Ganjilnya Kebijakan BBM
Betapa pun tampaknya "benar di atas kertas" perhitungan dan teori ekonomi, masa tetap dapat kita temukan, sekurangnya, lima hal ganjil dalam kebijakan baru pemerintah dalam upayanya memangkas subsidi BBM secara signifikan. Hal pertama adalah persoalan BBM premium yang menjadi pangkal subsidi yang menjadi parasit besar APBN itu. Pemerintah mengambil kebijakan untuk secara koersif memaksa semua pengguna premium untuk beralih ke pertamax, dengan perhitungan subsidi pun berkurang drastis karenanya.
Logika itu menjadi ganjil, ketika yang menjadi masalah adalah premium namun yang menjadi jalan keluar malah pertamax. Logika ganjil ini bukan hanya semacam permainan semantik, dalam arti lain upaya pemerintah menipu rakyatnya sendiri dengan retorika yang membodohi, dan pada akhirnya merugikan 40 jutaan pemilik kendaraan ber-premium. Pengalihan jenis BBM itu sebenarnya dusta yang tidak lain adalah kenaikan harga BBM hingga 130 persen (dari Rp 4.500 menjadi sekitar Rp 10.500), yang dapat Anda bayangkan bagaimana dampaknya secara ekonomis, sosial, dan politis, jika itu terjadi.
Pada beberapa keluarga, BBM dengan kenaikan fantastis itu, yang mungkin belum pernah terjadi di belahan bumi manapun, memang akan membunuh parasit APBN, tapi pada yang sama menghidupkan parasit ekonomi tiap rumah tangga. Tidak sedikit rumah tangga harus mengeluarkan hampir 50 persen dari penghasilannya hanya untuk BBM. Dapat dihitung dengan mudah, rumah tangga yang terkena parasit 50 persen itu umumnya memiliki mobil berusia di atas lima tahun, dengan konsumsi BBM lebih tinggi.
Katakanlah, dari rumah mereka yang rata-rata di pinggir kota (suburb) dibutuhkan 9-10 liter bensin setiap harinya untuk mencapai (dan kembali dari) kantor, dengan kemacetan yang lebih kuat menyedot bensin. Maka dengan paksaan menggunakan BBM berharga internasional itu (pertamax), mereka –rakyat menengah dan bawah itu—harus mengeluarkan hingga Rp3 juta per bulannya. Apakah itu bukan 50 persen dari gaji guru sekolah menengah yang sudah mendapatkan sertifikasi?
Hal ganjil kedua adalah logika yang hampir sama dengan di atas namun dalam pengertian atau makna yang berbeda. Bila masalahnya adalah subsidi premium, mengapa pengalihan ke pertamax yang menjadi jalan keluar, bukan justru subsidi di premium saja yang dikurangi dengan cara menaikkan harganya. Katakanlah, seperti yang diwacanakan, harga premium dinaikkan, Rp500, Rp1.000, bahkan okelah Rp2.500, ia akan menjadi lebih fair, tidak terlalu koersif, dan relatif lebih "manusiawi" ketimbang kenaikan130 persen kenaikan di atas. Dalam perhitungan teoritis, kenaikan sebesar Rp2.500 pun sudah mengurangi hingga 60 persen dari subsidi BBM tahun sebelumnya. Angka yang signifikan.
Keganjilan ketiga terjadi ketika kebijakan subsidi BBM pemerintah yang akan segera diberlakukan ini ternyata tidak hanya menguntungkan postur anggaran pemerintah dan meningkatkan performance-nya di mata internasional –dengan korban rakyatnya sendiri—tapi juga secara nyata memberi keuntungan besar pada para pengusaha minyak asing. Mereka, yang selama sekitar tiga tahun terakhir, seperti pengusaha tolol, membuka cukup banyak SPBU dengan kerugian mencolok karena sepi pembeli, dan secara logis bangkrut sejak setahun atau dua tahun lalu.
Mereka seperti menunggu dengan sabar turunnya kebijakan baru BBM dimana setelah itu mereka akan mengeruk keuntungan luar biasa. Karena sekitar 18 juta mobil yang terkena kebijakan itu akan meluruk ke SPBU-SPBU mereka. Adalah "kewajaran" bahkan sudah menjadi norms dalam bisnis internasional, jika pun mereka pun melakukan lobi-lobi ke pemerintah, termasuk DPR, untuk menggolkan kebijakan yang menguntungan kapitalis penghisap asing itu. Kita "tahu sama tahu" soal lobi semacam itu. Modus yang ada di mana saja di dunia, yang sudah bekerja lebih setengah abad di negeri ini.
Keganjilan keempat berlangsung dalam logika yang tampaknya sederhana dan baik: rakyat harus belajar ikut menanggung beban negara dan bangsa akibat perubahan geopolitik atau konstelasi dunia. Namun dalam kasus subsidi BBM pelajaran itu dilakukan dengan cara "menempeleng keras" rakyat lewat kenaikan harga 130 persen! Itu kejam. Sementara tidak seluruhnya rakyat bersalah dan manja.
Kesalahan besar sebenarnya ada pada pemerintah yang selama ini pengecut untuk menaikkan harga BBM premium secara bertahap, sehingga akhirnya disparitas harga begitu besar dan mencoloknya. Demi pencitraan dan kepengecutan itu, rakyat harus menjadi korban dan pemerintah yang kehilangan akal menghindar dari defisit anggaran yang terancam melampaui standar internasional.
Dan akhirnya, kelima, BBM sebenarnya adalah hak, bukan kewajiban. Pemerintah melanggar hak rakyat untuk menggunakan BBM sesuai dengan preferensinya. Setiap pemilik kendaraan berhak untuk memilih jenis BBM yang sudah disediakan oleh pasar. Pelanggaran hak ini juga sesungguhnya melanggar diktum dari "hukum pasar" itu sendiri, dimana asas laissez faire mengharamkan pemaksaan konsumen pada satu jenis produk tertentu.
Sebenarnya, bukan sekali ini saja pemerintah yang berkuasa saat ini menelurkan kebijakan yang aneh dan ganjil, yang plintat-plintut atau lemot kata anak muda. Bahkan para pendukung dan pemilihnya pun mesti segera memberi peringatan keras, karena bukan hanya nasib bangsa ini terancam, tapi juga generasi nanti akan menerima getah pahitnya. Apalagi jika kita hanya berpangku tangan sibuk menikmati kesenangan. Hendakkah kita menjadi bahan tertawaan bahkan cacian anak cucu kita? Saya tak mau.(IRIB Indonesia / Metrotvnews / SL)
(Irib Indonesia)
*) Budayawan, Sastrawan dan Pekerja Teater.
Kirim komentar