Teori Evolusi dan Al-Quran

Teori Evolusi dan Al-Quran


Al-Quran dan Teori Evolusi

 “Darwin berkeyakinan bahwa perbedaan antara manusia dan binatang, baik dari sisi postur tubuh maupun kejiwaan, hanya bersifat kuantitas. Ia tidak meyakini adanya perbedaan kualitas antara kedua makhluk ini.”

Latar Belakang Sejarah

Masalah penciptaan manusia termasuk salah satu pembahasan kuno yang mungkin telah mendapat perhatian dari sejak manusia itu diciptakan. Dengan menilik kitab-kitab samawi beberapa agama seperti agama Yahudi, Kristen, dan Islam, kekunoan pembahasan dapat kita lihat dengan jelas. Makalah ini ingin mengupas sebuah pembahasan komparatif antara ayat-ayat kitab samawi yang menyinggung penciptaan manusia dan teori evolusi. Dengan kata lain, perbandingan antara keyakinan para ahli tafsir dan pengetahuan yang diyakini oleh para ilmuwan ilmu alam tentang tata cara penciptaan manusia. Akan tetapi, kejelasan tentang masalah ini bergantung pada penjelasan yang benar tentang teori pemikiran ini, dan juga pada pemaparan latar belakang sejarah dan sikap-sikap yang pernah diambil dalam menanggapinya.

Tujuan asli tulisan ini adalah kita ingin menemukan sumber kehidupan manusia. Apakah seluruh jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan muncul dengan bentuk seperti ini dan dengan karakteristik dan keistimewaan yang independen dari sejak awal mereka diciptakan, dan lalu mereka juga berkembang biak dengan dengan cara yang sama? Ataukah seluruh binatang dan tumbuh-tumbuhan itu berasal dari spicies (naw‘) yang sangat sederhana dan hina, lalu mereka mengalami perubahan bentuk lantaran faktor lingkungan dan natural yang beraneka ragam, dan setelah itu mereka memperoleh bentuk yang lebih sempurna dengan gerakan yang bersifat gradual sehingga memiliki bentuk seperti sekarang ini?

Teori pertama dikenal dengan nama teori Fixisme dan diyakini oleh para pemikir pada masa-masa terdahulu. Sedang teori kedua dikenal dengan nama teori Transformisme dan diterima oleh para ilmuwan dari sejak abad ke-19 Masehi.

Teori pertama meyakini adanya aneka ragam spicies makhluk yang bersifat independen; artinya manusia berasal dari manusia dan seluruh binatang yang lain juga berasal dari spicies mereka masing-masing. Akan tetapi, teori kedua beranggapan bahwa penciptaan spicies-spicies yang ada sekarang ini berasal dari makhluk dan spicies-spicies yang berbeda.

Para ilmuwan berkeyakinan bahwa teori Evolusi alam natural paling tidak seusia dengan masa para filosof Yunani.[1] Sebagai contoh, Heraclitus meyakini bahwa segala sesuatu senantiasa mengalami proses dan evolusi. Ia menegaskan, “Kita harus ketahui bersama bahwa segala sesuatu pasti mengalami peperangan, dan peperangan ini adalah sebuah keadilan. Segala sesuatu terwujud lantaran peperangan ini, dan setelah itu akan sirna.”[2] Segala sesuatu selalu berubah dan tidak ada suatu realita yang diam. Ketika membandingkan antara fenomena-fenomena alam dengan sebuah aliran air sungai, ia berkata, “Kalian tidak dapat menginjakkan kaki dalam satu sungai sebanyak dua kali.”[3]

Mungkin filosof pertama yang mengklaim teori Tranformisme (perubahan gradual karakteristik dan spicies seluruh makhluk hidup) adalah Anaximander. Ia adalah filosof kedua aliran Malthy setelah Thales. Ia beryakinan bahwa elemen utama segala sesuatu adalah substansi (jawhar) yang tak berbatas, azali, dan supra zaman. Anaximander juga berkeyakinan bahwa kehidupan ini berasal dari laut dan bentuk seluruh binatang seperti yang kita lihat sekarang ini terwujud lantaran proses adaptasi dengan lingkungan hidup. Manusia pada mulanya lahir dan terwujud dari spicies binatang lain. Hal ini lantaran binatang-binatang yang lain dapat menemukan sumber makanannya dengan cepat. Akan tetapi, hanya manusia sajalah yang memerlukan masa yang sangat panjang untuk menyusu pada ibu yang telah melahirkannya. Jika manusia memiliki bentuk seperti yang dapat kita lihat sekarang ini sejak dari permulaan, niscaya ia tidak akan dapat bertahan hidup.[4]

Meskipun teori Evolusi memiliki masa lalu yang sangat panjang, tetapi teori ini tidak memperoleh perhatian yang semestinya dari para ilmuwan selama masa yang sangat panjang. Dengan kemunculan para ilmuwan seperti Lamarck, Charles Robert Darwin, dan para ilmuwan yang lain, teori ini sedikit banyak telah berhasil menemukan posisi ilmiah yang semestinya.

Di penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, seorang ilmuwan ilmu alam berkebangsaan Prancis yang bernama Cuvier melontarkan sebuah teori tentang penciptaan makhluk hidup. Ia berkeyakinan bahwa makhluk hidup muncul selama masa yang beraneka ragam dalam tataran geologi. Lantaran revolusi-revolusi besar dan tiba-tiba yang pernah terjadi di permukaan bumi, seluruh makhluk hidup itu musnah. Setelah itu, Tuhan menciptakan kelompok binatang baru dalam bentuk yang lebih sempurna. Periode-periode makhluk selanjutnya juga muncul dengan cara yang serupa. Teori ini dalam ilmu Geologi dikenal dengan nama Catastrophisme; yaitu revolusi besar di permukaan bumi. Ia mengingkari seluruh jenis hubungan kefamilian antara makhluk hidup pada masa kini dan makhluk-makhluk yang pernah hidup sebelumnya. Ia meyakini teori Fixisme.

Pada masa kehidupan Cuvier, para ilmuwan seperti Buffon sang zoolog, Lamarck, dan akhirnya Darwin, muncul dalam arena teori Evolusi. Meskipun Buffon hanya mampu meyakini bahwa evolusi makhluk hidup hanya bersifat eksternal, tetapi Lamarck dan lebih hebat darinya, Darwin mampu membuka sebuah posisi ilmiah baru bagi teori ini.

Ketika menjelaskan realita ini, Dampyer menulis, “Teori pertama yang sangat mengena dan begitu logis adalah teori Lamarck (1744 – 1829 M.). Ia menekankan bahwa faktor evolusi (makhluk hidup) adalah perubahan-perubahan menumpuk (accumulated transformations) yang disebabkan oleh faktor lingkungan hidup dan dimiliki oleh setiap makhluk hidup dengan cara warisan. Menurut Buffon, pengaruh perubahan lingkungan hidup terhadap komposisi seseorang sangat minimal. Tetapi Lamarck berkeyakinan bahwa jika perubahan-perubahan yang diperlukan dalam tindakan bersifat permanen, maka seluruh perubahan itu akan mengubah seluruh anggota tubuh yang telah kuno, atau jika tubuh membutuhkan sebuah anggota baru, maka perubahan itu akan menciptakannya. Atas dasar ini, nenek moyang jerapah yang hidup pada masa kini menemukan leher yang panjang dan lebih panjang lagi lantaran ia harus melongok demi meraih dedaunan yang sulit dijangkau. Perubahan komposisi tubuh seperti ini menemukan titik kesempurnaannya melalui jalan warisan. Etienne Geoffroy Saint Hilaire dan Robert Chambers adalah dua orang di antara para pendukung teori Evolusi yang hidup pada abad ke-19. Mereka berkeyakinan bahwa lingkungan hidup memiliki pengaruh langsung pada individu.”[5]

Atas dasar ini, ilmuwan Biologi pertama yang memberikan nilai kepada teori Evolusi adalah Lamarck. Tetapi pendapat dan teori-teorinya tidak memperoleh tanggapan yang semestinya. Hal ini bukan lantaran ketegaran dan kekokohan teori Fixisme pada masa itu. Tetapi hal itu lantaran mekanisme perubahan (mechanism of transformations) yang diusulkan oleh Lamarck tidak menarik para ilmuwan yang hidup kala itu.[6]

Aliran-Aliran Teori Evolusi

Lantaran pandangan yang beraneka ragam terhadap struktur alam, para pendukung teori Evolusi Spicies memiliki sikap dan haluan yang sangat beragam. Atas dasar ini, pada setiap penggalan sejarah, banyak hipotesis baru yang dilontarkan untuk menepis teori-teori oposisi. Aliran Lamarckisme, Neo Lamarckisme, Darwinisme, Neo Darwinisme, dan teori Mutasi (perubahan secara tiba-tiba) adalah lima aliran yang mendukung teori Evolusi.[7] Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan setiap aliran pemikiran ini secara ringkas, dan juga meneliti akibat yang telah muncul sebagai konsekuensinya.

a. Lamarckisme
Seperti telah dijelaskan di atas, Lamarck, seorang zoolog berkebangsaan Prancis, ini adalah biologis pertama yang—paling tidak—telah berhasil mengokohkan teori Evolusi berpijak di atas konsep-konsep ilmiah. Ia mendeklarasikan teorinya itu pada tahun 1801 M. dengan menerbitkan bukunya yang berjudul Falsafeh-ye Janevar Shenasi (Filsafat Zoologi). Ia tidak meyakini bahwa undang-undang yang berlaku di alam ini keluar dari kehendak Ilahi yang azali. Tetapi ia berkeyakinan bahwa motor utama penggerak sebuah kesempurnaan adalah sebuah power yang menjadi faktor keterwujudan spicies-spicies yang lebih sempurna melalui kaidah “pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh”. Menurut Lamarck, setiap makhluk hidup pada permulaannya sangat hina dan sederhana sekali. Lalu lantaran beberapa kausa dan faktor, makhluk hidup itu mengalami evolusi menjadi spicies yang lebih sempurna. Faktor-faktor tersebut adalah lingkungan hidup, pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh, kehendak, dan perpindahan seluruh karakteristik yang bersifat akuisitif (iktisâbî).

Substansi klaim Lamarck adalah perubahan lingkungan hidup menyebabkan perubahan anggota tubuh. Seekor binatang untuk menjalani kehidupan terpaksa harus memanfaatkan sebagian anggota tubuhnya melebihi anggota tubuh yang lain. Dengan memperkuat fungsi sebagian anggota tubuhnya dan meminimalkan fungsi sebagian anggota tubuh yang lain, ia melestarikan kehidupannya.

Dengan kata lain, perubahan kondisi kehidupan menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru. Jika makhluk hidup tidak memperdulikan seluruh kebutuhan itu, maka ia akan musnah. Tetapi jika ia harus memenuhi seluruh kebutuhan itu, maka ia memerlukan anggota tubuh yang sesuai. Dengan demikian, sebuah evolusi dalam struktur tubuhnya akan terjadi. Jika ia memanfaatkan sebagian anggota dalam jumlah yang minimal, maka anggota tubuh itu akan melemah dan kadang-kadang akan musnah. Tetapi jika ia melakukan aktifitas dalam kadar yang maksimal, maka anggota-anggota tubuh baru akan muncul. Pada akhirnya, perubahan-perubahan akuisitif (iktisâbî) ini akan diwarisi oleh generasi-generasi makhluk hidup berikutnya.

Faktor lain evolusi itu adalah kehendak dan keinginan yang dimiliki oleh makhluk hidup. Artinya, ia ingin mengadaptasikan diri dengan lingkungan hidup dan mengatasi seluruh kebutuhan hidupnya.

Untuk membuktikan hipotesisnya itu, Lamarck mengajukan analisa tentang mata seekor tikus yang buta, paruh kuat yang dimiliki oleh sebagian burung, lenyapnya kaki ular, memanjangnya leher jerapah, berubahnya kuda dari kondisi karnivora menjadi herbivora, dan contoh-contoh yang lain. Menurut keyakinannya, semua itu terjadi lantaran faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas.

b. Neo Lamarckisme

Teori Noe Lamarckisme muncul ke arena ilmu Biologi berkat usaha keras Gope, seorang ahli Biologi berkebangsaan Amerika. Teori ini sangat serupa dengan teori Lamarck berkenaan dengan evolusi spicies dan peran beberapa faktor penting seperti kondisi lingkungan hidup, pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh, dan pewarisan karakteristik yang bersifat akuisitif (iktisâbî). Akan tetapi, dalam menanggapi kehendak dan keinginan makhluk hidup untuk mengubah anggota tubuhnya sendiri, teori ini tidak sejalan dengan teori Lamarck. Menurut teori Neo Lamarckisme, makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan mengalami evolusi lantaran pengaruh langsung lingkungan hidup. Generasi-generasi selanjutnya akan mewarisi seluruh perubahan yang bersifat akuisitas ini.

Zeo Frouy Saint Hailler, seorang ahli Biologi berkebangsaan Prancis, juga memiliki pemikiran seperti Lamarck. Ketika bukunya yang berjudul Falsafeh-ye Tashrîh beredar pada tahun 1818 M., banyak sekali protes yang tertuju kepadanya pada paruh pertama abad ke-19.

c. Darwinisme[8]

Teori ketiga dicetuskan oleh Charles Robert Darwin, seorang ahli Biologi berkebangsaan Inggris. Ia lahir pada tahun 1809 M. Di permulaan usianya, ia menekuni ilmu kedokteran. Setelah itu, ia mempelajari ilmu agama. Akan tetapi, ia tidak pernah memiliki keinginan untuk menekuni bidang ilmu kedokteran dan juga tidak berminat untuk melakukan tugas-tugas seorang pendeta. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa sebuah kapal laut ingin melancong keliling dunia, ia ikut bersama kapal laut itu dengan tujuan untuk menjelajahi jagad raya ini. Ia menjelajahi lautan dan daratan selama beberapa tahun lamanya.[9] Di sela-sela penjelajahan itu, ia melakukan penelitian ilmiah. Ia meneliti tentang tata cara penciptaan dan kondisi tumbuh-tumbuhan dan binatang. Ketika telah kembali ke negaranya, ia merenungkan, memikirkan, dan meneliti seluruh penemuan yang telah dicatat dalam buku hariannya selama dua puluh tahun.[10] Dari konklusi seluruh hasil penelitiannya ini, ia mengambil kesimpulan bahwa teori kuno harus ditinggalkan dan teori baru; yaitu teori Evolusi Spicies, harus diterima. Menurut keyakinannya, seluruh makhluk hidup berubah menjadi bentuk makhluk hidup yang lain lantaran sebuah proses evolusi dan penyempurnaan, dan tidak ada satu makhluk hidup pun yang diciptakan tanpa adanya sebuah mukadimah dan secara mendadak dan tiba-tiba.

Pada tahun 1837 M., Darwin menerbitkan sebuah koran dan memuat buah pemikirannya di koran tersebut secara gradual. Pada tanggal 20 Juli 1854, ia berhasil menamatkan penulisan buku Mansha’-e Anva’ dan menerbitkannya pada tanggal 24 Oktober 1859.

Dalam membuktikan teori Tranformisme, Darwin mengajukan riset-riset yang telah dilakukannya tentang embriologi binatang, periode-periode kesempurnaan nenek moyang makhluk hidup sesuai dengan pembuktian fosilologi, dan keserupaan struktur janin manusia dengan ikan dan katak kepada para ahli ilmu Biologi yang hidup semasa dengannya. Ia juga membawakan sebuah bukti bahwa klan manusia masih memiliki hubungan kefamilian dengan klan binatang.[11]

Pada karya tulis pertamanya, Darwin enggan memaparkan masalah penciptaan manusia. Akan tetapi, pada tahun 1871 M., ia memaparkan sebuah pembahasan yang sangat detail tentang asal usul penciptaan manusia dalam sebuah buku yang berjudul Tabar-e Insân (Asal Usul Manusia). Dalam buku ini, ia menjelaskan beberapa sifat lahiriah manusia seperti bentuk wajah, gerakan tangan dan kaki, dan cara berdiri, beberapa karakteristik jiwa seperti menggambarkan, membayangkan, dan merenungkan, dan juga beberapa karakteristik spiritual seperti cinta sesama, naluri cinta, lebih mementingkan kepentingan orang lain, dan karakteristik lainnya. Menurut analisanya, semua itu terjadi berdasarkan perubahan gradual yang pernah dialami oleh nenek moyangnya yang anthropoid, dan bahkan dialami oleh beberapa jenis binatang seperti kera, dalam rangka mempertahankan keabadian diri dan memilih pilihan natural yang harus mereka pilih. Perbedaan yang ada antara manusia dan binatang, baik dari sisi postur tubuh maupun kejiwaan, ia yakini sebagai perbedaan kuantitas belaka, bukan kualitas. Hingga akhir usianya yang berlanjut hingga 73 tahun, ia senantiasa melakukan berbagai kegiatan dan riset ilmiah. Ia meninggal dunia pada tahun 1882 M.

Pada hakikatnya, teori Darwin adalah perluasan cakupan siasat ekonomi klasik terhadap dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan. Buku Malthus, seorang ekonom dan pendeta berkebangsaan Inggris, tentang masyarakat banyak mempengaruhi pemikiran Darwin. Dalam bukunya itu, Malthus ingin membuktikan bahwa masyarakat di muka bumi ini akan bertambah sesuai dengan ketentuan progresi numeral (tashâ’ud-e handasî). Hal ini padahal seluruh fasilitas ekonomi tidak mungkin dapat menjamin seluruh kebutuhan manusia. Atas dasar ini, mayoritas manusia yang hidup dalam sebuah generasi harus musnah lantaran sebuah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, paceklik, perang, dan lain sebagainya sebelum mereka menggapai usia balig agar keseimbangan antara jumlah masyarakat dan fasilitas ekonomi tersebut terwujud. Menurut sebuah riset, jumlah umat manusia dalam tempo dua puluh lima tahun akan bertambah dua kali lipat. Jika penambahan jumlah penduduk itu tetap berjalan dalam kurun waktu dua abad, maka jumlah penduduk bumi akan mencapai lima milyard.

Setelah menelaah buku ini, ketika mengajukan interpretasi tentang keseimbangan antara jumlah umat manusia dan binatang, Darwin mengetengahkan teori “perjuangan untuk hidup” (struggle for existence). Perjuangan ini akan terealisasi akibat sebuah pilihan alamiah, dan akhirnya sebuah makhluk yang lebih pantas hidup akan kekal. Pilihan sintetis yang dilakukan oleh manusia dan dengan jalan memperkuat pertumbuhan sebagian tumbuhan dan binatang dapat mewujudkan generasi yang lebih bagus.

Di samping buku Malthus, pemikiran dan percobaan-percobaan yang pernah dilakukan oleh Lamarck dan para pemikir yang lain adalah faktor lain yang memiliki pengaruh besar terhadap teori Darwin. Lamarck membagi bumi dan makhluk hidup ke dalam beberapa periode:

1. Pada periode pertama yang berlangsung selama 2 juta tahun, tidak ada satu makhluk hidup pun yang ada di muka bumi.

2. Pada periode kedua yang berlangsung selama 1 milyard tahun, bumi hanya dihuni oleh makhluk hidup bersel tunggal dan binatang-binatang laut yang sangat sederhana.

3. Pada periode ketiga yang berlangsung selama 360 juta tahun, binatang melata yang hidup di dua alam dan tak bertulang punggung muncul di permukaan bumi.

4. Pada periode keempat yang berlangsung selama 750 juta tahun, binatang mamalia, bangsa ikan, dan burung muncul di permukaan bumi.

5. Pada periode kelima yang belangsung selama 75 juta tahun, makhluk hidup yang lebih sempurna dan manusia anthropoid muncul di permukaan bumi. Pada era 1 juta tahun terakhir, manusia telah berubah menjadi manusia sempurna yang dapat kita lihat sekarang.

Darwin juga banyak terpengaruh oleh pemikiran Cudolfski, pencetus ilmu Paleontologi. Riset-riset yang telah dilakukan oleh Cudolfski membuahkan teori Evolusi Spicies. Dengan mendeklarasikan teori Evolusi Spicies itu, pada hakikatnya Darwin telah mengibarkan bendera perang terbuka melawan ajaran-ajaran fundamental agama Kristen, seperti Isa sebagai juru penyelamat, penciptaan manusia dalam pandangan Taurat, keserupaan Tuhan dengan manusia, teori finalisme, kebertujuan alam wujud, dan kelebihutamaan manusia atas binatang. Meskipun demikian, kita tidak memiliki bukti yang kuat untuk menuduhnya telah berpaling dari agama.

Background Utama Teori Darwin

Background utama teori Evolusi Darwin adalah beberapa hal berikut ini:

1. Konsep kausalitas; dalam dunia makhluk hidup, tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi tanpa kausa.

2. Konsep gerak; dunia makhluk senantiasa mengalami perubahan.

3. Konsep tranformasi kuantitas menjadi tranformasi kualitas; dalam dunia makhluk, seluruh tranformasi kuantitas yang akumulatif (bertumpuk-tumpuk) akan berubah menjadi tranformasi kualitas.

4. Konsep kekekalan materi dan energi; antara dunia makhluk hidup dan makhluk tak hidup terjadi proses pertukaran materi dan energi. Dalam proses pertukaran ini, tidak ada suatu apapun yang akan sirna.

5. Konsep antagonisme; setiap partikel dari dunia makhluk hidup dan begitu juga keseluruhan dunia tersebut senantiasa memiliki antagonis yang menganugerahkan identitas kepadanya. Proses antagonik dan kontradiksi adalah faktor utama gerak dan pencipta kontradiksi-kontradiksi baru.

6. Konsep kombinasi; seluruh antagonis yang ada di dunia makhluk hidup selalu berada dalam konflik. Tapi akhirnya seluruh antagonis itu akan berpadu. Dari perpaduan ini, muncullah sebuah kombinasi baru di dunia wujud, dan kombinasi baru ini juga memiliki antagonis.

7. Konsep negasi dalam negasi; setiap sistem, baik berupa organisme individual, spicies, genus, klan, dan lain sebagainya adalah sebuah realita nyata yang akan sirna di sepanjang masa lantaran konflik yang terjadi antar antagonis. Tempat realita itu diambil alih oleh realita nyata baru yang ia sendiri akan sirna pada suatu hari. Hasil dari negasi dalam negasi ini adalah proses tranformasi.[12]

Pondasi Utama Teori Darwin

Dengan mengkombinasikan antara pengalaman empiris dan rasional, Darwin mencetuskan pondasi-pondasi teorinya berikut ini:

a. Pengaruh lingkungan hidup. Darwin mengadopsi konsep ini dari Lamarck.

b. Transformasi aksidental (random variation); Darwin membawakan banyak bukti bahwa transformasi yang terlihat spele dan terjadi dengan sendirinya dalam anggota setiap spicies terwujud secara aksidental dan saling terwarisi. Tapi berkenaan dengan sumber utama dan kausa transformasi ini, ia hanya mengandalkan rekaan dan sangkaan. Ia menegaskan bahwa teori yang telah ia cetuskan ini—dengan sendirinya—tidak mampu menjelaskan kausa seluruh tranformasi itu. Tujuan utama yang ingin digapai oleh Darwin adalah bahwa transformasi semacam ini memang benar-benar terjadi, dan ia tidak mementingkan faktor apakah yang telah mewujudkannya.[13]

Transformasi aksidental yang terjadi di dunia makhluk hidup tidak keluar dari konsep kausalitas. Transformasi aksidental adalah sebuah proses yang berdasarkan pertimbangan statistik dan perhitungan kemungkinan memiliki nasib yang lebih sedikit untuk bisa terwujud.[14]

Berkenaan dengan hal ini, Darwin menegaskan, “Di dunia binatang liar, banyak sekali kita lihat transformasi yang terjadi secara aksidental. Penggunaan kosa kata ‘aksidental’ tanpa disertai pengakuan yang tegas adalah sebuah pengakuan atas kebodohan kita terhadap kausa-kausa transformasi individual tersebut.”[15]

c. Pertikaian untuk kekal; secara keseluruhan, jumlah makhluk hidup (yang tidak produktif) lebih banyak daripada jumlah makhluk-makhluk hidup yang produktif (dapat menghasilkan keturunan). Sebagian transformasi dapat mewujudkan sebuah kelebihan tak terindera sehubungan dengan perlombaan dan pertikaian dahsyat dalam anggota sebuah spocies atau antara spicies-spicies yang beraneka ragam untuk menggapai kekekalan dalam sebuah lingkungan hidup.[16] Darwin mempelajari terminologi ini dari Malthus, seorang ekonom era abad ke-18.

Ketika menjelaskan pondasi dasar ini, Darwin menegaskan, “Pada saat paceklik, dua binatang karnivora akan saling berperang untuk memperebutkan sepotong daging demi mempertahankan hidup. Meskipun kehidupan setiap tumbuhan bergantung pada air, tetapi eksistensi tumbuhan yang hidup di pinggiran sebuah padang yang tak berair dan tak berumput bergantung pada semangatnya untuk berperang melawan kekeringan. Pengertian konsep pertikaian untuk kekal dapat diumpamakan dengan pertikaian antara benalu dan sebatang pohon yang dihinggapinya. Jika jumlah benalu yang tumbuh di atas sebatang pohon semakin banyak, maka pohon itu akan kering. Untuk mempermudah kita memahami pengertian ini, kami menggunakan terminologi pertikaian untuk kekal.”[17]

Pertikaian untuk kekal adalah konsekuensi yang tak dapat dihindari dari sebuah realita bahwa organisme setiap makhluk hidup memiliki keinginan untuk memperbanyak diri dan berkembang biak. Berdasarkan doktrin Malthus, makhluk hidup yang berkembang biak melalui jalan penanaman biji atau bertelur sudah seharusnya mempersiapkan diri untuk musnah pada suatu periode kehidupannya. Jika tidak demikian, lantaran faktor keinginan setiap makhluk hidup untuk berkembang biak secara geometrikal, maka makhluk hidup akan bertambah banyak dalam waktu yang sangat singkat sehingga dunia manapun tidak akan mampu lagi untuk menampungnya. Karena setiap makhluk hidup dapat lebih banyak menciptakan keturunan dibandingkan dengan makhluk lain yang mampu untuk meneruskan hidup, maka peperangan dan pertikaian di antara anggota sebuah spicies makhluk hidup itu dan dengan spicies makhluk hidup yang lain atau dengan kondisi lingkungan hidupnya pasti harus terjadi. Proses perkembangbiakan ini—tanpa pengecualian—dimiliki oleh seluruh organisme makhluk hidup. Setiap makhluk hidup akan berkembang biak dengan cepat sekali. Jika tidak ada penghalang yang dapat mencegah proses perkembangbiakan ini, niscaya keturunan yang dimiliki oleh sepasang makhluk hidup akan memenuhi seluruh bumi. Manusia juga begitu. Meskipun makhluk ini berkembang biak dengan sangat lambat, akan tetapi dalam kurun waktu dua puluh lima tahun, jumlahnya akan bertambah dua kali lipat. Setelah beberapa ribu tahun, tidak akan ada tempat lagi di atas bumi ini untuk keturunan manusia.

Kami memiliki beberapa contoh untuk realita ini. Untuk pertama kali, sebuah tumbuhan dipindahkan ke sebuah pulau, dan dalam kurun waktu sepuluh tahun, tumbuhan itu telah memenuhi seluruh pulau tersebut. Meskipun terjadi pertikaian dengan seluruh faktor yang ada di lingkungan sekitarnya, tetapi organisme setiap makhluk hidup tetap memiliki keinginan untuk berkembang biak. Tidak boleh kita lupakan bahwa setiap makhluk hidup, baik tua maupun muda, akan mengalami sebuah peperangan yang dahsyat pada suatu periode kehidupannya untuk mempertahankan diri dari kebinasaan. Jika kita dapat membasmi faktor yang dapat menyebabkan kebinasaannya, meskipun faktor itu bersifat sepele, maka jumlah makhluk hidup itu akan bertambah banyak secara menakjubkan. Faktor yang berpengaruh dalam upaya mencegah proses perkembangbiakan itu sangatlah penting.[18]

Darwin meyakini bahwa kondisi sebuah iklim dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sangat berpengaruh dalam menyetabilkan jumlah rata-rata anggota sebuah spicies. Hawa yang sangat dingin pada sebuah musim dingin dan paceklik pada sebuah musim panas dapat mengurangi jumlah anggota sebuah spicies secara gradual. Pertikaian untuk kekal di kalangan binatang dan tumbuh-tumbuhan, begitu juga di kalangan anggota sebuah spicies adalah lebih dahsyat dan lebih serius. Ketika peperangan di kalangan spicies dalam satu genus berubah menjadi pertikaian untuk kekal, meskipun spicies itu banyak memiliki keserupaan bentuk rupa, adat istiadat, dan khususnya postur tubuh, maka peperangan itu akan lebih dahsyat dibandingkan dengan peperangan yang terjadi antara satu spicies yang berasal dari satu genus dengan spicies lain yang berasal dari genus yang berbeda.[19]

d. Konsep pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh; Darwin mempelajari konsep ini dari Lamarck dan memanfaatkannya dalam buku Mansha’-e Anva’. Ketika menjelaskan unsur biologis ini, ia menulis, “Dalam bangsa binatang yang jinak, pemanfaatan (anggota tubuh) menyebabkan penguatan dan pengembangan sebagian anggota tubuhnya. Akan tetapi, jika anggota-anggota tubuh itu tidak dimanfaatkan, maka hal ini akan mewujudkan pengurangan di dalamnya. Tranformasi semacam ini bersifat genetik (warisan). Nenek moyang bangsa burung unta memiliki kebiasaan sebagaimana burung-burung yang lain. Sebuah pilihan dan tindakan secara natural dalam beberapa periode kehidupan yang sangat panjang menyebabkan ukuran dan berat tubuhnya bertambah. Kedua kakinya lantaran senantiasa difungsikan bertambah besar. Sementara itu, kedua sayapnya kehilangan kemampuan untuk terbang secara perlahan-lahan.”[20]

e. Perpindahan karakteristik akuisitif melalui jalan warisan; jika perubahan biologis dan kondisi lingkungan hidup mewujudkan perubahan dalam diri makhluk hidup, dan faktor ini bertindak cepat dalam tindakannya, maka efek-efek kecil akan bertumpuk menjadi satu dan generasi demi generasi akan bertambah kokoh. Ketika perubahan-perubahan itu berpindah kepada keturunan berikutnya, maka hal itu akan menyebabkan perubahan bentuk organik dan spicies-spicies baru akan muncul.

f. Pemilihan spicies terbaik atau kekekalan spicies yang paling bermutu (survival of the fittest); sebuah pilihan yang terlaksana secara natural akan mengubah bentuk dan kombinasi etika sebuah keturunan dibandingkan dengan nenek moyang mereka. Di samping itu, pilihan ini juga akan menambah proses kelahiran dalam porsi yang lebih banyak di kalangan mereka. Dengan berkurangnya perubahan yang tak diinginkan dan musnahnya sebagian anggota tubuh, sebuah makhluk akan berubah menjadi spicies lain secara gradual. Darwin menamakan proses menghindari perubahan yang membawa kerugian dan memelihara perubahan yang berguna dengan “pilihan natural” atau “kekekalan spicies yang terbaik”. Ia mengambil terminologi ini dari Spencer. Pilihan natural hadir dalam semua medan tanpa suara dan tak terindera sembari memeriksa perubahan-perubahan yang terkecil sekalipun secara detail. Pilihan ini menghilangkan hal-hal yang membahayakan dan menyimpan segala sesuatu yang sesuai dan berguna. Menurut Darwin, setiap perubahan dalam kondisi lingkungan hidup akan membangkitkan keinginan untuk berubah dalam diri makhluk hidup. Di antara sekian perubahan-perubahan yang terjadi, perubahan yang lebih bermanfaat bagi kondisi makhluk hidup berdasarkan pilihan natural akan memiliki nasib untuk kekal dan berkembang. Jika tidak terjadi perubahan apapun, maka pilihan natural tidak akan pernah terjadi. Ya, kita tidak boleh lupa bahwa maksud kami dari perubahan itu hanyalah perubahan kecil yang bersifat individual.[21]

Memperhatikan pilihan artifisial yang dilakukan oleh manusia pada saat menanam tumbuh-tumbuhan dan memelihara binatang, Darwin berhasil menyingkap unsur pilihan natural di alam semesta ini. Tentang pilihan artifisial manusia itu, Darwin menulis, “Manusia tidak mampu mewujudkan kemampuan untuk berubah (dalam diri sesuatu) dan juga tidak bisa mencegah proses perubahan tersebut. Satu-satunya tindakan yang bisa ia lakukan adalah mengumpulkan dan menjaga perubahan-perubahan yang terjadi.”[22] Ketika menjelaskan topik ini, ia lebih lanjut menulis, “Ketika perubahan yang bermanfaat terjadi dalam organisme sebuah makhluk hidup, makhluk hidup yang memiliki perubahan tersebut dalam rangka pertikaian untuk kekal memiliki nasib yang lebih banyak (untuk kekal), dan sesuai dengan konsep warisan turun-temurun, ia akan dilahirkan dengan seluruh karakteristik yang sudah ada itu. Saya menamakan dasar-dasar untuk memelihara perubahan yang bermanfaat dan kekekalan makhluk yang lebih pantas ini dengan pilihan natural.”[23]

Dalam persepsi Darwin, waktu yang cukup memiliki peranan penting dalam tindak pilihan natural. Yakni jika kita bertanya kepada Darwin mengapa suatu anggota tubuh mengalami perubahan, tetapi mulut lebah tidak memanjang sehingga ia dapat dengan mudah mengisap sari bunga semanggi merah? Atau mengapa ayam unta tidak bisa terbang? Darwin akan menjawab bahwa waktu tidak cukup sehingga pilihan natural tidak dapat menyempurnakan tindakan dan prosesnya yang bersifat gradual.”[24]

Untuk lebih menjelaskan unsur waktu ini lebih lanjut, Darwin membawakan beberapa contoh. Sebagai contoh, srigala menyerang binatang-binatang yang lain dengan cara tipu muslihat, paksaan, atau kadang-kadang dengan cara berlari kencang. Kita asumsikan bahwa lantaran berbagai perubahan di area lingkungan hidup, mangsa srigala yang paling cepat berlari; yaitu rusa, bertambah banyak dan binatang-binatang lain yang sering diserang oleh srigala berkurang secara drastis. Dalam kondisi semacam ini, srigala yang bertubuh ramping dan dapat berlari kencang memiliki nasib yang lebih banyak untuk hidup dan pilihan natural akan memaksanya untuk bertubuh demikian. Ketika manusia ingin menambah kekencangan lari anjing pemburu dan memperbaiki keturunannya, ia juga menggunakan cara pilihan yang bersandarkan pada metode kecepatan.[25]

Darwin tidak hanya membatasi teori pilihan natural ini pada perubahan fisik makhluk hidup. Akan tetapi, pilihan natural ini juga berpengaruh dalam pembentukan nalurinya. Darwin menafsirkan perubahan naluri dalam diri binatang yang beraneka ragam juga dengan unsur pilihan ini.[26] Ketika menjelaskan unsur pilihan natural, Darwin mengisyaratkan hal-hal berikut ini:

• Pilihan natural—dengan bersandarkan pada realita kompetisi yang ada di kalangan makhluk hidup—hanya menyemurnakan (perubahan) makhluk yang hidup di sebuah belahan bumi dibandingkan dengan penghuni lain belahan bumi tersebut (dan tidak ada hubungannya dengan penghuni belahan bumi yang lain).[27]

• Pilihan natural tidak mampu melakukan perubahan yang penting dan secara tiba-tiba. Pilihan natural hanya mampu mengumpulkan perubahan yang ringan, berkesinambungan, dan bermanfaat bagi makhluk hidup, dan itu pun dengan gerakan yang sangat lamban.[28]

• Pilihan natural hanya dapat berpengaruh melalui jalan memelihara dan mengumpulkan perubahan-perubahan yang bermanfaat bagi makhluk hidup dan yang terjadi pada kondisi organik dan non-organik selama periode kehidupannya yang berbeda-beda. Hasil pilihan natural ini adalah perbaikan kondisi makhluk hidup yang sangat menakjubkan terhadap situasi dan kondisi lingkungan hidup yang mendominasi.[29]

• Konsep pilihan natural membuktikan bahwa organisme yang dapat melanjutkan dan bertahan hidup hanyalah organisme yang memiliki serentetan karakteristik yang dapat membantunya dalam menghadapi peperangan melawan kehidupan. Lingkungan hidup akan membinasakan makhluk hidup yang tidak sempurna dan memperkuat makhluk hidup yang lebih memiliki kesiapan untuk melanjutkan kehidupan. Menurut Darwin, pilihan natural melakukan dua hal: (1) mewujudkan keseimbangan logis antara tatanan tubuh sebuah makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya dan (2) mengembangkan organisme tubuh dari organisme yang lebih sederhana kepada organisme yang lebih sempurna dan dari organisme yang rendah kepada organisme yang tinggi.[30]

• Pilihan natural terwujud lantaran pertikaian untuk kekal dan pertikaian untuk kekal akan terjadi apabila makhluk hidup menghadapi ketidakseimbangan prasarana hidup yang disebabkan oleh proses perkembangbiakan yang melebihi batas yang normal dan berlangsung sangat cepat.[31]

• Teori Evolusi melalui jalan pilihan natural dapat musnah apabila salah satu karakteristik dan sifat berbahaya atau tidak bermanfaat lagi bagi anggota sebuah spicies. Akan tetapi, karakteristik dan sifat-sifat itu masih dimanfaatkan oleh spicies yang lain.

• Kosa kata “makhluk yang lebih pantas” (ashlah) dalam konsep “memilih makhluk yang lebih pantas” berarti kelebihserasian sebuah makhluk hidup dengan lingkungan hidup dan kelebihmampuannya untuk tetap bertahan hidup, bukan berarti kesempurnaan yang lebih sempurna.

Darwin dan Manusia

Darwin berkeyakinan bahwa perbedaan antara manusia dan binatang, baik dari sisi postur tubuh maupun kejiwaan, hanya bersifat kuantitas. Ia tidak meyakini adanya perbedaan kualitas antara kedua makhluk ini. Atas dasar ini, perasaan, pemahaman rasional, naluri, keinginan, rasa cinta dan benci, dan lain sebagainya juga dimiliki oleh binatang-binatang hina dalam bentuk yang sangat primitif dan kadang-kadang pula dalam bentuk yang sudah sempurna. Darwin bersiteguh bahwa nenek moyang manusia yang berkaki empat pada mulanya berdiri dengan menggunakan dua kaki belakangnya, tetapi tidak secara sempurna. Realita ini adalah permulaan ditemukannya makhluk hidup berkaki dua. Pertikaian untuk kekal dan perubahan kondisi lingkungan hidup memiliki peran yang sangat penting dalam evolusi manusia. Dalam perubahan kera berbentuk manusia menjadi manusia, Darwin menegaskan bahwa faktor geografis dan ekonomis memiliki saham yang sama. Penjelasannya adalah berikut ini:

Ketika bahan makanan berkurang pada saat pertikaian untuk kekal terjadi, manusia sudah terbiasa mengkonsumsi bahan makanan yang beraneka ragam. Dengan berubah dari herbivora mutlak menjadi omnivora, ia telah mengambil langkah fundamental menuju evolusi. Banyak sekali ilmuwan yang menentang teori ini dan memilih persepsi yang lain. Sebagai contoh, Laille meyakini bahwa manusia menjadi sempurna dengan mengalami mutasi yang tiba-tiba dan tak disangka-sangka. Vallas mengklaim bahwa terwujudnya manusia harus dicari dalam bentuk tertentu dari sebuah evolusi. Ia meyakini bahwa manusia dapat membebaskan dirinya dari cengkeraman alam materi dengan bantuan kecerdasan dan kemampuannya untuk menyediakan pakaian, membuat senjata dan seluruh sarana kehidupan, serta dengan kekuatan yang ia miliki untuk mengubah lingkungan hidup dan susunan internal tubuhnya. Seluruh kemampuan dan kekuatan ini juga mampu mencegah dunia luar untuk memaksa manusia seperti layaknya seluruh binatang yang lain berdamai dengan lingkungan hidupnya. Atas dasar ini, dengan bersandar pada keistimewaan dan karasteristik yang dimiliki oleh manusia, Vallas mengingkari bahwa teori pemilihan natural dapat dikomparasikan dengan teori Evolusi manusia. Ia berkeyakinan bahwa roh manusia bukan hasil sebuah proses alam. Dengan melontarkan perbedaan antara roh dan badan, serta keserupaan dan perbedaan embriologis dan psikologis yang dimiliki oleh manusia dan binatang, Wismen juga mendeklarasikan penentangannya terhadap teori Darwin.[32]

Evaluasi Teori Darwin

Sampai di sini jelas bagi kita bahwa teori Evolusi Darwin betumpu pada enam dasar. Bangsa binatang dengan perubahan lingkungan hidup yang dialaminya, pertikaian untuk kekal, penggunaan sebagian anggota tubuhnya dan penon-fungsian sebagian anggota tubuh yang lain, mengalami perubahan fisik. Dengan pilihan natural, ia memiliki hal-hal yang sesuai dengan tubuhnya dan membuang hal-hal yang tidak sejalan dengan kondisi fisiknya. Akhirnya, perubahan-perubahan akuisitif ini—melalui jalan waris-mewarisi di sepanjang perjalanan hidup—menyebabkan evolusi di dunia makhluk hidup. Sekarang kita menghadapi dua pertanyaan di bawah ini:

• Apakah seluruh perubahan biologis yang dialami oleh binatang di sepanjang perjalanan hidupnya ini dapat diinterpretasikan dengan teori evolusi?

• Jika terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam teori evolusi, apakah ada sebuah teori lebih unggul yang telah dijadikan sebagai penggantinya atau belum?

Perlu kami ketengahkan di sini bahwa di dunia Eropa, di samping para rohaniawan dan pendeta seperti Hansloe, Sajwick, dan Violle, juga terdapat beberapa ilmuwan yang memiliki kedudukan penting di universtas serta juga memiliki karya dan pengaruh yang sangat besar dalam bidang ilmu biologi menentang teori Darwin. Para ilmuwan kenamaan seperti Louis Agasser (embriolog), Richard Oven (paleontolog), Charles Arsent Birre, dan George Miawart (dua zoolog berkebangsaan Inggris) adalah para penentang teori Darwin yang sangat getol. Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan beberapa kejanggalan yang terdapat dalam teori Darwin.

1. Pertama, sebuah teori ilmiah dipandang dari sisi logika adalah sebuah kaidah universal yang menjelaskan sebuah sistem yang terjadi secara berulang-ulang dan bersifat abadi. Kedua, berdasarkan kaidah tersebut, prediksi sebuah peristiwa dan juga interpretasinya dapat dipahami dengan mudah. Ketiga, ketidakbenaran sebuah kaidah ilmiah dapat dipahami melalui pengalaman. Atas dasar ini, statemen-statemen parsial dan realita di alam nyata seperti “matahari adalah sebuah planet yang sangat panas” dan “Napeleon mengalami kekalahan dalam perang Watherloe”, serta premis-premis yang tidak bisa dieksperimen keluar dari ruang lingkup kaidah ilmiah. Ketika menjelaskan program universal dan kaidah umum kebinasaan dan kekekalan makhluk hidup di medan sejarah, Darwin menegaskan bahwa di masa, tempat, dan iklim tertentu, sekelompok binatang yang tidak memiliki kelayakan untuk kekal akan binasa dan sekelompok binatang yang memiliki kelayakan untuk kekal akan kekal. Kebinasaan dan kekekalan senantiasa adalah hasil kelayakan dan ketidaklayakan seekor binatang.

Sekarang, jika kita bertanya binatang manakah yang akan kekal? Jawabannya adalah binatang yang lebih layak. Jika kita bertanya binatang manakah yang lebih layak? Jawabannya adalah binatang yang akan kekal. Hasilnya, binatang yang akan kekal adalah binatang yang akan kekal.

Jelas, realita ini adalah sebuah sirkulasi logika (dawr mantiqi) yang tersembunyi dalam teori pilihan natural dan kekekalan makhluk yang lebih pantas. Tidak ada tempat pelarian dari sirkulasi ini.

Di samping itu semua, teori pilihan natural tidak pernah menentukan tolok ukur yang pasti untuk membedakan mana binatang yang bisa bertahan hidup dan mana yang tidak bisa bertahan hidup atau mana binatang yang layak dan mana yang tidak layak. Atas dasar teori ini, masa depan sekelompok binatang tidak dapat dipastikan. Sebagai contoh, ketika terjadi pertikaian antara manusia dan kucing untuk tetap hidup kekal, tidak dapat dipastikan siapa yang akan menang? Ketika teori Evolusi tidak mampu untuk memberikan sebuah prediksi, maka teori ini dengan sendirinya akan dapat dibatalkan, karena teori ini bersifat tautologik; yaitu ketika ingin mendefinisikan sebuah klaim, ia harus meminta pertolongan kepada klaim itu sendiri.[33]

Atas dasar ini, teori pilihan natural selalu abstain berkenaan dengan liku-liku dan arah peristiwa yang akan terjadi. Jika manusia tidak terwujud dalam mata rantai sebuah evolusi, niscaya teori pilihan natural akan menafsirkan bahwa tidak ada jalan lain; situasi dan kondisi tidak membantu. Jika sebuah makhluk hidup yang bernama manusia terwujud secara aksidental sekalipun, maka teori ini akan menjustifikasi kekekalan manusia itu berdasarkan kelayakan dan kemampuan yang ia miliki untuk menyelaraskan diri dengan lingkungan hidup. Dengan demikian, mekanisme teori pilihan natural akan memberikan jawaban yang sama dalam menghadapi setiap peristiwa dan tidak akan menampakkan sebuah sensitifitas berkenaan peristiwa apapun. Konsekuensinya adalah teori ini tidak bersifat ilmiah,[34] karena sebuah kaidah ilmiah harus memiliki kemampuan dalam menunjukkan presdiksinya.

2. Jika teori Evolusi adalah sebuah teori yang bersifat universal, maka mengapa hanya sebagian binatang yang berubah menjadi spicies binatang yang lain, padahal sebagian yang lain dari binatang yang sama dan di daerah yang sama pula tetap berbentuk seperti sedia kala? Sebagai contoh, dalam sejarah perkembangan biologis, mengapa sebagian kera telah berubah menjadi manusia, sementara kera-kera yang lain tetap berupa kera seperti sedia kala?

3. Teori perpindahan sifat-sifat akuisitif kepada generasi-generasi yang akan datang melalui jalan waris-mewarisi sebagai salah satu pondasi teori Lamarck dan Darwin telah berhasil dibatalkan oleh para ilmuwan embriolog pada masa kini. Dalam berbagai eksperimen, mereka melakukan penelitian atas berbagai kasus seperti penderita penyakit yang terpotong salah satu anggota tubuhnya, penggunaan dan non-penggunaan anggota tubuh, dan pendidikan serta pengajaran selama dua puluh dua generasi. Akan tetapi, mereka tidak pernah sampai pada kesimpulan adanya perpindahan sifat-sifat akuisitif tersebut. Lebih penting dari itu, khitan anak laki-laki yang dilakukan oleh muslimin dan para pengikut agama Kalimi dan telah berlanjut selama berabad-abad adalah contoh eksperimen paling jitu yang hingga sekarang belum berubah menjadi sebuah warisan secara turun-temurun.[35] Dengan kata lain, hanya perubahan-perubahan yang terdapat dalam sel-sel seksual dapat berpindah kepada generasi-generasi mendatang.

4. Darwin sangat memberikan perhatian khusus terhadap unsur pertikaian untuk kekal. Padahal hubungan antar makhluk hidup tidak hanya terbatas pada perang dan pertikaian. Banyak sekali bentuk saling tolong-menolong dan gotong royong yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari.[36]

5. Dr. Louis Leykee dan istrinya pernah mengadakan sebuah riset untuk menemukan fosil-fosil manusia pra sejarah di belahan timur Afrika. Riset ini berlangsung selama tiga puluh tahun. Mereka menemukan sebuah tengkorak yang betul-betul serupa dengan tengkorak kepala manusia. Pemilik tengkorak itu pernah hidup sekitar dua juta tahun silam dan memiliki dagu yang serupa dengan dagu manusia. Wajahnya lebar dan rata, serta memiliki dagu yang berbentuk bujur sangkar. Tengkorak ini sama sekali tidak memiliki keserupaan dengan kera. Dengan adanya penemuan-penemuan semacam ini, teori Darwin sedikit banyak mengalami kegoncangan dan kejanggalan.[37]

6. Kaidah adaptasi dengan lingkungan hidup tidak selamanya menyebabkan penggunaan dan non-penggunaan anggota tubuh yang akhirnya akan menyebabkan sebuah evolusi spicies. Sebagai contoh, Mr. Payne pernah melakukan penelitian terhadap lalat cuka yang dipelihara dalam sebuah tempat yang gelap gulita selama enam puluh sembilan generasi secara berturut-turut. Meskipun lalat itu telah beradaptasi dengan lingkungannya, akan tetapi mata generasi lalat yang terakhir tetap berbentuk normal.[38]

7. Teori Darwin lebih menitikberatkan pada bukti-bukti penemuan paleontologis, embriologis, dan anatomi komparatif. Semua bukti itu hanya bersandarkan pada prasangka yang tidak dapat mendatangkan keyakinan dan hanya bersifat parsial. Atas dasar ini, teori ini tidak dapat dipopularisasikan sebagai sebuah teori ilmiah. Hanya keserupaan yang dimiliki oleh janin-janin binatang atau perbandingan beberapa unsur binatang dan keserupaan yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas keilmiahan sebuah teori.

8. Menurut hemat kami, pondasi dan pilar-pilar teori Darwin tidak mampu untuk menginterpretasikan banyak hakikat seperti naluri, ilham, akal, dan lain sebagainya, meskipun ia sendiri bersikeras ingin membuktikan kemampuan teorinya dalam hal ini.

9. Darwin meyakini bahwa perbedaan antara perasaan manusia dan kera yang berupa manusia hanya bersifat kuantitas. Padahal jika kita meneliti seluruh periode belajar, perkembangan, dan stimulasi dengan jeli, niscaya perbedaan kualitas antara dua makhluk ini sangat jelas dan gamblang. Dengan kata lain, perbedaan kuantitas yang dimiliki oleh kedua makhluk ini menjadi sumber kemunculan sebuah perbedaan kualitas.

10. Sebagian orang ingin memanfaatkan unsur pilihan natural dalam realita-realita yang bersifat sosial. Padahal konsep ini tidak memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan banyak realita sosial, seperti realita kemunculan dan kesirnaan peradaban.

11. Para pembela teori Transformisme hingga kini belum mampu mengenal mata rantai terakhir pemisah antara manusia dan binatang sehingga rantai kesempurnaan itu dapat mencapai kesempurnaan puncaknya. Realita ini menghikayatkan kelemahan teori ini.

12. Hasil penelitian para ilmuwan Jerman berkenaan dengan evolusi manusia melaporkan, “Berdasarkan riset genetik modern yang telah dilaksanakan di Jerman, seluruh teori Evolusi yang telah dicetuskan oleh akal manusia itu tidak memiliki makna. Berdasarkan laporan Pusat Berita Negara menukil dari Kantor Pusat Televisi CNN, sebuah riset ilmiah modern melakukan penelitian ulang atas teori ilmiah yang telah berhasil menyita pikiran para ilmuwan selama bertahun-tahun itu. Riset ilmiah ini membuktikan bahwa seluruh klaim teori Evolusi adalah keliru.”

“Menurut laporan ini, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan atas DNA sebuah fosil jasad manusia Neondertal yang pernah hidup pada seratus ribu tahun yang lalu, manusia itu secara genetik tidak memiliki keserupaan sama sekali dengan DNA kera yang selama ini dianggap sebagai nenek moyang manusia yang hidup pada masa sekarang ini.”

“Laporan ini juga menegaskan, padahal banyak sekali keserupaan yang dimiliki oleh manusia Neondertal dengan manusia yang hidup di masa kini, akan tetapi semua itu tidak bisa dianggap sebagai bukti-bukti ilmiah. Menurut keyakinan salah seorang ahli berkebangsaan Amerika yang telah melakukan penelitian dalam bidang sejarah evolusi manusia, riset yang telah dilakukan oleh para ilmuwan Jerman itu adalah lebih penting daripada peristiwa landing-nya sebuah pesawat ruang angkasa di planet Mars.”[39]

d. Neo Darwinisme

Teori keempat dari teori Evolusi adalah teori Neo Darwinisme. Teori ini dibangun oleh August Wisman, seorang zoolog berkebangsaan Jerman. Ia mengkritik dan mengingkari adanya perpindahan sifat-sifat akuisitif kepada generasi-generasi berikutnya. Akan tetapi, ia mengklasifikan sel-sel makhluk hidup dalam dua kategori: (a) sel Germin (seks) dan (b) sel Soma (anatomi). Kemudian, dengan mencetuskan teori Plasma Janin (Plasma Embryogenique) dan bahwa materi itu hanya dimonopoli oleh sel-sel seksual, ia berhasil menafsirkan tata cara perpindahan sifat dan karakteristik kepada generasi-generasi berikutnya. Ia menamakan materi ini dengan Materi Patrimonial.

Menurut Wisman, karena sel-sel Soma akan sirna setelah sebuah makhluk hidup mati, perubahan-perubahan akuisitif tidak akan berpindah kepada generasi berikutnya melalui sel ini. Hanya perubahan yang terdapat dalam sel-sel Germin dan tersimpan dalam kelenjar seksual akan berpengaruh dan dapat berpindah kepada generasi berikutnya. Para penganut teori Neo Darwinisme menggunakan Materi Patrimonial untuk melontarkan kritikan terhadap para penganut teori Darwinisme. Mereka meyakini bahwa materi ini bersifat abadi, tak berubah-ubah, dan kebal terhadap seluruh perubahan lingkungan hidup.[40]

e. Teori Mutasi (Perubahan Secara Tiba-Tiba)

Teori Mutasi adalah teori kelima dari sekian teori Evolusi. Terori ini meyakini bahwa perubahan gen yang terjadi dengan tiba-tiba dan sekaligus menyebabkan perubahan yang bersifat patrimonial dalam diri spicies. Evolusi tumbuh-tumbuhan dan binatang terjadi melalui cara ini. Dengan bersandar pada teori ini, para ilmuwan dapat menjustifikasi dan menafsirkan evolusi yang terjadi pada berbagai spicies dengan lebih baik.

Teori ini dicetuskan oleh Hugo Deoufris, seorang botanis berkebangsaan Belgia. Teori ini mengklaim bahwa sebagian biji tumbuh-tumbuhan, meskipun memiliki keserupaan yang sempurna dengan spicies-spiciesnya, mengalami perubahan spicies dan karakteristik. Perubahan ini terjadi dengan tiba-tiba, sekaligus, dan tanpa terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar lingkungan hidup. Perubahan ini akan berpindah kepada generasi berikutnya melalui jalan gen.[41] Dari sejak ilmu genetika berkembang pesat dikalangan para penggandrungnya, teori Mutasi sebagai sebuah teori ilmiah menjadi pengganti seluruh teori yang lain.

“Berkenaan dengan hubungan teori Transformisme dengan ayat-ayat Al-Qur’an, pertanyaan yang mencuat adalah apakah kita dapat menyesuaikan teori ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan penciptaan manusia? Apakah manusia memiliki penciptaan yang bersifat derivatif?”

Efek dan Pengaruh Teori Darwin

Pandangan dan pemikiran Darwin, seperti persepsi dan teori Newton, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pemikiran yang berkembang di dunia ini. Dengan mencetuskan teori naturalistis dan interpretasi vehikularnya terhadap dunia biologis, Newton telah berhasil mengubah Monoteisme yang bersandarkan pada ajaran wahyu menjadi Monotoisme Naturalis atau Deisme. Darwin, dengan teori Evolusinya di dunia biologis, juga telah berhasil menanamkan efek dan pengaruhnya dalam bidang agama, akhlak, sosiologi, dan antropologi. Atas dasar ini, hendaknya kita senantiasa memperhatikan satu poin. Yaitu, meskipun Darwin dikenal sebagai seorang ahli biologi, akan tetapi teori Evolusinya—yang notabene banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran logika dan pondasi dasar teori dialektika Hegel, serta dasar-dasar pemikiran Lamarck dan para pemikir yang lain—memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap mayoritas aliran pemikiran filsafat, teologi, sosiologi, humanisme, dan biologi.

Proses ilmiah ini berhasil mewujudkan relasi-relasi baru antara bidang-bidang ilmu pengetahuan dalam kerangka pemikiran manusia. Sebelum Darwin, banyak ilmuwan dan ahli biologi seperti Boufon, Lamarck, dan lain-lain yang mengusulkan teori Evolusi dalam bidang ilmu biologi, geologi, kimia, dan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain. Akan tetapi, lantaran beberapa alasan seperti kelemahan argumentasi dan bukti-bukti yang diajukan, teori mereka tidak berhasil menarik perhatian dan reaksi masyarakat kala itu, dan para penafsir kitab-kitab suci dalam usaha memerangi mereka dengan mudah berhasil menyelamatkan kitab-kitab suci mereka dari kemelut kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama dengan sedikit justifikasi dan penafsiran. Sebagai contoh, ketika David Hume dan August Comte melontarkan kritik terhadap banyak argumentasi tentang pembuktian Tuhan seperti argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta, mereka membela argumentasi tersebut dan akhirnya berhasil mempertahankan opini masyarakat umum.

Akan tetapi, kemunculan teori Evolusi Darwin mewujudkan sebuah gebrakan baru. Penafsiran perubahan alam biologis dengan unsur pertikaian untuk kekal, unsur pilihan natural, perpindahan karakteristik akuisitif kepada generasi berikut, pergantian spicies lama menjadi spicies baru, klaim bahwa makhluk hidup yang sekarang kita lihat ini terwujud dari makhluk masa lalu yang bersel tunggal dan manusia memiliki hubungan kefamilian dengan spicies-spicies makhluk hidup yang lain, dan—ringkasnya—usulan teori Transformisme, semua pondasi dan dasar pemikiran ini berhasil mendatangkan sebuah pukulan yang sangat telak terhadap pemikiran religius di dunia Eropa dan imbas ledakan pukulan ini juga mempengaruhi dunia Islam. Hingga kini, lebih dari satu abad, teori Darwin berhasil menghadapkan kedua teori pemikiran itu sebagai dua musuh yang saling berjibaku.

Pada kesempatan ini, kami akan mengemukan sebagian efek dan imbas teori Evolusi Darwin sehingga akhirnya nanti kita bisa menilai kebenaran atau kesalahan sebagian klaim yang diajukan oleh sebagian pemikir dan ilmuwan dunia.

1. Kontradiksi Darwinisme dengan Makrifatullah
Seperti telah dijelaskan sebelum ini, terdapat dua pandangan berkenaan dengan penciptaan spicies: (1) teori Fixisme yang meyakini penciptaan independen yang bersifat tiba-tiba dan (2) teori Transformasi yang meyakini bahwa seluruh makhluk hidup terderivasi dari sesamanya. Pertanyaan yang ada adalah apakah kita dapat mengasumsikan bahwa teori Fixisme sejalan dengan konsep makrifatullah dan teori Transformisme menentang konsep tersebut?

Sebagian pemikir mengklaim bahwa teori Darwin kontradiktif dengan argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta (itqan-e son’) atau argumentasi teleolgikal (pengetahuan tentang tujuan ciptaan) sehingga dengan argumentasi ini—yang merupakan argumentasi terpenting tentang konsep makrifatullah—kita tidak akan mampu membuktikan keberadaan Tuhan. Tidak diragukan bahwa argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta di samping argumentasi ontologikal (hasti-shenakhti) dan kosmodogikal (jahan-shenakhti) adalah salah satu argumentasi terpenting dari tiga argumentasi klasik (tentang keberadaan Tuhan). Ringkasan argumentasi ini adalah sebagai berikut:

Alam semesta ini adalah manifestasi keteraturan yang memiliki tujuan (proyek, managemen, dan kesesuaian). Atas dasar ini, pewujud alam semesta ini adalah sebuah Dzat yang cerdas, manager, dan bijaksana. Kualifikasi utama sebuah keteraturan yang memiliki tujuan adalah keteraturan itu membentuk seluruh proses dan struktur alam semesta ini sedemikian rupa sehingga memiliki keserasian dan dapat menelurkan sebuah hasil tertentu. Ketika menjelaskan srgumentasi ini, William Paley (1743-1805 M.), seorang teolog dan filosof berkebangsaan Inggris, menulis, “Jika seseorang menemukan sebuah jam di pulau Barhuti, ia berhak memiliki pikiran bahwa seorang yang sangat cerdas telah menciptakan jam itu. Menurut persepsi teori Evolusi, struktur organik masa kini lantaran sebuah proses yang bersifat antural terwujud dari batin organisme yang sangat sederhana. Berdasarkan keyakinan teori ini, terdapat dua faktor yang memainkan peran yang sangat penting: (a) mutasi dan (b) meluapnya jumlah penduduk. Mutasi bisa terjadi apabila makhluk hidup yang masih bayi berbeda dengan kedua orang tuanya dan ia memindahkan perbedaan ini kepada keturunannya dan keturunannya itu memindahkan perbedaan itu kepada makhluk yang lain. Seluruh keinginan dan mimpi Darwin adalah ia ingin menjelaskan bagaimana organisme yang sangt rumit terwujud dari organisme yang lebih sederhana.”[42]

Untuk menjelaskan argumentasi keteraturan, mereka telah menyebutkan banyak riwayat dan penjelasan. Menurut penjelasan Iseley, Darwin tidak membatalkan argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta. Akan tetapi, ia hanya menolak riwayat pencipta jam dan masa argumentasi itu.[43] Mungkin lantaran alasan ini, dalam sebagian karya tulisnya, ia memperkenalkan kaidah evolusi kehidupan sebagai sebuah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, ia meyakini bahwa sebagian spicies yang terwujud lantaran sebuah evolusi terjadi secara aksidental, bukan karena sebuah rencana dan managemen sebelum itu.[44]

Ya, kita juga harus memperhatikan poin ini; dari sebagian karya Darwin dapat dipahami bahwa maksud dia dari “secara aksidental” adalah ketidaktahuan terhadap kausa dan faktor yang mewujudkan sebuah spicies. Akan tetapi, ia juga sangat menentang konsep bahwa segala sesuatu memiliki tujuan.

Ala kulli hal, ketika menafsirkan relasi antara alam biologis dan Tuhan, sebagian ilmuwan berpendapat bahwa Tuhan beraktifitas melalui jalan evolusi dan memanagemen sebuah proyek. Proyek ini secara perlahan-lahan akan bertambah luas dan lebar.[45]

Dari satu sisi, ada beberapa ilmuwan lain yang hingga penerbitan buku Mansha-e Anva’ menegaskan bahwa dalam proses evolusi, Tuhan tidak memiliki campur tangan tentang aktifitas makhluk dan atas nama undang-undang yang permanen dan tak akan mengalami perubahan, Dia tidak ikut campur dalam mengurusi alam semesta.[46]

Kemunculan teori Darwin dan relasinya dengan konsep makrifatullah telah berhasil menimbulkan hiruk-pikuk di dunia Eropa sehingga para pembela dan penentangnya mengambil dua front yang saling berperang. Sebagian orang, dengan mengingkari teori Darwin, berusaha membela kesucian konsep makrifatullah. Sebagian yang lain menolak argumentasi keteraturan alam semesta dan menjadi para penganut aliran atheisme. Dan ada juga sebagian kelompok yang menyatukan antara dua teori dengan sangat lihai. Sebagai contoh, sebagian teman sejawat Darwin seperti Charles Line dan Herctshel meyakini bahwa teori Evolusi dan konsep pilihan natural Darwin tidak pernah bertentangan dengan mazhab dan kebijaksanaan Ilahi. Mayoritas pemikir Islam juga meyakini bahwa Darwinisme tidak pernah kontrakdiktif dengan hikmah dan kebijaksanaan ciptaan alam semesta, dan teori ini tidak pernah mampu membuktikan bahwa gerakan materi bersifat mandiri dan tidak memerlukan sebuah faktor eksternal. Hal ini karena keteraturan materi adalah pertanda kebijaksanaan alam semesta dan terwujudnya spicies-spicies baru di dunia benda mati, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk hidup adalah juga pertanda atas kebijaksanaan alam semesta dan adanya campur tangan faktor yang gaib dalam penciptaan makhluk.

Keyakinan terhadap teori Evolusi dengan segala bentuknya, sebagaimana keyakinan terhadap teori Fixisme, tidak bertentangan dengan konsep tauhid dan makrifatullah. Kedua teori ini menetapkan bahwa di alam semesta ini terdapat sebuah keteraturan yang sangat dalam dan penuh misteri, dan keteraturan ini adalah bukti atas keberadaan Tuhan. Apakah ada keteraturan yang lebih agung daripada realita bahwa Tuhan telah menciptakan seluruh makhluk yang sangat menakjubkan ini dari sebuah makhluk yang bersel tunggal dan sangat sederhana?![47]

Ustadz Syahid Mutadha Mutahhari menulis, “Jika pondasi pemikiran Lamarck dan Darwin cukup untuk membuktikan terwujudnya keteraturan alam semesta, niscaya argumentasi keteraturan alam semesta untuk membuktikan keberadaan Tuhan akan sirna. Akan tetapi, pondasi pemikiran dua ilmuwan ini tidak mampu menjustifikasi alam semesta. Terwujudnya struktur batang tumbuh-tumbuhan dan tubuh binatang yang berlangsung secara gradual dan aksidental tidak cukup untuk menjustifikasi keteraturan alam semesta yang sangat jeli dan detail ini. Setiap organ tubuh kita; pencernaan, pernapasan, penglihatan, pendengaran, dan lain-lain, memiliki struktur yang sangat menakjubkan dan seluruhnya mengikuti sebuah aktifitas dan tujuan yang tunggal. Dengan ini semua, tidak dapat kita terima bahwa sebuah perubahan aksidental, meskipun terjadi secara gradual, telah menwujudkan semua organ tubuh itu. Teori Evolusi, lebih dari itu, membuktikan bahwa sebuah kekuatan pengatur dan pemberi petunjuk memiliki campur tangan dalam hal ini.[48]

Syahid Mutahhari berkeyakinan bahwa faktor kontradiksi antara teori Evolusi dan argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta bersumber dari kelemahan aliran-aliran pemikiran filosofis yang ada, dan dalam karyanya yang lain, ia juga mengakui bahwa teori Evolusi kontradiktif dengan argumentasi tersebut. Akan tetapi, menurut persepsinya, pondasi teori Evolusi tidak sempurna dan memiliki banyak kejanggalan. Dalam menjelaskan kotradiksi tersebut, ia menulis, “Ketika sebuah makhluk yang lebih kuat berhasil bertahan hidup dalam sebuah pertikaian untuk kekal, dan dari satu sisi, anak keturunan makhluk hidup berhasil menang dalam pertikaian itu lantaran keistimewaan dan karakteristik khusus yang mereka miliki, serta keistimewaan yang bersifat aksidental itu berpindah kepada anak-anak mereka lantaran hukum waris-mewarisi, maka dengan ini sistem alam penciptaan adalah hasil terwujudnya keistimewaan yang berlangsung secara silih berganti dan masing-masing keistimewaan itu terwujud secara aksidental dan berdasarkan kaidah pertikaian untuk kekal serta konsep kekekalan makhluk yang lebih pantas. Jika sistem ini terwujud dengan keistimewaan dan kualifikasi tersebut dari sejak permulaan, semua itu tidak dapat dijustifikasi kecuali dengan adanya campur tangan sebuah Dzat Yang Maha Pengatur dan Bijaksana. Akan tetapi, jika kita menerima bahwa sistem ini terwujud berdasarkan sebuah gerakan gradual yang berlangsung selama jutaan tahun, maka terwujudnya sistem itu tanpa keberadaan seorang Dzat Yang Maha Mengatur dapat dijustifikasikan.”[49]

Menurut keyakinan kami, teori pilihan natural tidak bertentangan dengan pembuktian keberadaan Tuhan sama sekali. Alasannya:

a. Hasil dan asumsi ilmu pengetahuan empiris senantiasa mengalami perubahan dan evolusi.

b. Argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta bukanlah satu-satunya, bahkan bukan argumentasi keberadaan Tuhan yang paling utama. Dalam bidang ini, kita masih memiliki argumentasi yang paling urgen dan serius.

c. Sistem penciptaan alam semesta tidak hanya terbatas pada tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup sehingga dengan menerima teori Evolusi Darwin kita dapat membebaskan diri dari kepengaturan Ilahi yang sangat bijaksana. Hanya dengan bersandar pada pondasi teori Darwinisme, bagaimana mungkin kita dapat menjelaskan dan menjustifikasi keteraturan yang terdapat di alam atas dan planet-planet yang terdapat di langit?

d. Konsep tujuan dan finalisme adalah sebuah konsep filosofis murni. Bagaimana mungkin para ahli biologi dapat mampu membuktikan atau menafikan konsep ini? Adanya sebuah kekuatan supra natural dan kontrol atas seluruh peristiwa yang terjadi di alam biologis adalah sebuah klaim yang hanya dapat dibuktikan atau dinafikan dalam pembahasan-pembahasan filsafat.

e. Perubahan aksidental tidak pernah menafikan tujuan dan kausa final, karena kebodohan manusialah sumber klaim tersebut. Menurut Allamah Thabatabai, keyakinan terhadap konsep aksiden dan kebetulan bermuara dari kebodohan terhadap sebab-sebab hakiki dan juga terhadap hubungan antara tujuan dan pemilik tujuan.[50]

Sebagian penulis, berbeda dengan harapan yang kita harapkan, membenarkan adanya kontradiksi itu. Mereka menulis, “Darwin berhasil menciptakan revolusi Newtonis di dunia ilmu biologi. Revolusi itu tidak lain adalah membasmikan interpretasi-interpretasi final (gha’i) dari dunia kehidupan dan memposisikan interpretasi-interpretasi kausatif di posisi interpretasi-interpretasi tersebut. Pada hakikatnya, teori Evolusi mengusulkan sebuah interpretasi kausatif terhadap realita dunia organisme sedemikian rupa sehingga interpretasi ini dapat membuat seorang ilmuwan tidak merasa perlu untuk memanfaatkan sebuah interpretasi final (gha’i).

Di samping itu, teori ini juga membuka pintu interpretasi aksidental dalam dunia kehidupan lebar-lebar. Berdasarkan teori penciptaan dalam sekejap mata, kita tidak dapat meyakini bahwa aneka ragam makhluk dengan seluruh keagungan dan kerumitan yang dimiliknya tercipta tanpa adanya seorang pengatur; karena kemungkinan sebuah materi yang tidak memiliki roh menjadi seorang manusia sangat sedikit sekali sehingga kita tidak mungkin dapat mempercayainya. Adapun dalam persepsi teori Evolusi, karena di dunia ini terjadi sebuah evolusi dan aneka ragam makhluk terwujud berdasarkan sebuah evolusi dari aneka ragam makhluk yang lebih sederhana, maka terwujudnya aneka ragam makhluk secara aksidental sangatlah tidak aneh. Dengan kata lain, teori Evolusi mengatakan bahwa indikasi sebuah keteraturan terhadap adanya seorang pengatur dapat berfungsi ketika kita tidak mengetahui syarat-syarat kemunculan aksidental sebuah peristiwa dan kita juga tidak dapat menjelaskan interpretasinya berdasarkan mekanisme material.”[51]

Secara ilmiah, persepsi ini memiliki banyak kejanggalan dan kelemahan. Di sini, kami akan menjelaskannya dengan ringkas.

a. Jika Darwin dengan mencetuskan revolusi biologisnya ingin memberangus seluruh jenis interpretasi final (gha’i) dan menempatkan teori interpretasi kausatif (‘illi) dalam posisinya, harus kita tegaskan kepadanya bahwa revolusi ini pernah terjadi dari sejak masa Galileo Galilei pada abad ke-17. Pada masa itu, interpretasi final gaya Aristotelian menyerahkan posisinya kepada teori interpretasi kausatif. Dalam hal ini, Ayan Barbour pernah menulis, “Setelah semangat menggunakan konsep kausalitas final (‘illiyyah gha’iyyah) memudar, sebagai ganti dari definisi dan gambaran tentang Allah bahwa Dia adalah kebaikan tertinggi yang menjadi tempat kembali segala sesuatu, satu definisi lain sebagai kausa prima menduduki posisinya. Definisi lain ini menegaskan bahwa Allah termasuk salah satu silsilah pertama dari kausa-kausa nominatif (‘ilal fa‘iliyyah).”[52]

b. Dengan memperhatikan kecenderungan para ilmuwan sejak empat ratus tahun yang lalu kepada alam biologis, tidak selayaknya seorang ilmuwan melontarkan interpretasi final tentang alam biologis. Pada hakikatnya, para ilmuwan dipandang dari sisi tugas ilmiah yang mereka miliki terbebaskan dari jenis interpretasi semacam ini. Akan tetapi, para filosof tidak boleh acuh tak acuh menghadapi kecenderungan semacam ini.

c. Jika seseorang menerima adanya konsep interpretasi kausatif tentang alam semesta ini dan menyatakan bahwa silsilah kausalitas berakhir pada kausa prima yang memiliki sifat-sifat seperti Wajibul Wujud, bijkasana, pengetahuan yang universal, kekuatan yang mutlak, kebaikan yang tak terbatas, dan lain sebagainya, maka ia juga terpaksa harus menerima kausa final dan interpretasi kausatif tentang alam semesta ini. Hal ini karena kebijaksanaan dan ketidakbutuhan Dzat Yang Maha Wajib membuktikan kebertujuan sebuah tindakan yang Dia lakukan.

d. Jika kita menambahkan kalkulasi kemungkinan rasionalis dan matematis kepada teori Evolusi Darwin yang bersifat gradual itu, kita baru bisa membuktikan adanya sebuah sistem penciptaan dan seorang pencipta yang memiliki tujuan secara matematis pula.

2. Teori Darwin Bertentangan dengan Kemuliaan Manusia
Darwin meyakini bahwa kesempurnaan manusia adalah hasil perubahan yang bersifat aksidental dan pertikaian untuk kekal. Atas dasar ini, naluri etika yang merupakan kekuatan batin manusia yang paling unggul dan berbeda sekalipun muncul dari sebuah pilihan natural. Ya, banyak ahli biologi seperti Wallace memiliki asumsi yang berbeda dengan asumsi Darwin itu. Mereka mengklaim bahwa pilihan natural tidak mampu menjustifikasi kekuatan-kekuatan naluri manusia yang lebih tinggi. Hal itu karena pilihan natural hanya memberikan kepada manusia liar sebuah otak yang lebih unggul dibandingkan otak seekor kera.[53]

Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua kubu; Darwinisme dan para pengikut mazhab spiritualitas, yang saling bertentangan. Kubu pertama memperkenalkan manusia sebagai sebuah makhluk yang melintas dari gang dan perjalanan yang pernah dilalui oleh kera. Secara otomatis, kubu ini mengingkari kedudukan tinggi dan utama yang dimiliki oleh manusia. Sementara itu, kubu kedua meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia, dan oleh karena itu, ia tidak mungkin berasal dari bangsa kera.

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dapat kita pahami bahwa:

(1) Seluruh manusia memiliki dua sisi kejiwaan: sisi kejiwaan yang rendah dan sisi kejiwaan yang tinggi. Sisi kejiwaan yang rendah akan menyeretnya menuju ke jurang keburukan dan sisi kejiwaan yang tinggi menuntunnya kepada kebaikan. Oleh karena itu, ketika manusia telah berhasil menggapai tingkat kesempurnaan, ia akan bernilai.

(2) Dalam meniti kedua sisi kejiwaan tersebut, manusia memiliki hak untuk menentukan pilihan sendiri.[54]

(3) Barang siapa yang berusaha untuk memperkuat sisi kejiwaannya yang rendah dan hewani tersebut dan meniti jalan kesesatan dengan pilihannya sendiri, niscaya ia lebih rendah daripada binatang.[55] Dan barang siapa yang berusaha mengangkat dan menyempurnakan sisi kejiwaannya yang tinggi, niscaya ia berhak menjadi khalifah Allah di muka bumi,[56] menjadi pengajar para malaikat,[57] dan berhak memiliki kemuliaan Ilahi.[58]

(4) Jika kelebihmuliaan adalah sebuah nilai dan bersifat akhlaki, kemuliaan manusia hanya bergantung pada seluruh tindakannya yang bersifat ikhtiyari. Apabila tingkah laku baik manusia muncul dari sebuah pilihan yang dimilikinya sendiri, ia berhak menyandang label kemuliaan akhlak. Jika yang kita maksud adalah kemuliaan ontologis, maka lantaran manusia memiliki kesempurnaan-kesempurnaan yang bersifat dzati dan washfi (illustratif), tidak diragukan lagi bahwa ia memiliki aneka ragam kemampuan dan kelayakan untuk menggapai kesempurnaan; tingkatan kesempurnaan wujudnya juga memiliki kemuliaan filosofis, sekalipun kesempurnaan wujud ini adalah hasil perubahan yang bersifat aksidental dan pertikaian untuk kekal.

(5) Dalam memberikan nilai, manusia yang ada sekarang ini adalah tema pembahasan kita, bukan nenek moyang dan masa lalunya. Jika kita terima bahwa manusia berasal dari bangsa kera atau bahkan berasal dari sebuah benda yang lebih hina dari itu seperti air sperma, kehinaan yang dimiliki oleh makhluk asal yang sedang dalam proses evolusi tidak lantas menyebabkan kehinaan bagi makhluk tersebut pada periode berikutnya. Sebaliknya juga dapat dibenarkan; yaitu kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki oleh sebuah makhluk pada periode sebelumnya tidak lantas menyebabkan kemuliaan baginya pada periode berikutnya.

(6) Tolok ukur hakikat manusia adalah ruhnya, bukan tubuh materinya. Atas dasar ini, jika manusia berasal dari bangsa kera atau makhluk yang lain sekalipun, hal ini tidak memiliki andil dalam kemuliaan yang dimilikinya. Oleh karena itu, teori Darwinisme tidak kontradiksi sama sekali dengan kemuliaan manusia.

c. Kontrakdiksi antara Etika Darwinisme dan Nilai-Nilai Etis
Pembahasan lain sehubungan dengan teori Darwinisme adalah kontradiksi teori ini dengan nilai-nilai etis. Dalam sebagian karya tulisnya, Darwin pernah menyatakan bahwa setiap tingkah laku yang dilakukan oleh manusia adalah manifestasi dari sebuah pilihan natural. Jika menukik menuju kesempurnaan adalah sebuah realita yang bersifat fitrah, maka tidak ada satu pun dari keputusan manusia yang akan dapat menyetop lajunya.

Dalam sebagian karya tulisnya yang lain, Darwin menyatakan bahwa manusia harus mengikuti setiap prasangka dan ide yang dimiliki oleh makhluk yang lain di alam semesta ini. Ia juga mengingatkan, kesempurnaan mendatang lantaran tindakan-tindakan naluris yang notabene membela makhluk yang lebih lemah seperti orang-orang yang sakit atau yang cidera akan berhenti total. Persaingan bebas harus terwujud di kalangan seluruh manusia dan manusia yang paling mampu tidak boleh terhalangi untuk memproduksi hal-hal yang paling utama lantaran alasan undang-undang atau adat istiadat.[59] Yaitu sebagaimana alam semesta ini adalah tempat bagi makhluk yang lebih layak dan terkuat, serta alam semesta tidak akan pernah memberikan perhatian kepada makhluk yang lemah dan akan menyingkirkannya, maka manusia dalam arena etika juga harus bertindak sesuai dengan undang-undang alam semesta, dan sebagai ganti dari bertindak sesuai dengan tuntunan naluri, memberikan perhatian kepada orang-orang yang lemah, lebih mementingkan orang lain, mencintai orang lain, dan lain sebagainya, ia malah harus bersaing dan meniti tangga-tangga (evolusi).

Darwinisme sosial terlahirkan berkat usaha Herbert Spencer dan Nitczhe dengan tujuan untuk memberangus ras-ras yang hina nan tak diinginkan dan menunjukkan etika evolusiatif. Kaum Nazi juga mengangkat teori ini sebagai sebuah pondasi utama. Di dunia Barat masih ditemukan para pemikir seperti Hackselly yang memiliki persepsi yang bertentangan dengan persepsi Darwin dan meyakini bahwa nilai-nilai etis tidak bisa disimpulkan dari dunia evolusi. Mereka juga menekankan bahwa melakukan sebuah tindakan yang memiliki nilai lebih utama dari sisi etika; yaitu suatu tindakan yang kita beri nama kebaikan dan keutamaan, menuntut adanya sebuah suluk yang—dari setiap segi—bertentangan dengan sebuah realita yang akan memperoleh kemenangan di arena pertikaian untuk kekal. Meskipun demikian, sebagai ganti dari menyingkirkan atau melecehkan seluruh pihak oposisi yang berdiri di hadapannya, manusia selayaknya tidak hanya menghormati makhluk sejenisnya, akan tetapi ia juga harus memberikan pertolongan kepada mereka.[60] Sangat aneh sekali, dengan adanya perbedaan yang sangat mencolok antara alam yang tidak berperasaan, tidak berpengetahuan, dan tidak memiliki kehendak dan keinginan untuk memilih dan antara manusia yang berpengetahuan dan memiliki keinginan untuk memilih ini, bagaimana orang-orang Barat bersiteguh memegang analogi itu? Lebih dari itu, menghukumi sebagian kabilah mereka dengan kabilah yang lebih hina adalah sebuah penilaian gegabah dan terburu-buru yang alam—sebelum hasil yang ditelurkan oleh teori pertikaian untuk kekal—tidak mampu memberikan penilaian demikian.

Salah satu bentuk fuzzy logic (mughalathah) lain para pengikut Darwinisme adalah mereka menyimpulkan keharusan dan ketidakharusan etis yang sebenarnya berhubungan dengan filsafat praktis dari undang-undang natural yang berhubungan dengan filsafat teoritis. Undang-undang yang berlaku di alam natural tidak memiliki hubungan sama sekali dengan undang-undang etis yang berlaku di dunia manusia sehingga salah satunya dapat dijadikan sebagai prolog bagi yang lain. Kecuali apabila manusia digambarkan sebagai sebuah makhluk natural yang tidak memiliki ruh dan tidak berperasaan. Konsekuensinya, hal ini tidak akan membuahkan sesuatu kecuali sebuah alegori logis belaka. Sebagian pemikir muslim menerima kontradiksi semacam ini dan menulis, “Teori pertikaian untuk kekal sebagai salah satu pondasi fundamental teori Darwin mengajak manusia untuk selalu bertikai dan melupakan kasih sayang dan cinta. Menurut teori ini, perang dan pertumpahan darah di dunia masyarakat manusia sebagaimana layaknya di dunia binatang adalah suatu hal yang pasti dan tidak dapat dihindari, dan kosa kata-kosa kata seperti keakraban, persaudaraan, kasih sayang, saling gotong royong, dan lain sebagainya telah kehilangan artinya yang sejati. Hal itu lantaran pondasi teori Darwin juga berlaku bagi dunia manusia. Manusia lantaran perkembangbiakan yang melebihi batas juga mengalami kekurangan bahan-bahan yang diperlukan dalam kehidupan. Sebagai konsekuensinya, pertikaian untuk mempertahankan hidup dimulai. Dan pertikaian ini adalah sebuah prolog untuk memilih manusia yang lebih layak (untuk hidup).”[61]

Sebagian pemikir yang lain menolak adanya kontradiksi tersebut dan menulis, “Nilai-nilai etis berhubungan dengan akal dan ruh, bukan dengan badan materi. Karena keutamaan manusia bergantung pada akalnya, kita harus mengambil ilham dari akal untuk menjelaskan nilai-nilai etis dan menimbang kemaslahatan serta kemudaratan individu dan masyarakat dengan analogi logis, bukannya kita lantas menjalankan seluruh undang-undang alam materi—yang semestinya hanya berhubungan makhluk yang lebih rendah daripada manusia—dalam kehidupan manusia secara membabi-buta dan tanpa perhitungan. Mereka yang mengklaim bahwa undang-undang yang berlaku di alam natural sesuai dengan undang-undang yang berlaku di sebuah masyarakat manusia telah mencampur-adukkan antara makhluk yang lebih pantas dalam pandangan dunia natural dan makhluk yang lebih pantas dalam pandangan dunia etika. Pencampur-adukan ini muncul dari tindak ketidakacuhan terhadap perbedaan-perbedaan logis dan spiritualis yang dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk natural yang lain.”[62]

d. Kontradiksi Teori Evolusi dengan Ajaran-Ajaran Agama
Sebagian pemikir Barat mengangkat pembahasan kontradiksi antara teori Evolusi dan ajaran agama ini. Mereka berasumsi bahwa lahiriah ayat-ayat Kitab Suci Perjanjian Lama, kitab Kejadian yang menegaskan independensi penciptaan manusia bertentangan dengan teori Evolusi yang mengklaim gradualisasi keterwujudan manusia. Sebagai contoh, seorang pendeta yang bernama Willber Mourie pernah menyerang teori Darwinisme di hadapan masyarakat Inggris dengan pedas seraya berkata, “Konsep pilihan natural secara mutlak bertentangan dengan firman Tuhan.”[63]

Dalam menanggapi kontradiksi ini, para pemikir muslim dan non-muslim mengambil sikap dan menampakkan reaksi yang beraneka ragam berikut ini.

Reaksi Para Pemikir Barat tentang Penciptaan Manusia

1. Pendapat Charles Hodge
Charles Hodge adalah salah seorang pemikir konservatif berkebangsaan Amerika yang berasal dari kalangan Seminari Princeton. Karena keyakinannya yang khusus terhadap Kitab Suci, Hodge tidak menyerah di hadapan teori Evolusi. Ia membedakan antara hakikat penting yang telah diberikan kepada para rasul dan diajarkan kepada umat manusia dan antara keyakinan-keyakinan yang diyakini masyarakat lantaran sebuah hasil kesepakatan. Akhirnya, ia membela teori astrologi yang dicetuskan oleh Coppernic. Hal ini karena meskipun para penulis Kitab Suci meyakini bahwa bumi adalah pusat alam semesta, akan tetapi mereka tidak pernah memberikan pengajaran demikian. Hodge tidak menerima teori Evolusi manusia lantaran teori ini bertentangan dengan ajaran Kitab Suci dan para rasul.

2. Pendapat James Mccosh
James Mccosh adalah seorang filosof berkebangsaan Skotlandia dan rektor universitas Princeton. Ia berkata, “Tuhan tidak hanya menentukan program permulaan untuk seluruh jenjang kesempurnaan. Akan tetapi, setelah itu, Dia juga meneruskan program-Nya melalui suatu realita yang dalam pandangan kita adalah suatu perkembangan yang bekerja secara otomatis. Perubahan aksidental yang tidak bisa dicerna dan dijelaskan oleh Darwin sangat mungkin merupakan sebuah akibat dari campur tangan dan pilihan bersifat supra natural yang dimiliki oleh Dzat Pengatur yang sangat berpengaruh. Dzat ini mengarahkan seluruh perubahan yang—pada lahiriahnya—bersifat aksidental sesuai dengan maksud dan kehendak diri-Nya.”

3. Pendapat Para Pemikir Fundamentalis
Berbeda dengan kaum konservatif, para pemikir fundamentalis meyakini kemaksuman Kitab Suci. Mereka juga meyakini bahwa Al-Masih telah wafat dan akan kembali lagi ke dunia ini. Para pemikir fundamentalis yang lebih ekstrim tidak hanya menyerang teori Evolusi habis-habisan. Mereka juga menolak seluruh ilmu pengetahuan modern dan menganggapnya sebagai sebuah realita materialis dan atheis.

4. Pendapat Aliran Kristen Katholik
Aliran Katholik tidak hanya meyakini bahwa hakikat wahyu tersembunyi dalam Kita Suci. Aliran ini juga meyakini bahwa interpretasi gereja yang berlandaskan pada ijtihad juga termasuk bagian dari hakikat ini. Atas dasar ini, Kristen Katholik memiliki persepsi bahwa Kitab Suci memiliki tingkatan dan sisi yang beraneka ragam. Oleh karena itu, agama ini memperkenankan kita menakwilkan ayat dan ungkapan-ungkapan Kitab Suci yang masih ambigu (mutasyabih). Meskipun penolakan yang tegas terhadap teori Evolusi adalah reaksi pertama yang diambil oleh Roma, akan tetapi lama kelamaan teori ini memperoleh tempat yang semakin luas dalam agama Katholik. Lantara adanya keyakinan asli dan resmi dalam agama Katholik tersebut, agama ini terpaksa harus memisahkan ajaran Kitab Suci dari seluruh persepsi dan keyakinan yang non-resmi dan sampingan itu, dan lantas memperkenalkan keyakinan kategori kedua sebagai sebuah keyakinan yang memuat keyakinan ilmiah para penulis Kitab Suci yang tidak benar.

5. Keyakinan Para Pemikir Modernis
Golongan ini menyatakan bahwa Kitab Suci adalah hasil tulisan tangan manusia biasa, bukan wahyu Ilahi yang secara langsung diwahyukan kepada manusia. Artinya, pengalaman suluk dan usaha manusia untuk mencari Tuhan, perjalanan kesempurnaan ide-ide (Ilahi), dan kesempurnaan kalbu agamis (dalam dirinya) memaksanya untuk menulis Kitab Suci tersebut. Menurut keyakinan para pemikir ini, Kitab Suci bukanlah sebuah kitab ilham atau kita yang ditulis berdasarkan ilham Ilahi. Meskipun demikian, Kitab Suci dapat memancarkan ilham. Bab permulaan kitab Keluaran berisi penjelasan poetikal tentang akidah agama berkenaan dengan kebutuhan manusia kepada Tuhan dan juga memuat ungkapan literar yang teratur tentang sistem alam semesta yang lebih bagus. Atas dasar ini, golongan ini tidak pernah kebingungan menyikapi isu kontradiksi antara ilmu pengetahuan modern dan ajaran Kitab Suci. Karena hal yang penting bagi mereka adalah keyakinan terhadap Tuhan dan Makrifatullah, bukan terhadap teks Kitab Suci.

6. Pandangan Sistem Ketuhanan Moderat
Founder sistem ketuhanan ini adalah Friedrich Schleiermacher, seorang filosof dan teolog berkebangsaan Jerman. Menurut keyakinannya, pondasi agama bukan ajaran wahyu seperti diyakini oleh kaum konvensionalis dan juga bukan akal yang telah berpengetahuan seperti diyakini oleh sistem ketuhanan natural. Atas dasar ini, kelompok ini memperkenalkan pengalaman beragama sebagai pondasi untuk menjustifikasi keyakinan-keyakinan agama. Kecenderungan pemikiran ini adalah hasil penelitian dan riset yang pernah dilakukan terhadap Kitab Suci. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa kitab Perjanjian Lama berisi kumpulan riwayat-riwayat yang berhubungan dengan beberapa periode yang berbeda-beda dan kitab Perjanjian Baru hanya memuat sejarah kehidupan Al-Masih dan ditulis setengah abad setelah ia disalib. Lebih mengutamakan etika dan nilai-nilai etis dalam beragama adalah satu peristiwa sosial lain yang menyebabkan kemunculan sistem ketuhanan yang beraliran moderat ini.

Dengan seluruh penjelasan ini, kita dapat memahami persepsi sistem ketuhanan moderat tentang teori Evolusi. Pemahaman yang moderat dari ajaran Kitab Suci memberikan peluang yang sangat luas baginya untuk mengutarakan kesepakatan tanpa syarat dengan bukti-bukti ilmiah teori Evolusi. Akan tetapi, kesepakatan ini tidak lantas membuahkan kritik yang fundamental terhadap seluruh keyakinan agama. Hal ini lantaran kelompok ini hanya mencari landasan ketuhanan dalam relung kalbu, bukan dalam sistem ketuhanan rasional atau tekstual.

7. Aliran-Aliran Filsafat Natural
Beberapa kelompok yang telah dipaparkan di atas meyakini theisme (khoda-shenasi) agamis dan logis. Sebagian dari kelompok tersebut sedikit banyak telah berusaha untuk menyelematkan Kitab Suci dari kehancuran yang sedang mengancam. Di kalangan masyarakat Barat, terdapat beberapa interpretasi dan persepsi yang—secara mutlak—mengingkari theisme agamis. Sebagai contoh, Darwin lantaran keyakinan yang ambigu terhadap sebuah kekuatan yang maha tinggi pada saat menulis buku Mansha’-e Anva’ tertimpa keyakinan agnostik tentang masalah-masalah agama. Hackselly lantaran tidak menerima argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta meyakini bahwa manusia adalah hasil ciptaan kekuatan-kekuatan yang tidak bertujuan. Herbert Spencer menggunakan agnostisme transformistis dalam membentuk sebuah sistem yang komprehensif. Dan lebih penting dari semua itu adalah peluluh-lantakkan nilai-nilai etis yang pernah dilakukan oleh Friedrich Nitczhe.

Reaksi Para Pemikir Muslim tentang Penciptaan Manusia

Di era seratus tahun terakhir ini, para pemikir, penafsir, dan intelektual muslim juga menampakkan reaksi dan sikap yang berbeda-beda dalam menanggapi teori Transformisme, khususnya teori Evolusi Darwin.

Berkenaan dengan hubungan teori Transformisme dengan ayat-ayat Al-Qur’an, pertanyaan yang mencuat adalah apakah kita dapat menyesuaikan teori ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan penciptaan manusia? Apakah manusia memiliki penciptaan yang bersifat derivatif (berasal dari yang lain)? Apakah ayat-ayat Al-Qur’an memiliki indikasi bahwa ciptaan manusia adalah derivasi dari makhluk hidup yang lain atau dari Al-Qur’an hanya dapat dipahami penciptaan manusia yang bersifat independen?

Sebagian pemikir muslim meyakini bahwa lahiriah sebagian ayat Al-Qur’an menyatakan derivasi penciptaan manusia dan mengindikasikan teori Transformisme dengan cukup tegas. Sementara itu, sekelompok pemikir muslim yang lain menentang pendapat kelompok pertama dan meyakini bahwa lahiriah, bahkan penegasan ayat Al-Qur’an menyatakan independensi penciptaan manusia. Akan tetapi, ada kelompok pemikir muslim ketiga yang mengambil langkah dengan lebih hati-hati dan meyakini bahwa ayat Al-Qur’an memiliki indikasi lahiriah pada kedua konsep itu. Paling tidak mereka tidak bisa mengambil kesimpulan yang bertentangan dengan teori Darwin dari ayat Al-Qur’an. Atau mereka memisahkan bahasa Al-Qur’an dari ruang lingkup bahasa ilmu pengetahuan dan menyelesaikan kontradiksi yang terjadi antara keduanya secara mendasar, filosofis, dan lenguistik.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan beberapa pandangan dan persepsi para pemikir muslim tersebut.

Pandangan Dr. Sahabi dan Ir. Bazargan
Dr. Sahabi dan kemudian diikuti oleh Ir. Bazargan menegaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tentang penciptaan manusia tidak hanya kontradiksi dengan teori Evolusi Darwin. Akan tetapi, Islam selalu sejalan dengan perkembangan-perkembangan ilmiah. Dalam prolog buku Khelqat-e Insan, Dr. Sahabi menulis, “Filsafat materialis memaparkan teori Darwin dengan tidak benar dan menyatakan bahwa teori ini mengingkari keberadaan Tuhan. Secara otomatis, pemaparan semacam ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan kaum monotheis dan para tokoh gereja sehingga mereka memfonis teori evolusi spicies yang berlangsung secara gradual itu sebagai kafir dan menyesatkan. Penentangan semacam ini juga merambat ke dunia Islam sehingga teori Transformisme dianggap sebagai sebuah teori yang menentang keyakinan dan ajaran agama. Dalam hal ini, keyakinan agama banyak terpengaruh oleh keyakinan fiktif dan dogmatis Taurat tentang penciptaan manusia. Padahal, Al-Qur’an sendiri meyakini penciptaan makhluk hidup yang berlangsung secara gradual sebagai sebuah sunah yang telah diterima dalam sistem penciptaan alam semesta. Mengingkari konsep kebersinambungan seluruh makhluk dan membela ajaran Taurat yang telah mengalami distorsi adalah sebuah stempel kebatilan yang telah kita capkan sendiri di atas kebenaran agama kita.”

Di bagian pertama bukunya, Dr. Sahabi memaparkan bukti dan saksi tentang evolusi spicies dan mengkritisi tiga contoh analisa komparatif, embriologis, dan paleontologis. Sementara itu, di bagian kedua bukunya, ia memaparkan berbagai ayat Al-Qur’an tentang penciptaan manusia dan seluruh makhluk, dan lantas menganalisa tiga masalah fundamental berikut ini:

a. Apakah manusia dan Adam dalam Al-Qur’an memiliki satu arti?

b. Menurut pandangan Al-Qur’an, apakah manusia memiliki penciptaan yang independen?

c. Dengan mukadimah apakah penciptaan Adam terlaksana?

Poin-poin utama pandangan Dr. Sahabi adalah berikut ini:

1. Teori Transformisme; yaitu perubahan gradual sifat dan karakteristik makhluk hidup, pernah dipaparkan oleh sebagian ulama Islam. Konsep penciptaan manusia yang bersifat khusus dan independen adalah sebuah kisah fiktif yang berhasil menyusup di kalangan para ulama dan mufasir muslim dari riwayat palsu kitab Taurat dan dogma Israiliyyat tentang penciptaan manusia.

2. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab samawi yang belum mengalami distorsi dan berada di tangan umat manusia. Seluruh isi kitab ini sesuai dengan ilmu pengetahuan, hakikat, dan kemaslahatan. Atas dasar ini, kita jangan memperkenalkan Islam suci ini—yang bertujuan membina seluruh kemampuan manusia untuk mengenal hakikat alam semesta dan menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan abadi—sebagai sebuah kumpulan agama yang berisi ajaran khurafat.

3. Pembahasan tentang transformasi dan evolusi makhluk hidup yang berlangsung secara gradual dan berkesinambungan ini adalah salah satu ajaran yang tidak mengandung kontradiksi dalam ajaran Al-Qur’an dan penemuan-penemuan ilmiah modern.

4. Dalam Al-Qur’an, kosa kata “insan” disebutkan sebagai sebuah arti yang bersifat umum dan kosa kata “Adam” hanya disebutkan sebagai sebuah nama khusus. Seperti dalam surah An-Najm, ayat 39 disebutkan, “Manusia tidak menanggung kecuali apa yang telah ia usahakan”, dan ayat, “Dan Kami berkata kepada Adam, ‘Diamlah kamu dan istrimu di surga’”. Dalam ayat ini, kosa kata “Adam” tidak disebutkan dengan menggunakan alif dan lam.

Oleh: Abdulhusein Khusrupanah

sumber : taqrib

Kirim komentar