Wanita Diantara Rekayasa Tuhan dan Manusia (2)

Wanita Diantara Rekayasa Tuhan dan Manusia (2)

Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan sedemikian rupa, ke dalam benaksetiap orang, bahwa karena “kodrat” seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk mendapat kebebasan dan kesempatan yang lebih luas dari perempuan. Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang perempuan.

Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing jenis kelamin, disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas dalam bidang pendidikan dan pekerjaan daripada perempuan. Laki-laki diberikan selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai sektor publik yang dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik.Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap sesuatu yang dihargai dalam masyarakatmenjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan terpaksa menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki.

Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi dalam bentukproses marginalisasi dan sub-ordinasi.

Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, kesempatan dalam bekerja antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan.

Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah,tidak dianggap “bekerja”, karena dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun di luar rumah, juga hanya akan dikategorikan sebagai penghasilan tambahan penghasilan bagi seorang suami, sehingga dari segi nominal pun perempuan digaji lebih kecil daripada kaum laki-laki.Mengenai marginalisasi perempuan ini, Ivan Illich (1998: 16) mengungkapkan sebuah fakta sebagai berikut:

“Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 % perempuan Amerika bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%… Kini separuh perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan… Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja… Ini semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis.Tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan laki-laki, yakni 3:5—persispersentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner , politis, teknologis, atau seksual, tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki.”

Begitu pula, pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan laki-laki. Perempuan yang melahirkan bayi laki-laki lebih dihargai daripada perempuan yang melahirkan bayi perempuan. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.

Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, dan pornografi.Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya.

Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah juga adalah pendapat teori nature dalam filsafat Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki – yang – tidak lengakap. (Budiman, 1985: 6).

Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan gender yang termanifestasi dalam berbagai bentuknya. Karena diskriminasi gender perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat” –nya yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya : irrasional, lemah, emosional dan sebagainya sehingga kedudukannya selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting dan tidak sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.[TvShia/LiputanIslam]

Kirim komentar