PP Muhammadiyah Menyatakan "Tak Boleh Ada Pemaksaan Keyakinan di Sampang"
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, tidak boleh ada pemaksaan keyakinan dalam proses rekonsiliasi di Sampang, Madura, Jawa Timur. Apalagi, jika pemaksaan keyakinan dilakukan oleh pejabat pemerintah.
"Itu tidak bisa (ada pemaksaan). Kalau sampai pemerintah berpihak, itu pemerintah yang tidak berkeadilan," kata Din di Jakarta, Sabtu (10/8).
Hal itu dikatakan Din ketika dimintai tanggapan intimidasi dan ancaman terhadap warga Syiah yang bertahan di Desa Karanggayam dan Bluuran Sampang. Mereka dipaksa meninggalkan keyakinannya jika ingin keselamatannya dijamin.
Din mengatakan, jika benar ada pemaksaan terhadap warga Syiah di Sampang, hal itu merupakan tindakan kriminal. Seharusnya negara melakukan penindakan. Pasalnya, setiap orang bebas menganut keyakinannya.
Menurut Din, untuk menyelesaikan konflik di Sampang harus dipegang prinsip kebebasan berkeyakinan. Ia berpendapat, sangat sulit untuk menyatukan pandangan antara Sunni dan Syiah yang perbedaannya sudah terjadi berabad-abad.
Dikatakan Din, baik Sunni maupun Syiah berjasa bagi peradaban Islam. Keduanya juga mempunyai kesalahan. Jika ada perbedaan persepsi siapa yang sesungguhnya pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad, kata Din, hal itu sejarah masa lalu yang tak perlu diungkit.
"Maka biarlah bagimu keyakinanmu, bagiku keyakinanku. Tapi harus hidup berdampingan secara damai. Toh kita dengan sesama non-muslim bisa hidup berdampingan dengan damai. Masa sesama muslim walaupun berbeda paham kok enggak bisa hidup berdampingan secara damai?" kata Din.
Untuk itu, Din berharap kedua kelompok bisa saling menahan diri. Jangan saling menghina.
"Biarlah Allah yang menentukan kebenaran mana yang diterima. Sekarang hidup berdampingan secara damai, tidak boleh ada pemaksaan. Itu melanggar prinsip agama itu sendiri," pungkas Din.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Yayasan Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) Hertasning Ichlas alias Herta yang mendampingi para pengungsi Syiah mengungkapkan, warga Syiah di Sampang dipaksa oleh para pejabat pemerintah dan kepolisian setempat untuk menandatangani ikrar. Ikrar tersebut berisi 9 poin yang intinya menganggap ajaran Tajul Muluk sesat dan harus kembali ke Ahlus Sunnah.
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, dalam proses rekonsiliasi yang tengah dilakukan, perlu dilakukan persamaan persepsi antarkelompok di Sampang. Pasalnya, kata dia, ada perbedaan pandangan antara warga dengan kelompok Tajul Muluk.
"Nah kalau semua sudah selesai, maka mereka pulang ke kampung halamannya. Itu dijamin aman kalau rekonsiliasi dalam arti yang sesungguhnya bisa tercapai, yaitu pencerahan dan penyamaan persepsi," kata Suryadharma.
PKS Minta Syiah Jadi Agama Baru
Sementara itu, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Raihan Iskandar, mendukung adanya ikrar "tobat" yang harus dilakukan oleh para pengungsi Syiah jika mau hak-haknya dilindungi. Menurut Raihan, pengungsi Syiah juga seharusnya bisa menghormati kemapanan sosial yang sudah ada di Sampang, Jawa Timur, tempat asal mereka. Dengan adanya ikrar itu, Raihan menilai proses rekonsiliasi bisa berhasil dilakukan.
"Saya mendukung ikrar itu. Pada dasarnya ini kan kita harus menghormati masyarakat yang ada di setempat, kearifan lokal. Kalau ikrar itu sudah jadi kesepakatan masyarakat setempat dan jadi momentum positif untuk meningkatkan hubungan bermasyarakat, yah harus didukung,” ucap Raihan saat dihubungi, Selasa (13/8).
Raihan menuturkan bahwa para pengungsi Syiah ini mau tidak mau harus mengubah keyakinannya. Jika memang mereka tidak mau mengubah keyakinan, Raihan mengusulkan agar warga Syiah yang terdepak dari kampung halamannya melapor ke Kementerian Agama supaya Syiah dijadikan agama baru.
"Kalau disahkan ada agama baru kita kan bisa saling menghormati. Jadi itu harus dilaporkan dulu ke kementerian," imbuh Raihan.
Lebih lanjut, Raihan mengatakan, jika ternyata ada aliran baru di tengah masyarakat yang berlainan, maka hal ini kontraproduktif atas keharmonisan yang sudah terbentuk. Menurutnya, dalam membangun kebhinekaan di Indonesia juga harus dipahami bahwa perbedaan itu jangan menabrak kemapanan sosial yang sudah ada.
"Jangan paksakan ide kita dihormati, tapi tidak hormati kemapanan yang sudah ada," katanya.
Ia mendukung jika warga Syiah perlu dipindahkan sementara waktu ke kawasan khusus hingga masyarakat setempat bisa menerima para pengungsi Syiah ini.
Ikrar "bertobat"
Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) Hertasning Ichlas alias Herta yang mendampingi para pengungsi Syiah pernah mengungkapkan, warga Syiah di Sampang dipaksa oleh para pejabat pemerintah dan kepolisian setempat untuk menandatangani ikrar.
Ikrar tersebut berisi 9 poin yang intinya menganggap ajaran Tajul Muluk sesat dan harus kembali ke Ahlus Sunnah. Sebagian besar pengungsi akhirnya terpaksa menandatangani itu karena keamanannya terancam tidak dilindungi aparat.
Adapun konflik Syiah dan Sunni di Sampang, Jawa Timur, bermula dari konflik internal keluarga antara pimpinan Islam Syiah, Tajul Muluk, dan saudaranya, Rois Al Hukama. Pada Agustus 2012, perkampungan pengikut aliran Islam Syiah di Desa Karang Gayam (Kecamatan Omben) dan Desa Bluran (Kecamatan Karangpenang) diserang kelompok bersenjata dan menyebabkan satu orang tewas serta enam orang lainnya luka-luka.
Hingga pada Juni 2013, para pengungsi korban tragedi kemanusiaan di Sampang itu akhirnya terpaksa dipindah dengan alasan keamanan dan kehidupan yang lebih layak di lokasi pengungsian.
ABNA
Kirim komentar