"Jihad Keluarga", Modus Takfiri Kuasai Negara

"Jihad Keluarga", Modus Takfiri Kuasai Negara

Globalisasi “jihad” versi kasar dan brutal kaum takfiri Wahhabi yang diproklamirkan sejak mereka beroperasi di Suriah ternyata digulirkan dalam pelbagai modus tak terduga. Selain menghalalkan cara-cara teror yang bukan hanya diharamkan, tapi juga mendiskreditkan ajaran Islam, globalisasi itu juga memunculkan apa yang maktub dalam laporan dan tayangan video terbaru yang diungkap jurnalis Mesir, Waleed Abu al-Khair, sebagai "jihad keluarga”. Bagi masyarakat Suriah, fenomen ini menjadi "ancaman serius" bagi masa depannya.

Menurut peneliti organisasi teroris Asia dari Pusat Studi Strategis Regional di Kairo, Mayjen. (pur.) Wael Abdul Muthalib, rekrutmen jihadi di bawah bendera "jihad" untuk bertarung atas nama al-Qaeda di pelbagai kawasan di Timur Tengah telah menjadi metode sistematis yang digunakan organisasi teroris itu untuk memberi ilusi kepada para simpatisannya bahwa mereka mampu merekrut jihadi dari seluruh dunia. "Acapkali kehadiran ini murni untuk tujuan media dan politik dan sama sekali tidak bertujuan militer mengingat kecilnya jumlah para jihadi tersebut," ujarnya.

Abdul Muthalib menambahkan bahwa para jihadi yang berduyun-duyun ke Suriah berasal dari sejumlah negara mayoritas Muslim di bagian tengah dan tenggara Asia, seperti Chechnya dan negara-negara eks Uni Soviet seperti Kazakhstan, Tajikistan, dan Kyrgyzstan, serta Indonesia, Thailand, Malaysia, dan pada tingkat lebih rendah, Cina. Para calon jihadi itu tidak melintasi perbatasan secara sendiri, melainkan sebelumnya telah diatur sedemikian rupa dan pelaksanaannya dikoordinasikan secara penuh dengan kelompok jihadi di Suriah.

"Jihad Keluarga"
Menurut Mahmoud Rafih, aktivis Suriah dari Komite Koordinasi Lokal Manbij di Suriah utara, dalam beberapa bulan terakhir, keluarga para jihadi tiba di wilayah yang dikuasai kelompok afiliasi al- Qaeda seperti Negara Islam Irak dan Levant (ISIS) dan Jabhah Nusrah (JAN), termasuk beberapa dari Chechnya dan Tajikistan. "Kebanyakan keluarga migran itu tinggal di sejumlah rumah di pinggiran Idlib. Mereka ditempatkan dengan penuh rahasia. Namun, identitas mereka segera diketahui karena pasangan mereka mengunjungi mereka berkali-kali, dan kemudian diketahui bahwa beberapa jihadi Chechnya telah membawa keluarga mereka," lanjutnya.

Keluarga migran itu, tambah Rafih, juga menetap di suatu kawasan dalam kota Orme al-Kubra di provinsi Aleppo, persisnya di kompleks pemondokan Rif al-Mohandessin II. "Masalah ini terungkap menyusul pecahnya konflik antara ISIL dan faksi-faksi bersenjata lainnya, dan JAN mengeluarkan pernyataan yang mengumumkan niatnya untuk melindungi keluarga migran dan mengatur kepergian mereka dari negara itu jika memang diinginkan," tambahnya.

Sebelumnya, kemunculan "jihad keluarga" terungkap di Chechnya dan Afghanistan, ujar Mazen Zaki yang menjabat direktur divisi media baru pada Pusat Studi dan Riset Lapangan Ibnu al-Waleed, Mesir. "Inilah cara yang digunakan para jihadi ekstremis seperti al-Qaeda untuk merekrut para pemuda yang dinyatakan akan ragu-ragu untuk terlibat dalam ' jihad ' karena ikatan kekeluargaan dan sosial, dengan menjelaskan kepindahan sekelompok besar keluarga dari Kazakhstan... Baru-baru ini, beredar klip video tentang sebuah keluarga besar yang terdiri dari 150 jiwa bermigrasi dari Kazakhstan ke Suriah untuk 'berjihad'," pungkasnya. Video yang diposting ISIL secara online pada bulan Oktober itu menunjukkan pria, wanita, dan anak-anak dari segala usia. Pada bulan Desember, harian Inggris, The Telegraph, menurunkan laporan tentang aliran keluarga migran ke Suriah untuk "berjihad", dengan fokus pada ayah asal Maroko beserta kelima anaknya.

Kerisauan Internasional
Jenis migrasi ini dipastikan akan menyulut ancaman serius di masa depan. "Bahayanya terletak pada keluarga-keluarga tersebut, yang dijiwai dengan ideologi terorisme, tinggal di Suriah dan mempengaruhi struktur sosial di masa depan, yang boleh jadi merupakan langkah terencana pihak organisasi teroris untuk memastikan adanya lahan subur bagi ide-ide dan kehadirannya secara umum di Suriah. Selain itu, lanjutnya, kelangsungan hidup keluarga tersebut akan menghasilkan generasi baru yang dijejali ide-ide teroris al- Qaeda dan memandang Suriah sebagai tanah 'jihad suci', selain bahaya generasi yang berpindah ke daerah lain di dunia 'untuk berjihad'," ujar Zaki.

Banyak pemerintah di dunia merasa risau terhadap penyebaran fenomena ini, berikut perkembangan ideologi ekstremis di negaranya setelah keluarga tersebut pulang ke tanah air. Menurut catatan Abdul Muthalib, beberapa pemerintah segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini. Presiden Republik Dagestan Rusia, Ramazan Abdulatipov, misalnya, mengumumkan bahwa paspor tidak akan dikeluarkan untuk perjalanan keluar negeri sampai pemohon telah "sepenuhnya diperiksa" dan "keluarga pemohon menyakinkan".

Direktur Layanan Keamanan Federal Rusia cabang Dagestan, Andrei Konin, mengumumkan pada bulan Juli bahwa setidaknya 200 warga Dagestan berperang di Suriah, kebanyakannya kawula muda yang mengaku dirinya pergi ke sana untuk belajar. "Dengan bantuan pemerintah daerah Dagestan dan para pemimpin spiritual, langkah-langkah telah diambil untuk mencegah anak-anak muda bertolak ke Suriah untuk berperang," ungkap Konin.

Pada bulan Januari lalu, ujar al-Bawaba, otoritas Kyrgiztan mengumumkan bahwa pihaknya telah menangkap seorang "pemimpin teroris senior" yang dicurigai merekrut para jihadi untuk terlibat dalam "jihad" di Suriah.

Di Indonesia, para pejabat berwenang mengatakan seorang terduga teroris yang terbunuh sepanjang operasi keamanan pada Tahun Baru, telah merencanakan untuk melakukan jihad di Suriah. "Nurul Haq (terduga teroris yang tewas didor aparat) berencana terbang ke Suriah [untuk melaksanakan] jihad dan telah menyelesaikan persiapan yang diperlukan, seperti paspor, permohonan visa, dan keperluan lainnya," kata Kapolri, Sutarman pada Januari lalu,seperti dikutip kantor berita Antara. Menurut harian The Jakarta Post, Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT) Indonesia mengaku sedang melacak 50 jihadi Indonesia di Suriah karena dicurigai telah terlibat dalam kegiatan teroris, seperti berjuang bersama pemberontak atau membangun jaringan dengan pihak ekstrimis.

Kehadiran Jihadis Asing di Suriah
Menurut Abdul Muthalib, jihadis asal Kaukasia yang paling menonjol terdiri dari warga Chechen. "Figur terpentingnya adalah Abu Omar al-Chechnya, yang mengomandani jihadi Jaisy al-Muhajirin wal-Ansar. Jihadis Kaukasia terkemuka lainnya adalah Abu al-Banat al-Chechnya yang sebenarnya berasal dari Dagestan, bukan Chechnya, dan mendadak tenar setelah muncul tuduhan bahwa dirinya telah dieksekusi pastur Suriah, François Murad, di Aleppo pada bulan Juni, serta sesosok lelaki bernama Abu Muadz al-Kazakhstan," lanjutnya.

"Kematian jihadis yang diumumkan lewat posting di situs, forum, dan jejaring sosial pro-jihadi menunjukkan bahwa banyak [jihadi] yang berasal dari daerah tersebut telah tewas," kata Abdul Muthalib. Sejumlah besar warga Chechen, lanjutnya, berasal dari fakta bahwa kebanyakan mereka menenggelamkan dirinya dalam pemikiran takfiri selama perang [Chechnya], setelah pemikiran jihadi mendominasi keyakinan mereka. Ketika aktivitas al-Qaeda di kawasan itu menurun, kontan kawasan itu menjadi lahan subur bagi para juru rekrut yang berusaha untuk merekrut secara online seraya mengatur masuknya mereka ke Suriah.

"Di Asia tenggara," ujar analis strategi dan pakar kelompok teror asal Mesir, Mayjen (pur.) Yahya Mohammed Ali, "masalah ini mungkin sedikit berbeda." Ini dikarenakan ideologi jihad menyebar ke wilayah itu hanya lewat ide-ide al-Qaeda dan media online, serta upaya sejumlah besar juru dakwah yang pergi ke negara-negara tersebut untuk merekrut kawula muda dan mencuci otak mereka dengan ideologi jihad, lanjutnya.

"Terdapat banyak organisasi yang mensponsori terorisme dan mempromosikannya di kalangan anak muda, terutama setelah tersebarnya ide-ide dari 'Kelompok Islam' di Asia Tenggara," imbuh Ali.

Kelompok Islam itu, lanjutnya, berusaha mendirikan "negara Islam" lewat aneksasi Malaysia, Indonesia, Brunei, Filipina selatan, dan Thailand selatan, dan ditemukan bukti kuat tentang adanya hubungan antara kelompok ini dengan al-Qaeda. Organisasi-organisasi lain telah muncul, seperti al-Jihad al-Islami yang berusaha mendirikan "negara Islam" sepanjang Thailand selatan hingga sebagian wilayah Filipina, Kumpulan Mujahidin di Malaysia, kelompok Abu Sayyaf di Filipina, dan Majelis Mujahidin di Indonesia, pungkasnya.[TvShia/Islam Times]

Kirim komentar