Peran Besar Amerika dalam Membidani Indonesia


Dalam sejarah Republik ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah menjadi kebijakan resmi pemerintah, yang didukung oleh kekuatan politik progresif. Itu terjadi pada masa pemerintahan Bung Karno di akhir tahun 1957. Kebijakan  nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’ perjuangan mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan Republik Indonesia  (RI) melalui jalur diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja bundar  (KMB) 1949. Pemerintahan Bung Karno  memutuskan untuk  menghadapi   Belanda dengan cara frontal, yakni  membatalkan perjanjian KMB secara sepihak.

Maka, di tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara unilateral.

Organ-organ yang terkait dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan lainya, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis), menjadi pelopor dalam aksi-aksi massa menuntut  pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya, sebagai bentuk resistensi terhadap eksistensi kolonial Belanda yang belum terlikuidasi sepenuhnya di Republik ini.

Akhirnya, pemerintah Bung  Karno pun  merespon keinginan massa rakyat tersebut. Hasil rapat Kabinet Djuanda  pada 28 November 1957  menghasilkan beberapa keputusan penting terkait hal tersebut, antara lain: pemerintah memutuskan untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan beberapa perusahaan Belanda. Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan Indonesia merdeka dibawah pimpinan Bung  Karno dan Djuanda dengan gerakan-gerakan rakyat progresif yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri kekuasaan ekonomi   Belanda.

Hal-hal semacam inilah yang membuat Pemerintah Amerika Serikat menjadi gerah dan gemes terhadap presiden pertama Indonesia, mereka tidak suka dan dengan planning tertentu berusaha untuk memindahkan kedudukan Sukarno dengan orang lain yang tentunya memihak dan mau menjadi penjilat telapak kaki Negara Paman Sam.

Indonesia sebagai objek utama Marshall Plan desain Amerika, planing yang muncul sebagai sebuah ketakutan akut Amerika jika Indonesia berubah menjadi Negara Komunis, Negara yang seirama dengan UniSoviet musuh besar Amerika kala itu. Jelas perubahan Indonesia menjadi Negara komunis akan menjadi sandungan besar bagi perjalanan hidup neokolonialisme yang  Amerika pilih.

Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara defacto, Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orang-orang yang dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa melewati proses pengadilan yangfair. Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.

Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai "Hadiah terbesar dari Asia Tenggara". Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan' bagi kejayaan imperialisme Barat.

Benar saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern UniversityAS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalamThe New Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis:

"Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar' (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.

Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya."

Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup'.

"Di Jenewa, Tim Indonesia tersebut terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia' karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: Tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar."

Masih dalam kutipan John Pilger, "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor." Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler."

"Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.' Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri."

Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.

Dia juga menolak bantuan keuangan dari AS berupa pinnjaman uang. Sukarno menilai bahwa hubungan antara dunia pertama dengan dunia ketiga adalah yakni antara Oldefos dan Nevos antara Old establish forces dengan New Emerging Forces adalah bentuk dari neokapitalisme. Contoh dari neokapitalis berdasarkan pandangan ini adalah Italia dan Inggris. Pemikiran ini berkembang hingga tahun 1965. [i]

Sebenarnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang haus dengan keadilan, beberapa tahun lalu dengan penuh kesadaran mereka menolak penyerangan Amerika pada Irak, Afganistan, pemberian bantuan pada Rezim Zionis Israel dll, mereka menilai Amerika dan konco-konconya adalah Negara berpolitik muka dua dibidang HAM. [ii] Amerika hanya melakukan sesuatu selama hal itu bisa memberikan keuntungan padanya.

Sekarang mari kita gunakan waktu kita sebentar, setelah kita berlelah-lelah bertasbih ria di masjid-masjid dengan seragam putih untuk membersihkan hati mari kita bersihkan pikiran kita terhadap bangsa ini, kita tengok apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini, apakah bangsa ini masih merdeka, apakah perampokan terang-terangan bangsa-bangsa asing pada bangsa ini sudah berhenti atau masih terus berjalan? Mari kita tengok saudara kita, tetangga kita yang dekat maupun yang jauh apakah mereka bisa membuat perut mereka kenyang atau tidak, kita tengok warga negara kita ini sudahkah kata sejarhtera layak disandangkan dipundak mereka? Kita tengok pendidikan di Negara kaya raya indonesia, apakah anak-anak kecil sudah mendapatkan hak mereka untuk belajar, kita lihat apakah orang-orang yang sakit mendapatkan hak mereka untuk dirawat dan mendapat kesembuhhan.

Kita lihat bagaimana kebernegaraan warga kita masihkah mereka diadu domba antara satu partai dengan partai yang lain, bagaimana dengan tawuran antar pendukung madzhab, bagaimana dengan tawuran antara pendukung sepakbola?

Bukankan kita sesama bangsa indonesia adalah saudara kita sama-sama satu darah dalam ikatan kebangsaan  ini?

Setelah kita lelah melihat berita-berita kriminal yang menjadi guru besar untuk membidani berbagai kriminalitas dalam negeri, mari kita tengok berita tentang kawan buruh kita, berapa upah kerja yang ia terima, kita bandingkan ongkos kerja buruh di Negara kita dengan upah kerja buruh dari Negara lain.

 




[i] ( amrika sitizi dar jahane islam hal 419-420)

 

[ii]  ( amrika sitizi dar jahane islam hal 421)

Kirim komentar