Rezim Arab Saudi dan Penindasan Minoritas Syiah

Rezim Arab Saudi dan Penindasan Minoritas Syiah

 

 

Pengadilan pidana Riyadh menunda putusan terhadap ulama Syiah Arab Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr karena protes luas di negara itu dan negara-negara lain terhadap keputusan rezim Al Saud untuk mengeksekusi mati tokoh Syiah itu. Sheikh al-Nimr diserang dan mengalami luka parah kemudian ditangkap oleh pasukan keamanan Saudi dalam perjalanan ke rumahnya di daerah Qatif, Provinsi Timur Arab Saudi pada 8 Juli 2012. Penangkapan ini memicu gejolak di provinsi yang kaya minyak tersebut. Menurut anggota keluarganya, Sheikh al-Nimr telah disiksa dengan kejam di penjara dan menolak perawatan medis oleh otoritas penjara Saudi.

Dengan membacakan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Syeikh al-Nimr, Pengadilan Tinggi Arab Saudi pada 25 Maret lalu menjatuhkan vonis mati kepada ulama besar Syiah tersebut. Dia dituduh menyebarluaskan konflik sektarian di Saudi, bertemu dengan orang-orang yang tersangkut kasus hukum, dan mengkampanyekan serangan terhadap pasukan keamanan.

Sheikh al-Nimr merupakan salah seorang tokoh senior Syiah Arab Saudi yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah dalam beberapa tahun terakhir. Dia mengkritik kebobrokan dan despotisme rezim Al Saud serta menyeru semua orang untuk menuntut reformasi dan mewujudkan kebebasan dan demokrasi di negara itu. Dia juga setuju dengan pembentukan partai-partai politik di Saudi. Selain itu, Sheikh al-Nimr juga aktif mengkampanyekan reformasi dan protes damai serta penolakan terhadap kekerasan. Dia menentang keras perpecahan mazhab antara pengikut Syiah dan Ahlu Sunnah.

Ulama Syiah ini sudah sering berbicara tentang perilaku buruk para pemimpin negara-negara Arab di pesisir Teluk Persia dan dia menginginkan masyarakat agar melawan kerusakan dan kezaliman tersebut. Menurut Sheikh al-Nimr, tradisi mewariskan kekuasaan di tengah negara-negara Arab adalah tindakan ilegal dan ia mempertanyakan legalitas sistem monarki absolut di Arab Saudi. Sheikh al-Nimr juga giat menentang praktik diskriminasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh para penguasa Riyadh. Sepak terjangnya membuat rezim Al Saud berang dan mereka ingin membungkam setiap seruan menuntut keadilan dan memerangi kezaliman di Saudi.

Selama beberapa tahun lalu, Sheikh al-Nimr berkali-kali ditangkap dan disiksa oleh aparat keamanan Saudi. Penangkapan terakhir terhadapnya terjadi dua tahun silam. Tindakan ini memicu protes luas masyarakat di kota-kota berpenduduk Syiah di wilayah timur Saudi. Komunitas Syiah kemudian turun ke jalan-jalan menggelar demonstrasi, tetapi aksi mereka ditumpas oleh pasukan keamanan rezim Al Saud dan tiga demonstran dilaporkan tewas hanya di hari pertama penangkapan Sheikh al-Nimr. Meski demikian, sejumlah kelompok oposisi tetap melanjutkan aksi mereka dan memperingatkan rezim Al Saud atas setiap tindakan yang membahayakan keselamatan Sheikh al-Nimr.

Penangkapan Sheikh al-Nimr dilakukan setelah memuncaknya gerakan Kebangkitan Islam di negara-negara rezim tirani di Timur Tengah dan Afrika Utara. Minoritas Syiah Saudi turun ke jalan-jalan sebagaimana bangsa-bangsa lain, menuntut pengembalian hak-hak warga negara dan kebebasan sipil. Namun tragisnya, tuntutan legal tersebut disikapi dengan tindakan represif oleh rezim Al Saud. Mereka menangkap tokoh-tokoh oposisi dan ulama Syiah untuk mengakhiri protes dan gerakan menuntut keadilan di Arab Saudi. Nama Sheikh al-Nimr berada di urutan teratas daftar penangkapan.

Para pemimpin Al Saud dalam dua tahun lalu gagal menumpas perlawanan Sheikh al-Nimr meskipun telah melakukan banyak penyiksaan. Oleh karena itu, rezim Al Saud ingin mengeksekusi mati Sheikh al-Nimr dengan tujuan menciptakan ketakutan di tengah para pengikutnya yang menuntut hak-hak sipil mereka. Akan tetapi langkah itu justru membuat Riyadh harus membayar biaya mahal. Kebanyakan pengamat politik Saudi percaya bahwa jika putusan eksekusi Sheikh al-Nimr benar-benar dilaksanakan, gelombang baru protes akan mengguncang kota-kota berpenduduk Syiah di negara kaya minyak itu. Oleh sebab itu, rezim Al Saud terpaksa menunda keputusan tersebut.

Wilayah Timur Tengah menyaksikan transformasi besar dalam beberapa tahun terakhir. Para pemimpin rezim Al Saud tentu saja tidak bisa lagi mengadopsi kebijakan represif terhadap masyarakat Syiah di wilayah timur. Perkembangan di negara-negara seperti, Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, dan Bahrain menunjukkan bahwa sebuah kezaliman mampu meruntuhkan kekuasaan rezim despotik atau paling tidak mengguncang pilar-pilar istana mereka. Rezim Al Saud juga tidak terlepas dari aturan main ini.

Tidak hanya komunitas Syiah yang ditindas oleh rezim Al Saud selama beberapa dekade lalu, tapi juga ada lapisan masyarakat lain di Arab Saudi yang dirampas hak-hak dasar mereka, khususnya kaum perempuan. Mereka tidak bisa menikmati hak-hak legalnya sebagai warga negara hanya karena interpretasi keliru sekte Wahabi terhadap teks-teks agama dan ajaran Islam. Tentu saja, masyarakat Syiah berada di bawah penindasan masif karena akidah dan keyakinan mereka. Dari sisi lain, mereka juga menghadapi perlakuan terburuk dari segi politik dan keamanan dan hal ini dikarenakan wilayah tempat tinggal mereka yang strategis dan kaya minyak.

Minoritas Syiah Saudi dianggap sebagai masyarakat kelas dua dan mereka tidak bisa mendapatkan posisi tinggi di bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Tidak ada data resmi tentang jumlah populasi Syiah di Arab Saudi. Namun, jumlah mereka diperkirakan antara 10-15 persen dari total penduduk Saudi atau sekitar 2.700.000 jiwa. Jumlah itu melebihi populasi Syiah yang tinggal di Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, dan Yaman. Bila dibanding dengan total penduduk Saudi, jumlah warga Syiah di negara itu berada di urutan keempat setelah Irak, Lebanon, dan Bahrain.

Syiah Saudi mendiami wilayah strategis di Arab Saudi dan hal ini memberi poin lebih kepada mereka dalam berjuang. Mayoritas mereka tinggal di Provinsi Timur Saudi yang dikenal kaya akan minyak bumi. Ladang minyak Ghawar dan Qatif berada di wilayah berpenduduk Syiah. Ladang minyak Ghawar menyimpan lebih dari 60 miliar barel cadangan minyak atau kira-kira dua kali lipat dari total cadangan minyak Amerika Serikat. Biaya pengeluaran minyak di wilayah itu kurang dari tiga dolar per barel. Sekitar 90-95 persen dari pendapatan devisa Saudi dan 15 persen konsumsi minyak dunia berasal dari wilayah tersebut. Selain itu, sekitar 40-60 persen dari tenaga kerja yang aktif di industri perminyakan Saudi adalah warga Syiah.

Di samping itu, komunitas Syiah Saudi dikenal aktif menentang despotisme rezim Al Saud dan para ulama Syiah memainkan peran signifikan dalam gerakan tersebut. Mereka memberi pencerahan dan mengarahkan perjuangan komunitas Syiah terhadap kediktatoran dan despotisme rezim penguasa. Oleh sebab itu, rezim Al Saud berupaya menangkap ulama-ulama Syiah seperti Sheikh al-Nimr, yang memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara. Akan tetapi, kebijakan represif justru berdampak sebaliknya dan motivasi Syiah untuk melanjutkan perjuangan semakin menggelora. [TvShia/IRIB Indonesia]

Kirim komentar