ames Frankel: Pertanyaan Mendasar Tentang Agama Mengantarkanku Pada Islam (Bagian Pertama)
Nama saya adalah James Frankel. Saya adalah seorang profesor bidang perbandingan agama. Saya juga mengajar kelas-kelas Islam di Universitas Hawaii. Saya telah tinggal di Hawaii lebih dari dua tahun dan kini memasuki tahun ketiga (artikel ini September 2010).
Tahun-tahun permulaan
Saya datang ke Hawaii dua tahun lalu, dulunya saya tinggal di New York dimana saya dilahir dan dibesarkan. Saya lahir pada tahun 1969 dan besar di Manhattan, sebagian waktu pula di Brooklyn untuk beberapa tahun. Sebagian besarnya, saya menjalani kehidupan keluarga yang bahagia. Kedua orang tua saya membesarkan saya tanpa agama yang tertentu, tetapi saya pikir mereka menetapkan satu paket dasar nilai-nilai moral. Bagaimanapun, warisan saya adalah dari latarbelakang Yahudi, tetapi saya dibesarkan dalam keluarga yang amat sekuler dimana tidak banyak amalan-amalan agama yang dipraktikkan.
Satu-satunya hubungan yang pernah saya alami dengan agama ialah dari sisi keluarga ayah saya.Nenek saya merupakan seorang yang mengamalkan ajaran Yahudi. Dari dia saya belajar beberapa hal, kisah-kisah dari Injil, kisah-kisah para nabi. Untuk jangka waktu yang singkat, ayah dan ibu saya berusaha mengantarkan saya ke sekolah Hebrew untuk belajar lebih banyak.Sayangnya saya tidak merasa enak di sana. Akhirnya saya disingkir keluar karena terlalu banyak mengemukakan pertanyaan. Mungkin itu adalah sifat saya yang telah membawa saya kepada saya hari ini. Sebagai seorang profesor dan sebagai seorang muslim, saya terus saja mengemukakan banyak pertanyaan.
Saya besar dengan cara demikian, banyak tanya tentang segala dasar agama. Hal ini berlanjut sehingga melewati usia remaja saja. Ada dua pengalaman yang saya pikir bernilai untuk disebut. Pertama, ketika saya berusia 13 tahun, saya telah membaca Manifesto Komunis Karl Marx dan memutuskan untuk menjadi seorang komunis. Saya pikir nilai-nilainya masuk akal dan falsafahnya bermanfaat untuk semua orang.
Pada masa itu juga, saya pikir ini mungkin pembukaan paling awal saya terhadap Islam.Rekan terbaik saya ketika itu datang dari Pakistan. Saya belajar di sekolah internasional, makanya saya mempunyai teman-teman dari seluruh penjuru dunia. Teman Pakistan itu telah memberikan saya sebuah Quran dan dia meminta saya untuk membacanya. Dia berkata, "Saya tidak ingin anda pergi ke neraka." Sayangnya ketika itu saya tidaklah terpikir tentang neraka. Dengan kata lain, dalam usia tersebut neraka belum terlintas dibenak saya. Sayapun mengambil kitab itu dan meletakkannya di rak dan ia tinggal di situ selama bertahun-tahun tanpa dibuka.
Beberapa tahun kemudian, saya menjadi putus asa terhadap komunisme setelah mempelajari cara komunisme diamalkan di banyak negara. Saya lalu meninggalkannya. Sehinggah saya melangkah masuk ke universitas, saya mulai bertanyabanyak pertanyaan yang membawa saya ke jalan yang benar. Sejak masih anak-anak saya sering berpikir dan saya sering bertanya-tanya apakah maksud kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang mendasar itu antara lain,mengapa kita berada di muka bumi ini, kemanakah kita akan pergi dan mengapa kita menderita.Semua ini sering terdapat dalam pikiran saya malah sejak saya masih anak-anak. Tetapi setelah semakin dewasa dan ketika saya masuk ke universitas, saya lebih menumpukan perhatian saya kepada pelajaran sehingga saya mengalami satu peristiwa.
Pada ketika itu saya tinggal di Washington DC. Saya mendapat panggilan telepon dari sepupu saya yang akan pergi ke sekolahnya di Maryland. Dia memberitahu saya bahwa nenek saya, bibi dan seorang lagi sepupu saya akan datang menemui saya dan mengajak saya makan malam. Saya masih belajar di universitas ketika itu. Petang itu saya menghabiskan masa dengan berbicara dengan nenek saya. Saya memberitahu kepadanya tentang rencana saya. Saya akan mulai belajar bahasa Cina. Sebelumnya saya berencana untuk pindah ke New York dan menyambung pelajaran di Universitas Columbia. Seolah-olah dia memberikan restunya kepada saya terhadap segala rencana saya.
Pada akhir pertemuan tersebut, saya sedang berjalan ke mobilnya yang diparkir di restoran tersebut. Dia berbalik dan jatuh. Saya bertanya kepadanya "Nenek, anda tidak apa-apa?" Dia meminta saya untuk tidak bimbang.Katanya,"Engkau harus bimbang tentang dirimu sendiri." Saya berpikir dan terus menemaninya hingga ke mobil. Saya membuka pintu, dia masuk dan saya memberikan ciuman selamat malam padanya. Saya berkata, "Agaknya kita akan bertemu kembali di acara syukuran saat saya pulang ke New York nanti." Dia berkata, "Jika Tuhan mengizinkanya." Pada masa itu saya tidak berpikir banyak. Saya tutup pintu dan merekapun pulang ke tujuannya.
Kematian nenek
Sepupu saya membawa saya pulang ke asrama saya dan sayapun tidur. Keesokkan paginya saya mendapat panggilan telepon dari sepupu saya. Saya bertanyakan mengapa dia menelepon begitu awal dan dia tidak dapat berkata apa selain, "nenek telah meninggal". Saya pula bertanya kembali "Benar?" Saya pikir itu hanya gurauan saja. Saya bertanya lagi, "Apa yang anda sebutkan?" Dan dia menjelaskan bahwa nenek di serang sakit jantung dalam tidurnya. Kata-kata nenek masih kedengaran dalam telinga saya. Saya mengatakan bahwa saya akan bertemu dengannya dan dia berkata dengan izin-Nya. Dan ketika saya bertanya kepadanya dia meminta saya harus menjaga diri saya sendiri. Sehingga hari ini, itu merupakan kunjungan mengejutkan darinya dan kepergiannya juga mengejutkan. Sehingga hari ini saya hanya berpikir apakah maksud dari pertemuan dengan nenek saya itu.
Saya kembali ke New York untuk mengikuti upacara pengebumian nenek. Itu merupakan acara tradisional Yahudi dan sang Rabbi yang melakukan pidato berbicara mengenai nenek saya dan berkata, "Sarah merupakan harta yang langka dan Tuhan telah mengambil kembali hartanya." Saya pikir ia tidak menjadi masalah untuk sang Rabbi berkata demikian. Ketika sang Rabbi datang berkunjung ke rumah kakek saya untuk berziarah, saya ingin mengemukakan beberapa pertanyaan kepadanya. Saya ingin tahu beberapa amalan yang dipraktikkan di rumah orang Yahudi pada saat seseorang menemui kematiannya. Dia memberitahu saya untuk tidak bimbang tentang perkara itu. Dia berkata itu hanyalah sekadar tradisi saja. Saya mengatakan bagaimana tentang hal ini, dalam pidato anda, anda mengatakan bahwa nenek saya, saya tidak tahu sejauh mana anda mengenalinya, tetapi anda mengatakan bahwa dia telah diambil oleh Tuhan, jadi kemanakah dia? Dan untuk hal tersebut, kemana akan saya pergi? Kemana anda akan pergi? Dan mengapa kita di sini. Dan segala persoalan yang terbetik dalam hati manusia.
Saya masih ingat, sang Rabbi, melihat jam tangannya dan berkata, "Saya harus pergi." Saya tidak berpikir bagaimana dia melihat saya marah ketika itu. Saya kira dia juga tidak menyadari bahwa dialah yang menyebabkan saya menjadi saya hari ini karena saya menjadi semakin minat dengan pertanyaan-pertanyaan itu.(IRIB Indonesia)
Kirim komentar