Presiden dan Mentri Agama, Kecamuk Toleransi dan Intoleransi Beragama Di Indonesia

 Presiden dan Mentri Agama, Kecamuk Toleransi dan Intoleransi Beragama Di Indonesia

Di tengah pawai kerukunan antarumat beragama tingkat Provinsi Banten di Serang, Sabtu (15/2), Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengimbau para penganut dan tokoh agama untuk tetap menjaga kerukunan antarumat, khususnya menjelang Pemilu 9 April mendatang. "Hati-hati menjelang pemilu terhadap upaya pihak-pihak tidak bertanggung jawab, yang akan membuat disharmoni sosial. Kita harus tetap jaga kerukunan," katanya.

 

Saat ini, lanjut Menag, kondisi kerukunan antarumat beragama menunjukan kondisi terbaiknya. Sebab saat ini tidak ada masalah yang menganggu kerukunan umat beragama. Namun demikian, kerukunan itu sesuatu yang dinamis, karena hari ini rukun besok belum tentu. "Gerak jalan ini tujuannya untuk memperkokoh kerukunan umnat beragama khususnya di Provinsi Banten. Ini momentum untuk mengingatkan kembali pentingnya kerukunan serta menyadarkan kita bersama bahwa kerukunan itu dinamis," katanya.

 

Kerukunan menjadi kunci karena tanpa kerukunan tidak ada persatuan. "Kerukunan antarsuku, peradaban, budaya, dan nilai adat istiadat adalah kunci sukses pembangunan," imbuhnya.

 

Jika kerukunan itu bisa diciptakan, kata Suryadharma Ali, maka rukunlah Indonesia, tantangan sebesar apa pun bisa dihadapui, musuh sebesar apa pun bisa dilawan. "Jaga kerukunan jangan sampai kemasukan pandangan-pandangan yang bisa merusak kerukunan itu," katanya. Lantas bagaimana tanggapan dan perhatian Menag terhadap para pengungsi Syiah Sampang di pengungsian yang menjadi korban provokasi sejumlah pihak yang terang-terangan mencederai kerukunan?

 

Di tempat dan waktu terpisah, ketua Moderate Muslim Society, Zuhairi Misrawi, justru menilai sikap intoleransi di Indonesia yang terjadi dalam beberapa tahun ini, yang didominasi pelanggaran dalam kebebasan beragama, sebagai potret intoleransi yang cukup besar dan meluas. Menurutnya, gejala intoleransi paling banyak terjadi di Jawa Barat. "Provinsi Jawa Barat merupakan tempat terbesar terjadinya peristiwa intoleransi kebebasan beragama. Masalah Syiah di Jawa Timur itu ada karena tidak selesai di Jawa Barat," tuturnya.

 

Dirinya menuturkan, kasus GKI Yasmin (Bogor), Syiah, dan Ahmadiyah adalah contoh intoleransi yang terjadi di Jawa Barat. Jika kasus intoleransi di Jawa Barat ini didiamkan atau dibiarkan, dikhawatirkan akan merembet ke daerah lain di Indonesia. "Kita khawatirkan dampak negatif dari pembiaran intoleransi kebebasan beragama," ucapnya.

 

Untuk itu, Zuhairi mendesak agar pemerintah mengambil langkah tegas terhadap kasus intoleransi tersebut. Menurutnya, Presiden dan Menteri Agama adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas intoleransi kebebasan beragama. [TvShia/Islam Times]

Kirim komentar