Menggapai Hikmah Nahjul Balaghah: Membangun Jati Diri
Abdurahman Arfan*
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa manusia ibarat tambang emas dan perak. Di dalam hadis lain, Rasulullah saww mensifati ilmu sebagai mata air yang jika seorang penuntut ilmu bersandar kepada Allah maka kebaikan dan berkah Allah akan mengalir baginya. Dari dua hadis ini dapat disimpulkan bahwa sebagai mahluk, manusia tidak diciptakan tanpa modal dan background apapun. Ilmu yang didapatkan manusia dari lembaga pendidikan formal atau non formal, hauzah maupun universitas merupakan modal dan simpanan bagi diri manusia. Di dalam diri manusia tersimpan rahasia yang dapat diungkapkan. Dalam surat an-Nahl/78, Allah swt berfirman: “Allah telah mengeluarkan kalian dari perut ibu sedangkan kalian tidak mengetahui apa-apa”.
Pengertian ilmu yang disinggung dalam ayat ini adalah ilmu hushuli yang didapatkan dari buku atau guru. Ketika segala sesuatu (termasuk ilmu) disandarkan kepada Allah maka ia tidak akan pernah kosong dalam diri manusia. Hal ini disinggung dalam ayat 29 Surah Hijr, ketika Allah berfirman: “Dan Aku tiupkan ruh-Ku kepadanya”. Ayat ini tidak berbicara tentang nabi Adam saja sebagai makluk pertama Allah yang diciptakan di muka bumi, akan tetapi ayat ini berbicara tentang seluruh umat manusia sepanjang masa. Kata ruhdalam ayat tersebut kembali kepada Allah swt, ketika Dia meniupkan ruh-Nya kepada manusia maka manusia dengan ruh yang ditiupkan tersebut akan mampu menyandang kesempurnaan yang dimiliki-Nya. Dan salah satu bentuk kesempurnaan yang dimiliki-Nya adalah ilmu dan pengetahuan. Hadis di atas ingin menjelaskan bahwa sejak awal penciptaannya, manusia sudah disiapkan dan dibekali sesuai dengan kapasitasnya; bagaikan wadah yang siap menampung air. Ketika manusia selalu mencari nilai-nilai kesempurnaan (ilmu) maka peluang wadah untuk mendapatkan anugrah Ilahi akan semakin besar; anugrah yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan bagi dirinya dan orang lain. Namun, jika modal pemberian Allah tersebut hilang disebabkan kebodohan teoritis atau kebodohan praktisnya maka wadah tersebut lambat laun akan mengecil dan bahkan akan sirna.
Dalam salah satu ucapan penuh makna, Imam Ali as bersabda: “Sesungguhnya hati adalah wadah dan sebaik-baik wadah adalah yang diisi dan dipenuhinya”. Sebaik-baiknya hati adalah hati yang selalu ditanami nilai-nilai kesempurnaan dan salah satu bentuk dari kesempurnaan tersebut adalah ilmu. Oleh karena itu, pada hakikatnya manusia telah diciptakan dengan dua modal: hati yang selalu aktif dan potensi yang jika keduanya dikembangkan untuk mencari nilai-nilai ilmu, maka manusia akan menjadi mishdak dari hadis di atas. Sedangkan seseorang yang tidak menggunakan dan mengembangkan keduanya, lalu apa yang bisa diharapkan darinya?
Sebagian kalangan beranggapan bahwa kedua modal yang dimilikinya itu sudah cukup sehingga ia tidak perlu berhubungan dengan orang lain dan menimba ilmu dari orang lain. Sebagian lagi selalu ingin membandingkan dan membenturkan pandangannya dengan pandangan orang lain. Sudah pasti, kelompok kedualah yang akan menemukan kebenaran. Bukankah Imam Ali as pernah bersabda: “Benturkan sebagian pandangan yang kalian miliki dengan pandangan yang lain; maka akan muncul kebenaran”. Maksud dari hadis ini adalah bahwa perkembangan sebuah ilmu dapat diperoleh melalui tanya-jawab, kritik, sanggahan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, orang yang memperoleh ilmu melalui penelitian dan menganalisa sebuah pandangan akan memiliki nilai tambah dari sisi keilmuannya.
Lebih jauh lagi, jika sebuah masyarakat mampu bersama-sama melakukan tugas yang ditetapkan oleh para nabi maka masyarakat tersebut akan menciptakan sebuah revolusi budaya spektakuler. Bukankah salah satu misi para nabi sebagai utusan Allah adalah menciptakan revolusi budaya umat manusia. Dan revolusi ini akan terwujud ketika hati manusia bangkit dan tergerak, kembali dan kepada fitrah penciptaannya. Imam Ali as bersabda: “Dan peranan mereka—para nabi—adalah mengerakkan hati-hati manusia”. Revolusi budaya yang merupakan salah satu tujuan diutusnya para nabi akan selalu menjadi tugas besar bagi umat manusia yang ingin menuju pada kesempurnaan.
Lalu bagaimana proses menuju pada kesempurnaan tersebut? Al-Quran memrintahkan; lakukanlah sesuatu yang bisa kamu lakukan! Janganlah berbuat makar/tipu daya. Dalam surat Anfal/29, Allah berfirman: “Jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqaan” (petunjuk yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk). Jika saja manusia menjadi ahli taqwa dan furqaan maka Allah akan memberikan kepadanya kemampuan dan kekuataan. Tapi mengapa begitu banyak manusia yang larut dalam kebinggungan serta sulit untuk membedakan antara yang hak dan yang batil? Mengapa dari sekian aliran yang beragam manusia tidak mampu mengenali kebenaran?
Untuk mengatasi masalah di atas, ada dua jalan yang dapat ditempuh yaitu makrifatullsh atau jalan fitrah yang tertanam dalam hati manusia. Ketika seseorang telah mengetahui mana jalan yang benar lalu ia mengikuti jalan tersebut dan itulah hasil akhir dari penelitiannya, maka Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan perbuatannya: “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya.” (At-Thaghabun/11)
Batas antara kebenaran dan kebatilan adalah hal pertama yang harus dikenali dan diketahui. Manusia sering kali terjebak dan terperosok dalam menentukan kebenaran dan kebatilan dan menganggap bahwa kebenaran dan kebatilan harus selalu dilihat dari figur seseorang, kuantitas dan lain sebagainya. Sebagai contoh, dalam perang Jamal dikisahkan bahwa Haris bin Haut bertanya kepada Amirul mukminin Ali as: “Apakah mereka yang memerangi kita berada dalam kebatilan sedang kita berada dalam kebenaran?”. Imam menjawab: “Sungguh kamu hanya melihat kebawah dan tidak melihat ke atas sehingga kamu kebingungan!” Imam ingin mengajarkan kepada sahabatnya bahwa dengan melihat standar dan tolak ukur kebenaran dan kebatilan baru kita dapat mengetahui siapa yang berada dalam garis kebenaran dan siapa yang berada dalam garis kebatilan.
Tugas penting kita adalah memahami sebuah kebenaran dan lebih baik lagi jika kita selalu seiring dan sejalan dengan kebenaran dan dapat menjadi ahli daohir dan ahli batin. Itulah sebabnya mengapa dalam Surat Ruum/7, al-Quran menyinggung: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka lalai akan (kehidupan) akherat.” Ayat ini memberikan indikasi bahwa akherat adalah batinnya dunia dalam artian bahwa dzahir dunia yang kita lihat dan kita rasakan ternyata memiliki batin, namun kita melalaikannya sehingga kita tidak dapat merasakan keberadaannya.
Untuk mencapai kesempurnaan tersebut, di perlukan sarana, salah satunya adalah dengan menuntut ilmu yang dibarengi dengan keikhlasan dalam ucapan maupun amal. Bukankah ilmu ibarat cahaya dalam kegelapan yang menerangi jiwa?. Dengan demikian apakah cahaya yang kita dapati itu dengan mudah kita buang dan jual dengan harga yang rendag?. Dengan menuntut ilmu akan kita dapati hal-hal yang kita tidak dimiliki sebelumnya dan dengan itu maka dan kedzoliman akan sirna bagaikan buih yang terhempas ombak air. Allah swt berfirman: “Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi. [Ar-Raad/17]
Mudah-mudahan kita mampu mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki dengan mencari kesempurnaan ilmu dan mengamalkannya sehingga kita sampai kepuncak kebenaran dan dapat mewujudkan misi yang dibawa oleh para nabi dan menjadi pelanjut mereka di muka bumi.
Wallahu a’lam
ABNA
* Mahasiswa S1 Jurusan Ushul Fiqh di Jamiatul Ulum Qom, Republik Islam Iran
Kirim komentar