Konsep Nasionalisasi Dalam Al Quran
Nasionalisasi perusahaan asing memang isu seksi, dan sangat berpotensi menyihir calon pemilih. Dalam benak rakyat, nasionalisasi berarti menjadi tuan dan puan di negeri sendiri. Kelak, yang menjadi komisaris dan direktur dari berbagai perusahaan yang selama ini mengeruk kekayaan alam kita adalah anak-anak bangsa ini. Kemakmuran akan meningkat. Tak heran bila ada tokoh-tokoh yang menyuarakan pentingnya nasionalisasi. Bahkan ada tokoh yang berani menjanjikan nasionalisasi dalam kampanyenya.
Akan tetapi, menurut sebagian pengamat, janji nasionalisasi berpotensi besar menjadi hiasan di bibir; hanya jargon besar tanpa sedikit pun prospek untuk merealisasikannya. Nasionalisasi perusahaan asing dipastikan akan membuat negeri ini berhadapan-hadapan dengan “komunitas” internasional. Indonesia nantinya akan disibukkan dengan beragam gugatan dari perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi itu. Para investor juga akan lari. Lalu, kapan dan bagaimana bisa membangun demi kesejahteraan rakyat?
Jadi harus bagaimana? Di sini kita perlu menelaah salah satu perintah Al Quran, yaitu surah An-Nahl: 90. Ayat yang sangat sering dibacakan para khatib Jumat ini memberi panduan yang sangat jelas. Di dalam surah tersebut, ditegaskan bahwa Alah SWT menyuruh kita untuk bersikap proporsional dan baik (innallaha ya`muru bil-‘adli wal-ihsan). Sikap proporsional dalam kasus nasionaliasi ini berarti kita tidak mengedepankan emosionalitas yang hanya akan membuat negeri kita terpuruk. Tapi, di sisi lain, kita juga tetap melawan keserakahan perusahaan-perusahaan asing yang menjarah kekayaan negeri, dengan strategi dan perhitungan matang.
Sedangkan ihsan berarti bersikap baik dalam konteks menjalankan perintah Tuhan. Dalam sebuah hadits, dikatakan bahwa ihsan adalah berbuat baik yang didasarkan kepada kesadaran bahwa setiap saat, kita sedang dipantau oleh Allah. Jadi, ihsan berarti kebaikan yang berasal dari religiusitas. Jika selama ini didengung-dengungkan partai atau pemimpin yang religius, konsep ihsan menjadi sangat relevan dalam memberikan definisi tentang religiusitas. Hanya pemimpin yang benar-benar ihsan, yang berani (tak hanya janji di bibir) menasionalisasi, meski mati adalah taruhannya, karena dia yakin sedang diawasi oleh Allah SWT.
Lanjutan dari ayat ini adalah: wa iytaa`i dzil qurba (menyantuni kerabat terdekat). Dalam konteks kebangsaan, kerabat terdekat jelas merujuk kepada saudara sebangsa dan setanah air. Al-aqrab fal-aqrab –yang terdekat harus diprioritaskan. Di sisi ini, nasionalisme dalam artian memprioritaskan kepentingan saudara sebangsa ketimbang kepentingan asing, mendapatkan pembenarannya dari agama.
Kemudian, ayat berikutnya menyempurnakan petunjuk dari Tuhan kepada kita: wa yanha ‘anil fahsya`i wal munkar –melarang manusia untuk melakukan keburukan dan kejahatan. Seluruh konsep tuntunan Tuhan di atas ditutup dengan klausul tidak adanya unsur keburukan dan kejahatan. Berbagai macam jargon tentang keadilan, kebaikan, keberpihakan kepada rakyat, nasionalisme, kesejahteraan, dan lain-lain, akan tetap buruk di hadapan Tuhan, dan dipastikan hanya akan menyengsarakan rakyat, jika isu-isu di atas berjalin berkelindan dengan perilaku jahat dan buruk seperti kolusi, korupsi, gratifikasi, dan memperkaya diri atau golongan.[tvshia/liputanislam.com]
Kirim komentar