Merindukan Sujud Al-Sajjâd
Oleh: Sugiarto
Bulan ini adalah bulan lahirnya penghulu wali Allah, dan hiasan para ahli ibadah yaitu Ali Zainal Abidin as. Dengan perlahan marilah kita susuri perjalanan panjang berziarah menengok sudut-sudut sejarah tentang kehidupan beliau. Kita tapak ada kejadian apa di balik perilaku dia.
Perjalanan kita mulai. Sekarang kita berada di kota Madinah. Suasana sepi membungkus sudut kota, angin deras membisikkan berita. Pandang dan saksikanlah ada apa di balik rumah kecil yang sederhana di sudut kota Madinah pada kegelapan malam. Seorang hamba terjaga dari tidurnya. Matanya sayu, wajahnya cekung, tubuhnya ringan dan kurus. Tak ada selimut dan tikar menemani tidur malamnya. Baru sejenak ia tertidur, hatinya yang gelisah membawanya untuk selalu terbangun. Perlahan ia berjalan menepi ke sudut rumahnya, dibawanya air dalam bejana menuju ruang yang lain. Hatinya makin berdebar. Tubuhnya berguncang saat ia merapatkan tanganya ke dalam bejana. Napasnya mendesah keras, matanya tertuju pada bingkai jendela kamarnya. Ia berkedip memandang bulan dan bintang. Pikirannya hanyut memandang awan malam yang sunyi. Terlintas dalam benaknya ciptaan Tuhan yang indah. Lama ia terlena merasakan kenikmatan keagungan ciptaan Tuhan. Menjelang subuh tiba, ia masih tetap terpaku dengan tangan yang masih tergenang air dalam bejana. Tidak ada rasa dingin yang menggigit tulang tangannya, padahal sudah lama ia dibalut air.
Suara azan subuh melenting syahdu, menggemuruh di kota Madinah. Udara fajar mendesah keras menerbangkan debu dan rumput kering. Lelaki suci itu terkesima. Detak jantung yang keras mengiringi kekhusyuannya dalam berwudu. Setiap kali ia mengangkat air dengan tangannya, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil. Dan itu terjadi setiap kali ia berwudhu. Seseorang bertanya kepada beliau, “Ada apakah denganmu wahai Ali bin Husain?” Ia menjawab, “Tahukah kamu di hadapan siapakah aku hendak berdiri?”
Setiap kali ia bersiap-siap untuk shalat dan hendak menuju ke tempat sujud, tubuhnya selalu gemetar karena rasa takut yang mencekam. Ketika ia sudah berdiri melakukan shalat wajahnya memucat.
Dengarkan apa yang diucapkan Imam Baqir as, “Berdirinya Ali bin Husain dalam shalatnya laksana berdirinya seorang hamba yang hina di hadapan raja yang agung. Seluruh anggota badannya gemetar karena takutnya kepada Allah, dan beliau mengerjakan shalat seperti shalatnya seseorang yang akan berpisah untuk selama-lamanya, yang mengira bahwa dirinya tak akan pernah lagi berkesempatan mengerjakan shalat untuk selama-lamanya.”
Sekarang marilah kita menepi sejenak, beristirahat sambil merenungkan suasana hati Al-Sajjâd yang selalu gelisah rindu saat ia hendak berhadapan dengan kekasihnya. Sudahkah kita mencoba sedikit saja untuk mencontoh perilaku lelaki mulia itu, dan mungkin merindukan hal yang sama dengan dia, atau kita tidak menginginkannya? Kita lanjutkan perjalanan kita, kita lihat ada apa lagi di balik kehidupan beliau.
Suatu hari ketika ia akan pergi menuju suatu tempat, angin kencang menerpa keras mengenai tubuhnya. Ia gelisah, mukanya memerah, dan tubuhnya lemas. Ia jatuh pingsan. Angin mengantarkannya pada hati yang dilanda cemas dan kerinduan pada Tuhannya.
Hatinya terlalu lembut merasakan keagungan ciptaan Tuhan, sampai di saat pingsan, di wajahnya yang kuyu ada linangan air mata menderai. Lihatlah tubuhnya ketika ia tak sadarkan diri; wajahnya diselimuti kesayuan, di dahinya ada bekas kulit yang melepuh.
Lutut, jari kaki, dan telapak tangannya mengeras dan dibalut benjolan kecil. Punggungnya melengkung serta pundaknya melegam. Tahukah kita apa yang terjadi dengan tubuh Zainal Abidin?
Kulit dahinya yang melepuh, lutut, dan tangannya mengeras karena ia terlalu banyak bersujud. Sampai-sampai matanya cekung karena terlalu banyak menangis. Dengarkan apa yang dikatakan Imam Baqir as, ”Sesungguhnya setiap kali ia (Imam Ali Zainal Abidin) mengingat nikmat Allah, ia bersujud. Setiap membaca ayat Al-Quran yang di dalamnya ada ayat sajdah, ia bersujud. Setiap selesai shalat, ia bersujud. Setiap mendamaikan dua orang yang bertikai, ia bersujud. Bekas-bekas sujudnya tampak pada anggota tubuhnya. Karena itulah ia dijuluki Al-Sajjâd.”
Pernah pada suatu hari, saat ia khusyu bersujud, rumahnya nyaris terbakar. Orang-orang di sekitarnya ramai berteriak. Ketika itu ia tak bergeming dari sujudnya. Ketika mereka memanggilnya, ia masih saja khusyu dalam sujudnya. Dan ketika api telah dipadamkan, seseorang datang kepadanya seraya berkata, ”Apakah engkau tidak merasakan bahwa akan terjadi kebakaran?” Ia bergumam, ”Api yang besar itu telah melalaikan aku dari Tuhanku.”
Tahukah kita, kecintaannya bersujud pada Allah telah mengantarkannya untuk selalu shalat seribu rakaat pada setiap malam? Hal itu dilaksanakan sepanjang hayatnya. Begitu pula dengan siangnya, ia habiskan kenikmatan hari-harinya dengan berpuasa. Karena itulah tubuhnya kurus dan ringan. Ketika Imam Al-Shadiq berkata kepadanya mengapa ia lakukan ini semua. Ia menjawab, “Dengan ini aku mendekatkan diri kepada Allah agar Dia mengangkat derajatku.”
Selanjutnya simaklah ada apa dengan tubuhnya yang melengkung dan matanya yang cekung.
Saat itu Ali Zainal Abidin sedang melakukan thawaf dan shalat. Ia habiskan waktunya dari Isya hingga sahur dengan sujud dan menangis. Ketika itu suasana sangat sepi. Tak ada manusia selain dia. Ia hanya ditemani angin malam, bintang, dan sinar bulan. Kerinduan pada Tuhannya mengantarkan ia berdoa. Ia tadahkan mukanya ke langit seraya merintih: Tuhanku, bintang-bintang di langitmu telah terbenam. Pintu-pintu terbuka bagi mereka yang meminta. Aku datang kepada-Mu agar Engkau mengampuni dosaku dan mengasihi aku dengan memperlihatkan wajah kakekku Muhammad di hari kiamat…
Sambil menangis, ia mengaduh lagi: Demi kebesaran dan keagungan-Mu, dengan maksiatku aku tidaklah menghendaki untuk menentang-Mu. Dan tidaklah aku bermaksiat kepada-Mu. Sedang aku ragu terhadap-Mu. Tidak mengetahui akan hukuman-Mu. Di ujung doanya ia bergumam: Apakah engkau akan membakar aku dengan api neraka, wahai Tujuan dari Segala Harapan. Jika begitu, di manakah harapanku dan kecintaanku.
Aku bertaubat dengan amal-amal yang buruk dan celaka. Dan tidak ada di dunia ini manusia yang berbuat kejahatan seperti kejahatanku.
Sujud bagi Ali Zainal Abidin adalah kepasrahan dan kerinduan total kepada kekasihnya, Tuhan. Baginya sujud adalah ketenangan dan kedamaian yang melepaskannya dari jerat penderitaan yang dialami olehnya –karena kesedihan yang menimpa keluarganya yang dibantai di Karbala.
Tahukah kita, dengan membiasakan sujud, kita akan mendekatkan diri kita kepada Allah? Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Kedekatan hamba ketika sedang shalat adalah ketika ia bersujud.”
Sejenak kita menyisi, menarik napas, dan merenung bahwa sujud yang ia lakukan merupakan pengabdian yang total kepada Allah. Di sisi lain juga ia berkhidmat kepada sesama manusia.
Suatu hari ketika suasana Mekkah dihiasi gelap gulita, ia keluar dari rumahnya. Dengan langkah tergopoh, ia bawa kantung besar berisi makanan di atas punggungnya. Ia ketuk pintu rumah-rumah orang miskin dan memberikan makanan itu. Setiap kali ia berikan isi kantungnya, ia tutup wajahnya agar orang tidak mengenal siapa dirinya. Itulah yang ia kerjakan pada sebagian malamnya; dengan mengangkat beban berat di punggungnya hanya untuk membawa sesuatu bagi kebahagiaan orang lain. Itulah yang menyebabkan punggungnya melengkung, selain karena kebanyakan bersujud.
Mari kita dengar ucapan pilu dari sahabat, Amr bin Tsabit, “Ketika Ali bin Husain meninggal dunia, orang-orang yang memandikan jenazahnya melihat ada tanda hitam melegam di pundaknya. Mereka bertanya, ‘Tanda apakah ini?’ Seseorang menjawab, ‘Pundaknya menghitam karena seringnya ia memanggul kantung terigu di malam hari untuk diberikannya kepada kaum fakir miskin Madinah.’”
Ia tebarkan sujud pengabdiannya untuk membahagiakan orang-orang yang tak mampu.
Tahukah kita, di Madinah ada satu keluarga yang sering memperoleh rizki serta teringankan kebutuhannya tanpa mengetahui datangnya rezeki itu? Ketika Imam Ali wafat, mereka kehilangan semuanya itu.
Saking cintanya ia kepada kaum papa, setiap kali orang datang meminta bantuan kepadanya, ia selalu berucap, “Selamat datang, wahai orang yang membawakan bekalku ke akhirat.”
Tahukah kita, begitu besar cintanya kepada budak belian, setiap tahun ia bebaskan seratus budak dari tuan-tuan mereka? Ia beli budak-budak itu untuk dibebaskan haknya. Ia merindukan terbebasnya budak-budak itu dari belenggu. Bahkan ia perlakukan budak-budak itu seperti halnya orang yang merdeka sehingga ia dijuluki Muharrirul ‘Abid, sang pembebas budak.
Sampailah kita pada akhir perjalanan kita. Seraya beranjak meninggalkan tanah suci Madinah, kita kukuhkan tekad di dalam hati kita untuk senantiasa melanjutkan tradisi sujud Al-Sajjâd, sujud sebagai pengabdian kepada Tuhan dan perkhidmatan kepada sesama.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepadanya… [TvShia.com/Muthahari]
Kirim komentar