Sejarah Fatimah Zahra as

Fatimah as

Sejarah Fatimah Zahra as

Fatimah termasuk kelompok pertama dari kaum Muslimin yang beriman
kepada Allah Swt dan ia begitu tegar dan kukuh dalam keimanannya. Saat
itu rumah yang dihuni Fatimah adalah satu-satunya rumah di kawasan
Jazirah Arab dan dunia yang meneriakkan suara tauhid: “Allahu Akbar”.
Az Zahra adalah satu-satunya perempuan belia di Mekkah yang mencium dan
merasakan aroma tauhid di sekitarnya. Ia berada di rumahnya sendirian.
Ia melalui masa kanak-kanaknya sendirian. Dua saudara perempuannya,
yaitu Ruqayyah dan Kultsum berusia lebih tua beberapa tahun darinya.
Barangkali rahasia di balik kesendirian ini adalah bahwa Fatimah sejak
kecil harus memfokuskan perhatiannya pada latihan fisik dan pendidikan
spiritual. Setelah menikah dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib,
Fatimah tampil sebagai wanita teladan sepanjang masa. Putri Nabi saw
ini bukan hanya teladan bagi kehidupan suami-istri dan menjadi potret
keluarga Muslimah ideal, melainkan ia pun menjadi teladan dalam masalah
ketaatan dan ibadah kepada Allah Swt.

Setelah selesai mengerjakan tugas rumah, Fatimah sibuk beribadah. Ia
menunaikan shalat, berdoa, dan bermunajat di hadapan Sang Maha Esa
serta mendoakan orang lain. Imam as Shadiq as meriwayatkan hadis yang sanad-nya
(mata raktai perawi) bersambung ke Imam Hasan bin Ali as yang berkata:
Aku melihat ibuku Fatimah as yang sedang menunaikan shalat di mihrabnya
pada malam Jum`at dimana ia rukuk dan sujud sampai fajar Shubuh
menyingsing. Dan aku mendengarnya berdoa untuk kaum mukminin dan kaum
mukminat dan ia menyebut nama-nama mereka serta memperbanyak doa untuk
mereka, bahkan ia tidak berdoa untuk dirinya sendiri sedikit pun. Lalu
aku bertanya kepadanya: Wahai ibu, mengapa engkau tidak berdoa untuk
dirimu sendiri sebagaimana engkau berdoa untuk orang lain? Ia menjawab:
Wahai anakku, sebaiknya (mendoakan) tetangga dulu lalu (penghuni) rumah
(diri kita dan orang-orang yang dekat dengan kita).[1]

Tasbih Zahra

Fatimah berkata kepada ayahnya: Wahai ayahku, aku tidak tahan lagi mengurusi
rumah. Carikanlah pembantu untukku yang dapat meringankan pekerjaan
rumahku. Rasul berkata kepadanya: Wahai Fatimah, apakah kamu tidak
menginginkan sesuatu yang lebih baik dari pembantu? Ali berkata:
Katakanlah, iya. Fatimah berkata: Wahai ayahku, apa yang lebih baik
dari pembantu? Rasul saw menjawab: Engkau bertasbih kepada Allah SWT
pada setiap hari sebanyak 33 kali dan engkau bertahmid
sebanyak 33 kali dan bertakbir sebanyak 34 kali. Semuanya berjumlah 100
dan memiliki kebaikan dalam timbangan. Wahai Fatimah, bila engkau
mengamalkannya pada setiap pagi hari maka Allah akan memudahkan urusan
dunia dan akhiratmu.[2] Berkenaan dengan firman Allah, "Dan kaum pria dan kaum wanita yang banyak berzikir kepada Allah," Imam ash Shadiq berkata: Barangsiapa terbiasa
membaca tasbih Fatimah as maka ia termasuk kaum pria dan kaum wanita
yang banyak berzikir.[3]
Diriwayatkan dari Imam Baqir as yang berkata: Rasulullah saw berkata
kepada Fatimah, Wahai Fatimah, bila kamu hendak tidur di waktu malam
maka bertasbihlah kepada Allah sebanyak 33 kali dan bertahmidlah
sebanyak 33 kali dan bertakbirlah sebanyak 34 kali. Semuanya berjumlah
seratus. Dan pahalanya lebih berat dari gunung emas Uhud dalam timbangan akhirat.[4]
Diriwayatkan dari Abi Abdillah ash Shadiq yang berkata: Tasbih Fatimah
as setiap hari usai shalat lebih aku sukai daripada shalat seribu
rakaat dalam setiap hari.[5]
Imam Shadiq as berkata: Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah as
sebelum ia membentangkan kakinya dalam shalat fardhu maka Allah akan
mengampuninya. Dan hendaklah ia memulai dengan takbir.[6] Diriwayatkan oleh Abi Ja`far al Baqir yang berkata: Tiada pengagungan bagi Allah yang lebih utama daripada tasbih Fatimah.[7]
Imam Baqir as berkata: Barangsiapa bertasbih dengan tasbih az Zahra
kemudian ia beristigfar maka ia akan diampuni. Ia (tasbih itu)
berjumlah seratus namun bernilai seribu dalam timbangan dan ia mampu
mengusir setan dan membuat Tuhan Yang Maha Pengasih ridha.[8]
Imam ash Shadiq as berkata: Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah
as usai shalat fardhu sebelum ia membentangkan kedua kakinya maka Allah
akan menyediakan surga baginya.[9]
Imam ash Shadiq as berkata: Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah
as yang berjumlah seratus usai shalat fardhu sebelum ia membentangkan
kedua kakinya lalu diikutinya dengan membaca "lailaha illallah"
sebanyak satu kali maka ia akan diampuni.[10] "Tasbih Az Zahra" ini terdapat juga dalam kitab-kitab muktabar Ahlussunah dan cukup populer di kalangan kaum Muslimin.

Ilmu Fatimah az Zahra

Segala rahasia ilmu yang didapatkannya dari ayahnya dicatat oleh Ali
bin Abi Thalib lalu Fatimah mengumpulkannya sehingga jadilah kitab yang
bernama Mushaf Fatimah.

Mengajari Orang Lain

Abu Muhammad al Askari berkata: Seorang wanita datang ke Fatimah az Zahra
dan berkata: Sesungguhnya saya mempunyai seorang ibu yang lemah dan ia
memakai sesuatu saat mengerjakan shalatnya, dan ia mengutusku untuk
menemuimu dan bertanya padamu. Lalu Fatimah menjawab pertanyaannya.
Wanita tersebut berkata: Aku tidak ingin merepotkanmu wahai putri
Rasulullah saw. Fatimah menjawab: Datanglah kemari dan tanyalah apa
yang tidak jelas bagimu. Apakah engkau mengira seseorang yang sehari
disewa untuk mendaki tanah dengan membawa muatan yang berat dimana
upahnya seratus ribu Dinar, lalu ia keberatan melakukan itu? Wanita
tersebut menjawab: Tidak! Ketahuilah bahwa aku—dalam setiap masalah
(pertanyaan) yang aku selesaikan—diupah lebih besar dari permata yang
ada di antara bumi dan arasy. Sehingga karena itu, aku tidak merasa
berat sama sekali.[11]
Fatimah berusaha memperkenalkan tugas dan kewajiban para wanita dengan
cara mengajari mereka hukum dan pengetahuan Islam. Keberhasilan
pendidikan Fatimah ini bias kita lihat pada sosok anak didiknya yang
sekaligus pembantunya yang bernama, Fidhah. Fatimah berhasil menyulap
Fidhah menjadi wanita istimewa dimana selama dua puluh tahun ia hanya
berbicara dengan Al Quran. Setiap kali Fidhah menginginkan sesuatu atau
menjelaskan sesuatu maka ia mengutip ayat Al Qur'an yang sesuai dengan
keinginan dan maksudnya, sehingga dimengerti oleh lawan bicaranya.
Fatimah bukan hanya tidak pernah mengenal lelah dalam mempelajari ilmu,
bahkan dalam menjelaskan masalah-masalah agama ke orang lain pun ia
selalu bersemangat dan sabar melayani pertanyaan orang-orang yang
merujuk kepadanya. Suatu hari seorang wanita dating padanya sembari
berkata: Aku memiliki ibu yang sudah lanjut usia. Ibuku salah
mengerjakan shalatnya lalu ia mengutus aku untuk bertanya kepadamu. Az
Zahra pun menjawab pertanyaannya. Wanita itu pun datang kembali dan
menyampaikan pertanyaan kedua. Fatimah pun menjawabnya. Hal ini terus
berulang sampai sepuluh kali. Setiap kali wanita itu datang, ia merasa
malu karena lagi-lagi datang ke Fatimah dan menganggunya. Lalu wanita
itu berkata kepada Fatimah: Aku tidak akan pernah merepotkanmu kembali.
Fatimah menjawab: Tidak menjadi masalah bagiku, datanglah kemari lagi
dan lontarkanlah pertanyaanmu. Aku tidak akan pernah marah atau capek
melayani pertanyaanmu. Sebab, aku mendengar ayahku bersabda: Pada hari
kiamat para ulama pengikut kami akan dikumpulkan dan akan diberikan
pakaian (sebagai hadiah) yang berharga kepada mereka. Kualitas pakaian
tersebut disesuaikan dengan kadar usaha mereka di bidang pengarahan dan
pemberian bimbingan kepada hamba-hamba Allah.

 

Ibadah Fatimah az Zahra

Hasan Basri (wafat tahun 110 H), salah seorang abid (ahli ibadah) dan seorang
sufi terkenal mengatakan bahwa Fatimah az Zahra begitu luar biasa dalam
beribadah sehingga [seperti ayahnya Rasulullah saw] kedua kakinya
bengkak. Hasan Basri juga menegaskan bahwa tidak ada seorang pun di
tengah umat yang mampu menandingi zuhud, ibadah dan ketakwaan Fatimah.

 

Kalung Yang Penuh Berkah

 

Pada
suatu hari Rasulullah saw melakukan perjalanan. Saat itu Ali
mendapatkan sedikit ganimah lalu ia menyerahkannya kepada Fatimah. Putri
Nabi saw ini memakai dua gelang dari perak dan ia menggantung kain di
atas pintunya. Ketika Rasulullah saw datang maka ia memasuki masjid
lalu ia menuju rumah Fatimah sebagaimana yang biasa dilakukannya.
Fatimah berdiri gembira menyambut ayahnya. Rasul saw melihat dua gelang
yang terbuat dari perak yang ada di tangannya, juga kain yang
tergantung di atas pintunya. Lalu beliau duduk sambil memandanginya.
Fatimah pun menangis dan sedih. Kemudian ia memanggil kedua putranya
dan mencabut kain penutup yang dipasangnya dan kedua gelangnya sambil
berkata kepada mereka: Sampaikan salam kepada ayahku dan katakan
kepadanya, kami tidak membuat sesuatu yang baru selain ini. Serangkan
benda ini kepadanya sehingga ia dapat menginfakkannya di jalan Allah.
Kemudian Rasul saw berkata: Semoga Allah SWT merahmati Fatimah dan
memberinya pakaian dari pakaian surga dan memberinya kalung dari surga.[12]

 

Seorang Arab Baduwi datang kepada Nabi saw dan berkata: Wahai Nabi Allah, aku
sedang lapar maka berilah aku makanan dan aku telanjang maka berilah
aku pakaian dan aku adalah orang fakir maka bantulah aku. Lalu Nabi saw
berkata kepadanya: Aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku berikan
padamu, namun orang yang menjadi pembimbing atas kebaikan sama dengan
pelaku kebaikan tersebut. Pergilah kami ke rumah orang yang mencintai
Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya. Saat itu
Ali, Fatimah dan Rasulullah saw belum makan selama tiga hari. Kemudian
orang Arab Baduwi tersebut datang kepada Fatimah dan meminta bantuan
padanya. Fatimah memberinya kalung yang tergantung di lehernya dimana
kalung tersebut merupakan hadiah dari putri pamannya Fatimah binti
Hamzah bin Abdul Muthhalib. Fatimah berkata kepada orang tersebut:
Ambillah ini dan juallah. Semoga Allah menggantimu dengan apa yang
terbaik darinya. Orang fakir itu datang kepada Nabi saw sambil membawa
apa yang didapatinya dari Fatimah lalu beliau menangis. Kemudian Ammar
bin Yasir membeli kalung itu seharga dua puluh Dinar dan dua ratus
Dirham dan ia menggenyangkan orang fakir itu dengan roti dan daging.
Ammar melipat kalung itu di bawah kain dan berkata kepada budaknya,
Saham: Ambillah kalung ini dan serahkanlah kepada Nabi saw dan engkau
pun menjadi miliknya. Budak itu mengambil kalung tersebut dan
menyerahkannya kepada Nabi saw serta memberitahukan perkataan Ammar
tersebut pada beliau. Beliau berkata: Pergilah ke rumah
Fatimah dan serahkanlah kepadanya serta kau pun aku serahkan padanya.
Lalu budak itu datang ke Fatimah dan memberitahukan perkataan Nabi saw
padanya. Fatimah mengambil kalung tersebut dan membebaskan budak itu.
Kemudian budak itu tertawa. Fatimah bertanya kepadanya: Apa yang
membuatmu tertawa? Ia menjawab: Aku tertawa melihat betapa besarnya
keberkahan kalung ini: Ia menggenyangkan orang yang lapar, menutupi
orang yang telanjang, memampukan orang yang miskin dan memerdekakan
budak dan kembali lagi ke empunya.[13] 


Peran Fatimah dalam Peperangan di Masa Awal Islam

 

Selama 10 tahun pemerintahan Nabi saw di Madinah, terjadi 27 atau 28 peperangan (ghazwah) dan 35 sampai 90 Sariyah. Ghazwah ialah peperangan yang langsung dipimpin oleh Nabi saw dan
beliau melihat dari dekat proses terjadinya peperangan dan segala
taktik dan strategi perang berada dalam control beliau langsung.
Sedangkan Sariyah adalah peperangan yang tidak langsung dipimpin oleh
Nabi saw, namun beliau menunjuk sahabatnya untuk memimpin peperangan.
Terkadang Sariyah ini menyita waktu cukup lama (sekitar dua atau tiga
bulan) karena jauhnya gelanggang peperangan dari Madinah. Dapat
dipastikan bahwa Ali bin Abi Thalib selama menikah dengan Fatimah
banyak menghabiskan waktunya di medan peperangan atau diutus sebagai
juru dakwah. Selama ketidakhadiran suaminya, Fatimah dengan baik mampu
memerankan sebagai ibu yang ideal bagi anak-anaknya dan ia berhasil
mendidik mereka sebaik mungkin, sehingga Ali begitu tenang meninggalkan
keluarganya dan tidak pernah memikirkan urusan pendidikan anaknya dan
konsentrasinya benar-benar terfokus hanya pada jihad. Selama masa ini,
Fatimah juga membantu keluarga syuhada dan berbelasungkawa kepada
mereka, dan terkadang ia memotifasi para wanita yang menjadi
sukarelawan yang mengobati dan menangani korban perang dan tak jarang
Fatimah terjun langsung menolong para korban luka-luka akibat perang.
Dalam perang Uhud, misalnya, Rasulullah saw mengalami luka parah.
Fatimah beserta Ali, suaminya cukup bekerja keras untuk menghentikan
pendarahan yang dialami ayahnya dimana sejarah menceritakan bahwa
Fatimah membakar semacam jerami lalu menebarkan abunya ke luka ayahnya
sehingga darahnya terhenti.

 

Fatimah dan Kepergian Nabi saw

 
 

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya
dari Aisyah yang berkata: Ketika Rasulullah saw sakit, maka beliau
memanggil putrinya Fatimah. Lalu beliau menghiburnya tapi Fatimah malah
menangis kemudian beliau menghiburnya kembali lalu ia tertawa. Lalu aku
bertanya kepada Fatimah perihal hal itu. Fatimah menjawab: Aku menangis
karena ia memberitahuku bahwa ia akan meninggal dunia sehingga aku
menangis, kemudian dia memberitahuku bahwa aku yang pertama kali
menyusulnya di antara keluargaku sehingga aku tertawa. Pengarang kitab
Kasyful Ghummah pada juz dua dalam kitabnya mengatakan: Karakter
manusia biasanya membenci kematian dan berusaha lari darinya. Yang
demikian ini karena manusia cinta dan cenderung kepada dunia—kami tidak
dapat menyebutkan semua riwayat ini karena begitu panjang—sedangkan
Fatimah as adalah wanita muda yang masih mempunyai anak kecil dan suami
yang mulia. Ironisnya, ketika ayahnya memberitahunya bahwa ia yang
tercepat di antara keluarganya yang akan menyusul Nabi maka ia merasa
sedih terhadap kematian ayahnya dan justru tertawa dan bahagia karena
ia pun akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan kedua anaknya dan
suaminya. Fatimah justru bergembira ketika akan menjemput mati.

 

Ini adalah masalah yang besar dimana manusia tidak akan mampu mengenali
sifatnya dan hati tidak terbimbing untuk mengetahuinya. Hal yang
demikian adalah suatu masalah yang Allah SWT mengajarkannnya kepada
keluarga yang mulia ini dan suatu rahasia dimana Allah memberikan
kepada mereka keutamaan dan mengkhususkan mereka dengan mukjizat-Nya
dan tanda-tanda kebesaran-Nya.[14]

 

Diriwayatkan dari Imam Baqir as yang berkata: Sepeninggal Rasulullah saw, Fatimah
tidak pernah terlihat dalam keadaan tertawa sehingga ia meninggal dunia.[15]

 

Diriwayatkan dari Imam as Shadiq yang berkata: Ada lima orang yang suka menangis:
Adam, Ya`qub, Yusuf, Fatimah binti Muhammad dan Ali bin Husain as.
Adapun Adam, ia menangis karena harus meninggalkan surga dimana ia
diletakkan di suatu lembah, sedangkan Ya`qub, ia menagisi Yusuf hingga
matanya buta, sedangkan Yusuf menangisi perpisahannya dengan Ya`qub
hingga terganggu karenanya para penghuni penjara, adapun Fatimah, ia
menangis karena kepergian Nabi saw sehingga karenanya penduduk Madinah
terganggu. Bahkan mereka berkata kepadanya, banyaknya tangisanmu
membuat kami terganggu. Lalu Fatimah pergi ke makam syuhada dan
menangis di sana sampai puas lalu ia pulang. Sedangkan Ali bin Husein
menangis karena kesyahidan ayahnya selama dua puluh tahun atau empat
puluh tahun.[16]

 

Diriwayatkan bahwa Ali berkata: Ketika aku mencuci baju Nabi saw maka Fatimah
berkata, perlihatkanlah kepadaku baju itu. Lalu Fatimah menciumnya dan
pingsan. Takkala aku mengetahui hal itu maka aku menyembunyikan pakaian
itu (hingga kejadian ini tidak terulang kembali).[17]

 

Takkala Nabi saw meninggal, Bilal tidak mau mengumandangkan azan dimana ia
berkata: Aku tidak mau mengumandangkan azan untuk seseorang setelah
meninggalnya Nabi saw. Kemudian pada suatu hari Fatimah berkata: Aku
ingin mendengar suara muazin ayahku yang mengumandangkan azan. Lalu hal
tersebut sampai ke telinga Bilal sehingga ia mengumandangkan azan dan
memulainya dengan takbir "Allahu Akbar". Fatimah mulai mengingat-ingat
kebersamaannya dengan ayahnya sehingga ia tidak mampu membendung air
matanya. Dan ketika Bilal sampai ke kalimat "Asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah", Fatimah tidak kuasa menahan dirinya dan ia pun terjatuh
pingsan. Kemudian mereka mengira bahwa ia telah mati dan Bilal pun
tidak melanjutkan azannya. Takkala Fatimah sadar, ia meminta Bilal
untuk melanjutkan azannya namun Bilal dengan berat hati menolak sambil
berkata: Wahai penghulu para wanita, aku khawatir terjadi sesuatu pada
dirimu. Dan Fatimah pun mengerti kecemasan Bilal dan memaafkannya.[18]

 

Diriwayatkan bahwa Fiddah, pembantu wanita Fatimah berkata kepada Waraqah bin
Abdullah al Azdi: Ketahuilah bahwa ketika Rasulullah saw meninggal
dunia, maka orang tua dan muda sangat terguncang dengan kematiannya
dimana mereka semua larut dalam tangisan. Musibah ini sangat berat
dipikul oleh kaum kerabat beliau dan para sahabatnya. Dan tak seorang
pun yang lebih bersedih dan lebih banyak menangis daripada tuanku,
Fatimah dimana selama tujuh hari Fatimah mengadakan mejelis ratapan.
Selama hari-hari itu Fatimah tidak pernah berhenti menangis dan
merintih, bahkan setiap hari tangisannya lebih banyak dari hari
sebelumnya. Dan ketika memasuki hari kedelapan, Fatimah meluapkan
kesedihannya yang terpendam dimana ia meratapi ayahnya: Oh ayahku, oh
pilihan Allah, oh Muhammad, oh Abu Qasim, duhai pelindung para janda
dan yatim, siapa lagi yang mendirikan shalat, siapa lagi yang
melindungi putrimu yang kehilangan orang tuanya! Bahkan dikatakan bahwa
Fatimah kehabisan suara saat meratapi ayahnya dan sempat mengalami
pingsan. Lebih jauh lagi, ia berkata: Duhai ayah, sepeninggalmu aku bak
orang yang hidup sendirian. Kehidupanku dipenuhi dengan duri-duri
bencana dan petaka. Sepeninggalmu banyak peristiwa besar terjadi yang
membuat kami menderita dan semua jalan tertutup buat kami hingga kami
tak dapat meloloskan diri. Sepeniggalmu aku kecewa melihat dunia ini
dan aku senantiasa menangis. Kemudian Fatimah membacakan syair:

 

Tiap hari aku memperbaharui kesedihanku atasmu

 

Demi Allah, luka hatiku semakin besar dan berat

 

Tiap hari deritaku semakin menjadi-jadi

 

Beratnya perpisahnku denganmu tak dapat dipungkiri

 

Adalah benar di dalam hati ada kesabaran

 

Namun sunguh berat mempertahankannya saat berkenaan denganmu

 

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bahkan membangun rumah untuk Fatimah di
Baqi yang terkenal dengan sebutan "Baitul Ahzan" (rumah kesedihan).
Saat pagi hari, Fatimah membawa Hasan dan Husein ke Baqi dan menangis
di sana.[19]

 

 

Akhir Hayat Fatimah

 

Diriwayatkan bahwa Abi Abdillah ash Shadiq as berkata: Fatimah meninggal pada bulan
Jumadil Akhir, hari Selasa, tahun sebelas Hijrah.

 

Diriwayatkan dari Ummu Salma, istri Abi Rafi` yang berkata: Fatimah sakit. Di hari
menjelang kematiannya, ia berkata: Datangkanlah untukku air! Lalu aku
menuangkan air untuknya hingga ia mandi dengan air tersebut dengan cara
yang terbaik. Kemudian ia berkata: Bawalah untukku pakaian yang baru
hingga aku dapat memakainya. Lalu Fatimah berbaring dan menghadap
kiblat dan ia meletakkan tangannya di bawah pipinya dan berkata:
Sebentar lagi aku akan meninggal...[20]

 

Diriwayatkan dari Jabir al Anshari yang berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw
berkata kepada Ali bin Abi Thalib as—tiga hari sebelum beliau
meninggal: Salam kepadamu wahai ayah dua sekuntum bunga. Aku berwasiat
kepadamu tentang dua sekuntum bungaku di dunia. Demi Allah wahai
khalifahku, sebentar lagi dua sandaranmu akan roboh. Ketika Rasulullah
saw meninggal, Ali as berkata: Inilah salah satu sandaran yang
dikatakan Rasul saw padaku dan takkala Fatimah meninggal, Ali berkata:
inilah sandaranku yang kedua.[21]

 

Fatimah as lahir lima tahun setelah tahun pengutusan Nabi saw dan ia meninggal
dunia saat berusia delapan belas tahun lima puluh tujuh hari, dan
sepeninggal ayahnya ia hidup selama tujuh puluh lima hari.[22]

 

Imam ar Ridha pernah ditanya tentang kuburan Fatimah as lalu beliau
menjawab: Ia dimakamkan di rumahnya, namun ketika Bani Umayyah banyak
datang ke Masjid, ia berada di Masjid.[23] Ada yang mengatakan bahwa ia disemayamkan di Baqi.[24]

 

Fatimah mengalami sakit keras dan ia bertahan selama empat puluh hari atas
sakitnya hingga ia meninggal. Saat menjelang ajalnya, ia memanggil Ummu
Aiman dan Asma` binti Umais dan sambil memandang suaminya Ali, ia
berkata: Wahai putra pamanku, engkau tidak pernah mendapatiku dalam
keadaan berbohong dan berkhianat, dan selama aku menjadi istrimu, aku
tidak pernah menentangmu. Ali menjawab: Aku berlindung kepada Allah,
engkau lebih tahu tentang Allah dan lebih baik dan lebih takwa di
sisi-Nya serta lebih takut kepada-Nya. Sungguh musibahmu di sisiku sama
dengan musibah Rasulullah saw. Sungguh besar kematianmu. Dan kita
adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.

 

 

 

 


 

 

[1]Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 468. 

 

 

 

 [2] Bihar al Anwar, juz 43, hal. 134. 

 

 

 

[3]Majma` al Bayan, juz 8, hal. 358. 

 

 

 

[4]A`lam an Nisa' al Mu'minat, hal. 552. 

 

 

 

[5]Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 471. 

 

 

 

[6]Tsawabul A`mal, hal 164. 

 

 

 

[7]Al Bihar, juz 43, hal. 64. 

 

 

 

[8] Tsawabul A`mal, hal 163.

 

 

 

[9]Falahu as Sa'il, karya Ibn Thawus, hal. 152. 

 

 

 

[10]Al Mahasin, juz 1, hal 30. 

 

 

 

[11]Al Bihar, juz 2, hal. 3. 

 

 

 

Al Bihar, juz 43, hal. 83-84. [12] 

 

 

 

Al Bihar, juz 43, hal. 56-58.  [13] 

 

 

 

[14] Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 454-455.

 

 

 

[15]Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 498. 

 

 

 

[16]Ibid. 

 

 

 

[17]Al Bihar, juz 43, hal. 107. 

 

 

 

[18]Ibid. 

 

 

 

[19] Al Bihar, juz 43, hal. 175-176. 

 

 

 

[20]Al Bihar, juz, 43, hal. 172, dan al Ishabah, juz 4, hal. 379.

 

 

 

[21]Al Bihar, juz, 43, hal. 173. 

 

 

 

[22]Al Kafi, ju 1, hal. 458. 

 

 

 

[23]Al Kafi, juz 1, hal. 461. 

 

 

 


[24]Al Bihar, juz, 43, hal. 187

 (taqrib bainal madzahib Indonesia)

Kirim komentar