedemikian rupa mirip isyarat-isyarat bagi mereka yang ingin membaca di balik teks. Penerjemahan buku ini (Taoisme-Sufisme) juga merujuk pada beberapa teks yang dikutip oleh Toshihiko dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa aslinya. Di sisi ini, teks asli Ibn Arabi memungkinkan untuk “digelandang” ke arah yang berbeda oleh orang yang berbeda. Bahkan, orang bisa melihat kemungkinan tabrakan antara terjemahan Toshihiko dari teks-teks asli Ibn Arabi dalam bahasa Arab dengan terjemahan orang lain.

Oleh sebab itu, tidak salah apabila orang membaca Ibn Arabi merasa bahwa semua agama sama. Atau merasa, hanya agama Islam satu-satunya agama yang benar. Keduanya sama-sama valid. Apa pasal? Karena teks Ibn Arabi berusaha sedapat mungkin mengikuti teks-teks Al-Qur’an yang juga memungkinkan kesalahpahan yang sama. Ini bukan karena niat buruk si penafsir melainkan karena kekayakan makna yang terkandung dalam teks tersebut.

bersambung

sumber islamindonesia

Kirim komentar