KETAUHIDAN, Muhsin Qiroati*
Pandangan Dunia (ar-ru`yah al-kaumah)
Kita semua acapkali mendengar istilah “Pandangan Dunia” (world view). Pandangan Dunia merupakan sebuah tafsiran universal terhadap keberadaan jagat alam (macrocosmos). Adapun Pandangan Dunia yang menyertakan kesadaran bahwa keberadaan alam ini memiliki tujuan, bersandar pada wujud yang memiliki perasaan, dan berdasarkan pada sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang pasti, disehut Dengan "Pandangan Dunia Ilahiah". Sementara, pandangan semesti yang mengedepankan asumsi bahwa jagad alam ini tidak didasari oleh rancangan sebelumnya, tidak memiliki perancang yang berperasaan, tanpa tujuan, dan tanpa perhitungan, disebut dengan "Pandangan Dunia Materialisme."
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa "Pandangan Dunia" tak lain dari bentuk tafsiran serta perspektif universal seseorang terhadap universum keberadaan alam dan manusia.
Manfaat Pembahasan Pandangan Dunia
Tak diragukan lagi, pembahasan terhadap kedua bentuk pandangan tersebutpasti memiliki manfaat, serta keuntungan yang khas. Seumpama, rumah yang besar (alam) ini ada pemiliknya, dibangun dengan perhitungan, serta memiliki tujuan, di mana saya menjadi salah satu bagian di dalamnya, tentunya sikap serta perbuatan saya harus berdasar pada kerelaan pemilik rumah (Allah).
Selain itu, saya juga mesti mengamalkan berbagai aturan yang telah diberikan saya (dengan perantaraan wahyu dan para nabi). Adapun seandainya seluruh alam ini tercipta tanpa suatu rancangan apapun, tidak bertujuan, dan tanpa perhitungan, maka bagi saya tak ada alasan untuk menaati berbagai aturan serta tidak harus petuh pada berbagai ikatan dan larangan.
Pada masa sekarang, kalimat "manusia yang konsisten dan bertanggung jawah" acapkali didengung-dengungkan. Padahal, masalah pertanggungjawaban, adanya pengawasan, dipertanyakannya segala perbuatan, dan keyakinan bahwa alam ini tercipta berdasarkan perhitungan, sistem, serta tujuan, merupakan masalah yang tercakup dalam topik "Pandangan Dunia Ilahiah".
Dan melalui pandangan semacam inilah, kita dapat menjadi manusia yang konsisten dan bertanggung jawab. Akan tetapi, berbandirig terbalik Dengan itu, dalatn sudut pandang materialisme, seluruh jagat alam terwujud tanpa rancangan sebelumnya.
Menurut pandangan ini, semua keberadaan tercipta sesuai dengan berlalunya waktu. Dikatakan pula bahwa seluruh manusia berjalan menuju kemusnahan diri. Dengan kematian, mereka akan menjadi musnah. Sementara tujuan dari kehidupan ini tak lebih dari sekadar meraih kesenangan (dunia), untuk kemudian segera musnah dan bmasa. Bentuk pemikiran semacam ini niscaya akan menjadikan seseorang berkata kepada dirinya sendiri, "Mengapa saya mesti ada (hidup) dan tidak melakukan bunuh diri? Bertahun-tahun saya hidup menderita, toh akhirnya saya juga akan binasa.
Lalu mengapa saya tidak segera mengakhiri hidup saya ini?" Benar, kehidupan yang bermakna hanyalah kehidupan yang berada di bawah naungan "Pandangan Dunia Ilahiah", tidak pada yang lain.
Fungsi Pandangan Dunia
Ketika di tengah malam buta, rumah Anda tiba-tiba diketuk seseorang yang belum Anda kenal betul dan tidak dapat terlihat secara jelas, tentu Anda tidak akan segera membuka pintu.
Ketika tidak mengetahui bagaimana cuaca kota yang akan kita tuju, pasti kita tidak akan mengetahui jenis pakaian apakah yang harus dibawa. Pabila kita tidak mengetahui apakah undangan yang ditujukan untuk kita berupa undangan dukacita atau pernikahan, jelas kita tidak akan bisa memutuskan pakaian maLam apakah yang mesti kita kenakan.
Dengan demikian, agar tugas-tugas yang akan kita laksanakan menjadi jelas, kita terlebih dahulu harus memiliki pandangan serta pengenalan yang jelas terhadapnya.
Karena itu, akidah bentuk pemikiran, serta pengenalan (yang keseluruhannya bisa dnstilahkan dengan "Pandangan Dunia") yang ada pada diri kita akan berpengaruh terhadap seluruh perilaku serta pilihan-pilihan kita.
Memilih Pandangan Dunia
Telah saya kemukakan bahwasannya terdapat dua bentuk pandangan terhadap keberadaan alam semesti dan manusia.
1. Pandangan Ilahiah: Sebuah pandangan yang menerima prinsip tentang adanya pemilik, perhitungan yang pasti, rancangan yang sistemis, serta perancang dari keberadaan jagat alam ini.
2. Pandangan Materialis: Sebuah pandangan yang meyakini bahwa semesti alam ini bukan milik siapa-siapa, tak ada perancangnya, tercipta tanpa tujuan, dan bergerak menuju titik kemusnahan. Dengan memperhatikan manfaat serta fungsi "Pandangan Dunia" sebagaimana yang saya singgung pada awal pembahasan, setiap orang mau tidak mau harus memnih salah satu dari kedua bentuk pandangan tersebut.
Ciri-ciri pandangan yang baik mengandungi sejumlah hal:
1. Pandangan Dunia senantiasa berpijak di atas berbagai argumen akal (logika).
2. Pandangan serta proses penafsirannya harus sesuai dengan fitrah penciptaan alam.
3. Selain memiliki nilai, Pandangan Dunia juga mengobarkan semangat, harapan. serta rasa bertanggung jawab.
Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas, kita akan memulai pembahasan dan kajian ini.
Tauhid: Poros "Pandangan Dunia Ilahiah" (ar-ru`yah al-kaumah al-ilâhiah)
Sesuai Dengan prinsip penalaran, kita mengetahui bahwasannya keberadaan sesuatu pasti memiliki sebab-musababnya. Keyakinan dan ketentuan ini sedemikian jelas sampai-sampai jika Anda meniup wajah seorang bayi, sekalipun secara perlahan, ia akan segera membuka matnya serta menengok ke kanan dan ke kiri demi mencari sebab munculnya angin yang menerpa wajah mungituya.
la mengetahui bahwa hembusan angin tersebut berasal dari suatu sumber tertentu. Ya, masalah adanya bekas atau jejak yang menunjukkan adanya sesuatu yang membuat bekas atau jejak tersebut, merupakan suatu masalah yang teramat jelas dalam kehidupan kita. Di seluruh pengadilan, keberadaan bekas atau jejak acapkali mampu mengungkap fakta suatu kasus. Apabila terdapat lukisan seekor burung merak atau ayam jantan, kita bisa memastikan bahwa untuk itu ada yang menggambar atau melukisnya.
Akan tetapi, mungkinkah hagi kita untuk membayangkan bahwasanya keberadaan hurung merak dan ayam jantan itu sendiri tidak memiliki perancang dan penciptanya? Bagaimana kita dapat meyakinkan akal kita kalau sebuah kamera saja ada yang membuatnya, sementara mata manusia tidak dibuat oleh pencipta yang memiliki perasaan?
Padahal, kita mengetahui dengan pasti bahwa dalam hal pengamhilan gambar, kemampuan mata kita jauh lebih sempurna daripada sebuah kamera. Setelah beberapa kali melakukan pengambilan gambar, sebuah kamera harus mengganti negatif filmnya dengan negatif film yang baru.
Sementara mata kita tiada henti-hentinya mengambil gambar tanpa perlu mengganti negatif film. Sebuah kamera biasanya hanya bisa mengambil gambar hitam-putih atau berwarna, sedangkan mata kita dapat mengambil gambar berbagai benda dalam berbagai wama, hitam-putih, berwama, dari jarak dekat maupun jauh, di bawah pancaran sinar matahari atau terlindung darinya.
Dengan demikian, mungkinkah akal kita dapat menerima pandangan bahwa anggota tubuh bagian permukaan diciptakan oleh sang pencipta, sementara bagian organ pencernaan tidak?! Kita meyakini bahwa keteraturan yang terdapat pada diri seseorang mencerminkan adanya perasaan dalam dirinya. Lalu, apakah keteraturan yang berlangsung di alam semesti ini tidak merefleksikan adanya (pencipta yang memiliki) perasaan? Bagaimanakah mereka bisa menggantikan (pencipta alam ini) dengan berbagai sebab-sebab serta hukum-hukum alam? Padahal kita mengetahui bahwa hanya untuk mengetahui hakikat keberadaan dari salah satu saja dari hukum-hukum alam tersebut, seorang cendekiawan sampai harus menghabiskan waktunya selama berpuluh-puluh tahun!
Ringkasnya, apabila ciri-ciri utama yang melekat pada "Pandangan Alam" terbaik selaras dengan pendapat akal, maka sejak kali yang pertama, akal kita telah menyaksikan adanya sistem (keteraturan) serta perhitungan yang rinci di jagat alam ini, sekaligus memberi keyakinan bahwa alam semesti merupakan hasil ciptaan suatu kekuatan yang memiliki perasaan. Melalui rumus akal itulah, Allah memberikan sederet jawaban atas berbagai keraguan yang mendera. Setelah melakukan observasi terhadap alam semesti dan mengetahui adanya berbagai keteraturan serta perhitungan yang amat hnci di dalamnya, kita niscaya akan terbawa ke dalam pandangan Ilahiah. Inilah suatu pertanda adanya kebenaran dalam cara memandang dan berpikir.
Pertanda lain yang menunjukkan kebenaran "Pandangan Dunia Ilahiah" adalah kesesuaiannya dengan keberadaan fitrah. Dalam hal ini, saya akan menjelaskan terlebih dahulu kepada saudara-saudara sekalian, makna dari fitrah, sehingga ketika saya menyinggung masalah pengenalan tuhan secara fitriah, kita sudah memiliki bekal pengetahuan yang memadai.
Penafsiran Fitrah
Istilah fitrah identik dengan kata khilqahi, yang memiliki arti "ciptaan"; suatu bentuk perasaan yang terdapat dalam diri manusia yang dalam perwujudannya tidak memerlukan latihan serta pengajaran dari seorang pendidik atau pengajar, dan perasaan tersebut senantiasa bersemayam dalam jiwa seluruh manusia di pelbagai tempat dan masa. Perasaan tersebut terkadang disebut fitrah, dan terkadang pula disebut gharîzah (insting).
Alhasil, insting merupakan perasaan serta berbagai kecenderungan yang Selain terdapat dalam diri manusia, juga terdapat pada hewan. Tentunya jelas bahwa salah satu pertanda bahwa sesuatu hal bersifat fitriah ialah apabila keberadaannya bersifat universal.
Misalnya, kecintaan seorang ibu terhadap anaknya yang merupakan sesuatu yang bersifat fitriah; perasaan kasih sudah tertanam dalam jiwa sang ibu, sehingga untuknya tidak diperlukan bimbingan atau pengajaran. Dan hal itu juga bersifat universal.
Dalam arti, apabila Anda rnenelusuri pelbagai tempat dan masa, pelbagai bentuk dan sistem pemerintahan, Anda tentu akan menjumpai kecintaan seorang ibu terhadap anaknya. Akan tetapi, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kuat dan lemahnya perasaan (fitrah) tersebut.
Boleh jadi suatu perasaan yang terdapat dalam jiwa seseorang berhasil mengalahkan perasaan yang lain. Misalnya saja dalam diri manusia terdapat rasa cinta terhadap harta, kesenangan, atau keselamatan. Akan tetapi, bobot dan masing-masing bentuk perasaan yang terkandung dalam diri setiap individu tersebut tidaklah sama persis.
Sebagian orang akan rela mengorbankan nyawa demi hartanya, sementara sebagian lainnya akan rela mengorbankan harta demi nyawanya. Sebagaimana pernah terjadi pada suatu masa, seorang ayah yang demi mempertahankan harga diri (dikarenakan anggapan yang berkembang waktu itu bahwa memiliki anak perempuan merupakan suatu kehinaan dan cela) sampai-sampai harus memutuskan rasa cintanya kepada anak (perempuan)nya.
Kemudian dengan tangannya sendiri, ia tega mengubur hidup-hidup anak itu. Karena itu, keberadaan fitrah tidak meniscayakan semua manusia memiliki sikap yang sama. Sebabnya, banyak sekali fitrah yang tertutupi fitrah yang lain. Salah satu hal yang dihasilkan fitrah ialah rasa bangga diri. Seseorang yang berjalan di garis fitrah, akan memiliki jiwa yang tenang. Seorang ibu yang menggendong putranya akan merasa bangga, sampai-sampai ia akan marah ketika menyaksikan seorang ibu yang tidak mengasihi anaknya sendiri. Ya, rasa bangga dan marah tersebut merupakan bentuk sikap yang dihasilkan oleh fitrah.
Sekarang, marilah kita saksikan bersama, apakah pengenalan terhadap Tuhan merupakan sesuatu hal yang bersifat filrah ataukah bukan?
Kita akan bertanya kepada setiap manusia yang ada di setiap tempat, masa, serta pemerintahan, "Apa yang kalian rasakan dalam kehidupan di alam semesti ini?" Apakah kalian merasa bahwa diri kalian benar-benar bebas? Ataukah kalian merasakan bahwadalam diri terdapat suatu keterikatan?
Tak seorangpun yang mengatakan, "Di alam semesti ini saya benar-benar merasa bebas." Setiap orang pasti akan merasakan bahwa di dalam dirinya terdapat suatu ikatan. Namun, perasaan yang benar semacam ini bisa terpenuhi dalam dua bentuk:
1. Perasaan yang henar dan dipenuhi dengan cara yang benar.
2. Perasaan yang benar dan dipenuhi dengan cara yang keliru (kebohongan).
Seumpama, seorang bayi yang menangis karena merasa lapar. Perasaan lapar tersebut merupakan sesuatu yang benar. Namun terkadang, pemenuhan tuntutan perasaan tersebut dilakukan dengan cara menghisap susu ibunya yang penuh dengan air susu.
Tentunya, pemenuhan semacam ini dilakukan dengan cara yang benar. Namun, terkadang pemenuhan perasaan tersebut dipenuhi dengan cara menghisap puting susu plastik tiruan (dot). Sebagaimana dikemukakan bahwa dalam diri manusia benar-benar terdapat rasa keterikatan. Akan tetapi, keterikatan pada apa?
1. Pada kekuatan Allah?
2. Pada kekuatan alam?
Keberadaan alam sendiri memiliki keterikatan terhadap ratusan sebab dan akibat. Dengan demikian, kita mesti mengikatkan diri kita dengan suatu kekuatan yang tidak lagi terikat sebagaimana diri kita.
Misi Para Nabi
Misi para nabi ditujukan untuk menjaga agar perasaan manusia yang pada hakikatnya bersifat lembut tidak sampai dijejali berbagai modus kebohongan (kekeliruan). Sebagaimana seorang ibu atau seorang pengasuh yang tidak akan pernah membiarkan seorang anak yang lapar—demi menghilangkan rasa laparnya—menyantap makanan secara sembarangan. Sejarah menunjukkan bahwa mereka yang tidak berada di bawah bimbingan para nabi akan terjerumus ke dalam berbagai macam khurafat (penyelewengan).
Apakah Perbudakan Bertentangan dengan Kebebasan Manusia?
Kadang kala, terbayang dalam benak kita bahwa ajakan pari nabi serta berbagai mazhab samawi untuk menyembah Allah semata merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kebebasan manusia.
Namun, perlu diperhatikan bahwa susunan tubuh manusia telah diciptakan sedemikian rupa, sehingga manusia tidak dapat hidup tanpa cinta, kasih, peribadahan, serta harapan. Rasa cinta dan kegemaran dalam beribadah telah tertanam dalam jiwa manusia. Dan, jika perasaan tersebut tidak ditundukkan di bawah bimbingan para nabi, akibatnya manusia akan menjadi penyembah patung berhala, benda-benda langit, sesamanya, serta para pemimpin yang zalim.
Karena itu, perbudakan dan peribadahan kepada Allah merupakan suatu cara pemuasan yang benar, yang menghalangi berbagai bentuk pemuasan semu (keliru), sekaligus menyelamatkan jalur cinta dan peribadahan dari pelbagai penyimpangan.
Pandangan Alam Ilahiah dan iman kepada Allah berakar pada keberadaan fitrah. Perasaan serta keterikatan pada kekuatan adikodrati yang tidak terbatas, sudah tentu terdapat dalam jiwa setiap manusia. Namun demikian, sekalipun seseorang bisa memastikan adanya kekuatan tidak terbatas itu, ia boleh jadi mengalami kekeliruan dalam hal menentukan kekuatan manakah yang bersifat llahi dan mana yang bersifat alamiah.
Alhasil, perasaan dan huhungan semacam itu benar-benar ada. Karena itu, Pandangan Dunia Ilahiah meyakini bahwa seluruh keberadaan di jagat alam terikat dengan suatu kekuatan adikodrati tanpa batas dan memiliki perasaan, dan ini sesuai dengan fitrah manusia. lnilah bukti lain yang berkenaan dengan kebenaran.
Pandangan Dunia Ilahiah
Tanda ketiga yang melekat pada suatu pandangan yang paling komprehensif ialah melahirkan rasacinta, harapan, serta tanggungjawab dalam diri manusia.
Pabila seorang pelajar yang ada di sebuah sekolah mengetahui bahwa berbagai usahanya tidak akan sia-sia, seperseratus dari nilainya akan diperhitungkan, dan seluruh alasan yang masuk akal akan diterima, tentu akan terus belajar dengan semangat yang luar biasa.
Berkat Pandangan Dunia Ilahiah, manusia akan memiliki keyakinan bahwa setiap detik dari kehidupannya senantiasa berada di bawah pengawasan Allah. Dengan pandangan tersebut, setiap alasan keberadaannya juga akan diterima, perbuatan baik dan buruknya sekecil apapun—tidak akan diabaikan bahkan perbuatan baiknya akan dibeli Allah, harga dari nyawa dan hartanya akan dibayar oleh kenikmatan surgawi, dan memiliki keyakinan bahwa pada satu sisi dirinya acapkali memperoleh pertolongan gaib, sementara pada sisi yang lain memperoleh sarana pendidikan yang bebas dari keraguan, kekeliruan, serta kealpaan.
Ala kulli hal, semua itu merupakan pelita harapan yang paling benderang yang menerangi hati manusia.
Bagaimanakah Bentuk Iman dan Kecenderungan yang Berharga?
Dalam al-Quran terdapat berbagai kritikan atas berbagai bentuk iman serta kecenderungan yang dimiliki manusia:
1. Berbagai kecenderungan yang bersifat musiman (angin-anginan). Sebagai contoh. seseorang yang pada suatu ketika merasakan dirinya tengah berada dalam bahaya, di mana kapal yang ditumpanginya akan tenggelam.
Pada saat itu, ia segera menyebut, "Yaa Allah." Akan tetapi, begitu terlepas dari kesulitan tersebut, dan dirinya melihat bahwa kapal yang ditumpanginya tengah mendekati pantai, seketika itu pula ia kembali menyerahkan dirinya kepada Selain Allah; berbuat syirik.
2. Dalam Al-Quran kita membaca ayat ini: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan niat ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan (Allah)” (al-Ankabût: 65)
3. Keimanan serta kecenderungan ikut-ikutan terhadap keyakinan urang tua dan para pendahulu. Kecenderungan semacam ini biasanya tidak didasari argumentasi atau dalil yangrasional.
Keimanan ini mirip dengan keimanan yang dimiliki para penyembah berhala. Tatkala menjawab pertanyaan para nabi, mereka mengatakan, "Keyakinan kami dalam menyembah berhala ini diwarisi dari para pendahulu kami." Berkenaan dengan ini, al-Quran mengatakan, “Mereka menjawab, ‘(Bukan karena itu), sebenarnya kami mendapati nenek moyang berbuat demikian” (asy-Syu’arâ`: 74)
4. Keimanan dan kecenderungan yang hanya bersifat kulit belaka dan belum menembus ke dalam lubuk hati, ruh, serta jiwa.
Al-Quran mengatakan, "Sekelompok orang-orang Arab datang menemui Rasul saww dan mengatakan, “Kami semua telah beriman”.
Kemudian Allah berfirman kepada Nahi saww, “Katakanlah kepada mereka, “Keimanan kalian sekarang ini masih belum membekas dalam hati kalian. Kalian hanya sekedar mengungkapkan rasa keimanan saja’. Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘kami telah beriman’, Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’, karena iman itu berlum masuk ke dalam hatimu”. (al-Hujurât: 14)
5. Keimanan yang kosong dari amal perbuatan yang baik. Orang yang memiliki keimanan ini adalah orang yang berpengetahuan namun enggan mengamalkannya. Dalam al-Quran, terdapat banyak sekali kecaman terhadap orang-orang semacam ini.
Manakah Bentuk Keimanan yang Bernilai?
Dalam al-Quran disebutkan bahwa iman yang bernilai dan berharga harus didasari pada pemikiran serta pertimbangan rasional terhadap berbagai ciptaan. Kita membaca dalam al-Quran; “... dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Ali Imrân: 191)
Hasil-hasil Keimanan Terhadap Allah
1. Munculnya perasaan cinta dan semangat.
Seseorang akan mengetahui secara pasti bahwa seluruh perbuatannya senantiasa berada di bawah pengawasan Allah, sembari meyakini pula bahwa tak satupun dari amal perbuatannya akan musnah, dan semua usahanya akan diganjar Allah dengan surga dan ridhwân (kerelaan Allah).
Bahkan, sekalipun ia hanya memiliki niat semata dan tidak berusaha, Allah tetap akan menganugerahkan paHala dan ganjaran kepadanya. Seseorang yang mengetahui semua itu pasti akan menjalani kehidupan yang penuh dengan semangat dan cinta.
2. Menjauhkan diri dari tipu muslihat, kehinaan moral, dan pelecehan hak.
Seseorang yang menyadari bahwa diri serta perbuatannya berada di bawah pengawasan serta kekuasan Allah, tidak akan melakukan berhagai bentuk penipuan.
3. Keagungan.
Seseorang yang bersedia menjadi hamba-Nya, tidak akan bersedia tunduk pada kekuatan lain. la akan memandang seluruh kebciadaan Selain-Nya sama seperti dirinya yaku hanya sebagai hamba.
4. Tidak akan melakukan pekerjaan yang merugikan.
Dikarenakan setiap perbuatan baik yang dikerjakannya akan mendapat pahala serta ganjaran yang kekal dan abadi, ia tidak akan pernah bersandar kecuali kepada-Nya, dan senantiasa menjauhkan diri dari berbagai kecenderungan kepada Selain-Nya.
5. Merasakan ketenangan jiwa.
Di sini kita akan melihat berbagai faktor penyebab munculnya rasa gelisah dan guncanganjiwa. Darinya, kita dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana keimanan kepada Allah mampu menciptakan ketenangan dalam jiwa.
Faktor-faktor Penyebab Guncangan Jiwa
1. Adakalanya guncanganjiwa dan rasa gelisah timbul akibat keadaan yang dialami di masa lalu. Pada umumnya, hal itu berkaitan dengan berbagai kekeliruan yang dilakukan pada masa silam.
Akan tetapi, dengan mengingat serta menyebut nama AllahYang Mahapengasih lagi Mahapemurah, keadaan jiwa semacam itu niscaya akan berubah. Dari serba gelisah menjadi penuh dengan ketenangan. Sebabnya. Dia maha mengampuni berbagai kekeliruan dan perbuatan dosa, dan Dia juga Mahapenerima tobat.
2. Adakalanya guncangan jiwa serta kegelisahan bersumber dan rasa terasing (kesendirian). Dalam hal ini, keimanan kepada Allah Yang Maha Ada dan Maha Menyaksikan, akan mengubah semua itu menjadi penuh ketenangan den ketenteraman. la menyenangkan dan disenangi; la mendengar suaraku; la menyaksikan segenap perbuatanku; la mengasihi dan menyayangi diriku.
3. Adakalanya guncangan jiwa terjadi akibat adanya anggapan bahwa kehidupan dirinya tidak memiliki arti apa-apa serta nihil dari tujuan. Akan tetapi, dengan keimanan kepada Allah yang Mahabijaksana, yang telah menciptakan segala sesuatu di jagat alam ini berdasarkan pada kebijakan dan masing-masingnya memiliki tujuan, kadar, dan masa yang telah diperhitungkan secara cermat dan rinci, berbagai bentuk guncangan jiwa semacam itu niscaya akan lenyap.
4. Adakalanya rasa gelisah dan guncangan jiwa tersebut muncul dikarenakan seseorang tidak berhasil menyenangkan semua orang. la merasa sedih, "Mengapa si fulan atau golongan fulan merasa kecewa kepadaku?" Akan tetapi, sesuai dengan prinsip keimanan bahwa kita hanya diharuskan untuk membuat Allah rela dan senang, di mana keagungan serta kehinaan hanya berada dalam genggaman-Nya, seluruh kegelisahan dan guncangan tersebut akan pudar.
Berkenaan dengan itu, al-Quran mengatakan, “... Ingatlahm hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”. (ar-Ra’d: 28) (ketahuilah, dengan mengingatdan menyebut nama Allah, hati akan menjadi tenteram). Semua itu merupakan suatu kenyataan yang tak bisa dipungkiri.
Berbagai Dampak dari Kekosongan Iman
Seseorang yang tidak beriman kepada Pencipta alam, Tuhan Yang Mahabijaksana, pada dasarnya:
1. Tidak memiliki prinsip dan tujuan hidup. Baginya, kehidupan hanyalah ditujukan untuk meraih kebahagiaan yang bersifat material. Keberadaan orang semacam ini tak ubahnya seekor hewan!!
2. Setiap aktivitas yang dilakukannya diyakini bersifat paksaan belaka (baik oleh masyarakat maupun kasta).
3. Rumah masa depannya adalah kebmasaan. Sebabnya, ia tidak meyakini adanya kehidupan pasca kematian serta adanya kekekalan ruh.
4. Para pembimbingnya terdiri dari orang-orang zalim. Selain itu, ia tunduk di bawah kemauan hawa nafsu.
5. Ruang kehidupannya (dikarenakan tidak meyakini adanya wahyu dan keberadaan para nabi yang maksum) sarat dengan berbagai keragu-raguan, keterbatasan, kekurangan, dan kekeliruan.
6. Mengalami kebingungan yang luar biasa dalam upayanya memahami eksistensi alam ini. la sama sekali tidak mengetahui, kenapa dirinya terlahir ke alam ini? Mengapa kemudian setelah itu dirinya pergi entah ke mana? Dan apa sebenarnya tujuan kehidupan ini?
Seluruh pemikirannya hanya tertumpu pada, "Bagaimanakah cara meraih kehidupan duniawi yang lebih baik." Bukannya pada, "Apakah tujuan kehidupan ini?" Ya, demikianlah sejumlah karakter khas dari seseorang yang nihil dari Pandangan Dunia Ilahiah dan akidah Islam. Dengan membandingkan wajah orang beriman kepada Allah dengan wajah orang tidak beriman kepada Allah, Anda dapat mengetahui dengan jelas fungsi penting dari sebuah keimanan.
Penjelasan Kaum Materialis Tentang Mazhab
Setelah kita mengetahui sebab-sebab serta akar keimanan kepada Allah, terdapat dua hal yang terkait dengannya:
1. Akal
2. Fitrah
Akal manusia akan mengatakan bahwa setiap sesuatu yang eksis harus ada yang meneiptakan (mengeksiskan). Di mana dan kapan saja kita menyaksikan adanya keteraturan dan kerapihan, kita pasti akan mengetahui bahwa untuk itu terdapat sesuatu yang mengatur serta merapihkan.
Demikian juga, fitrah mengatakan bahwa setiap jiwa manusia memiliki hubungan dengan sebuah kekuatan adi-kodrati. Namun, terdapat. pula sekelompok orang yang tidak menghiraukan kedua faktor tersebut. Dan berkenaan dengan keberadaan mazhab, mereka memberikan berbagai penjelasan yang menggelikan.
Sejumlah argumentasi yang mereka lontarkan telah saya kemukakan di celah-celah pembahasan ini, meskipun masih bersifat global. Sementara untuk lebih mengetahuinya secara lebih mendetail, saya persilahkan Anda merujuk buku Ushûl al-Falsafah jilid V atau juga sejumlah buku lainya yang membahas topik "Mengenal Allah" (ma’rifatullâh).
Kekeliruan Pandangan Kelompok Marxisme
Dengan berlalunya waktu, berbagai pandangan Marxisme semakin jelas menampakkan kekeliruannya sehingga mencoreng muka mereka sendiri. Umpama, berkaitan dengan peristiwa revolusi Islam di Iran. Meletusnya revolusi yang menggegerkan tersebut telah menudirig hidung masyarakat kita yang telah melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam memandang keberadaan agama serta proses perubahan sosial.
Di antaranya, Marxisme mengatakan bahwa keberadaan agama tak lebih sebagai candu masyarakat. Agama telah menjadikan masyarakat lunglai, lesu, hina, pasrah, dan kecanduan. Akan tetapi, di negeri Iran ini kita memiliki tiga puluh limajuta saksi yang bisa mengatakan bahwa alih-alih membuat lesu, agamajustru telah menghembuskan semangat dan menginspirasikan pergerakan kepada masyarakatani merupakan salah satu bentuk pandangan mereka yang keliru dan amat memalukan.
Kekeliruan yang kedua dari pandangan Marxisme adalah ketika mereka mengatakan, "Kerusakan moral merupakan akibat dari kelemahan ekonomi." Berdasarkan itu, bisa dikatakan bahwa apabila ada seseorang yang rnencuri, umpamanya, maka tindakannya itu lebih disebabkan oleh tekanan kemiskinan!
Untuk itu, kita juga memiliki tiga puluh limajuta orang yang menyaksikan bahwa Syah Iran, si pengkhianat, adalah gembong para perampok. Kondisi kehidupan ekonomi dirinya tidaklah miskin. Demikian pula halnya dengan status ekonomi dari berbagai pencuri kelas kakap lainnya di seantero sejarah. Kekeliruan ketiga Marxisme terjadi dalam perkataannya, "Yang mencetuskan revolusi adalah gerakan orang-orang miskin dan perlawanan kaum yang kelaparan melawan para pengeruk keuntungan!"
Lagi-lagi kita semua yang ada di Iran menyaksikan bahwa revolusi Islam Iran diledakkan demi mewujudkan kebebasan serta kemerdekaan dalam melaksanakan hukum-hukum Ilahi, bukan demi roti dan air, juga bukan dikarenakan tinggi rendahnya harga barang-barang! Jika benar bahwa revolusi tersebut merupakan bentuk perlawanan orang-orang miskin (vis a vis segelintir pengeruk keuntungan—pent.), tentunya mereka yang pertama kali akan menggelar revolusi adalah para penduduk yang tinggal di daerah Kurdistan, Sistan, atau Baluchistan.
Namun, api revolusi yang disulut dari Madrasah Fadhiah dan dipimpin para ulama, dengan mengumandangkan slogan Allahu Akbar, justru terjadi pada hari-hari ‘Asyura (10 Muharam—pent.).
Dan pergerakan tersebut mencapai puncaknya tatkala tiba hari Arba’in (hari keempat puluh dari kesyahidan Imam Husain as di medan Karbala, tanggal 20 Safar—pent.). Semua itu merupakan bukti nyata bahwa yang menggerakkan revolusi tak lain dan spirit keyakinan (ideologi), bukannya perut. Revolusi tersebut menggelegar tak lain demi menghidupkan undang-undang Ilahi dan menpampakkan undang-undang penguasa zalim.
Revolusi tersebut bukanlah buah dari pergerakan orang-orang miskin. Tentu saja kita tidak mengingkari peran dari tekanan kondisi ekonomi serta keberadaan kaum miskin. Namun, faktor manakah yang menjadi lokomotif serta penggerak utama revolusi tersebut? Perut ataukah mazhab? Betapa banyak mereka yang hidup serba berkecukupan namun kemudian menyerahkan apa yang mereka miliki demi kemenangan revolusi.
Kekeliruan keempat—dan ini merupakan pembahasan kita pada bab "Pandangan dunia Materialisme"—dari pandangan Marxisme malah lebih menggelikan lagi. Kali ini komentar mereka berkaitan dongan keberadaan mazhah dan agama. Mereka menyatakan, "Kaum kapitalis dengan perantaraan suatu sarana pemberi harapan yang mereka sebut dengan mazhab, berusaha menenangkan dan membungkam suara orang-orang miskin! Mereka mengatakan kepada kaum miskin, "Bersabarlah, Tuhan menyukai orang-orang yang sabar. Jika hak kalian dilanggar, tabahkanlah hati kalian." Atau dikatakan, "Dunia tidak memiliki nilai, yang utama adalah akhirat." Atau, "Janganlah kalian melakukan revolusi, tunggulah kedatangan Imam Zaman (Mahdi) as. Dia sendirilah yang akan membuat perbaikan. "Juga dikatakan, "Lakukanlah taqiah. Apapun yang kalian saksikan,janganlah bersuara."
Seruan-seruan semacam itulah yang didengungkan kaum kapitalis melalui perantaraan sarana pemberi harapan yang diriamakan dengan mazhab. Pada akhirnya, seruan-seruan tersebut dibenarkan kelas pekerja, yang karenanya mereka (kaum kapitalis) berhasil mencegah dan menghalangi kelas pekerja untuk melakukan perlawanan serta penggugatan terhadap hak-haknya."
Perhatikanlah dengan cermat, betapa pernyataan semacam itu amat sulit diterima akal sehat. Pandangan tersebut sungguh amat memalukan.
Alhamdullah, kita hidup dalam sebuah masa, di mana para pemudanya telah memiliki kemajuan berpikir yang sangat mencengangkan sehingga sanggup menjawab berbagai pandangan Marxisme yang irasional dan primitif semacam itu. Dalam sekejap saja, para pemuda Muslim akan mengajukan berbagai bantahan kepada para pendukung Marxisme, di antaranya:
1. Jika yang menjadi pencipta mazhab adalah kaum kapitalis, dan itupun ditujukan untuk menenangkan kaum miskin, lantas mengapa dalam mazhab itu sendiri termaktub undang-undang yang justru menggerogoti modal kaum kapitalis, dan bahkan menyita harta mereka?
Berbagai keuntungan yang diperoleh kaum kapitalis melalui proses kezaliman, suap, pelambungan harga, pengurangan penjualan, riba, penumpukkan harta, penipuan dan sehagainya, dengan kata lain, seluruh kekayaan tersebut dihasilkan melalui cara-cara yang ilegal, akan serta merta disita oleh Islam dan mazhabnya.
Kalau memang demikian adanya, bisakah dibenarkan bahwasannya kaum kapitalislah yang menciptakan agama dan mazhab? Mungkinkah mereka menciptakan sesuatu yang justru pada akhirnya akan merampas seluruh harta yang dimilikinya?
Uraian ini baru ditinjau dai i satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, berkenaan dengan berbagai peristilahan yang maknanya bisa diselewengkan sedemikian rupa. Padahal, agama sendiri telah memaknai berbagai peristilahan tersebut secara jitu dan benar.
Umpama, istilah intizhâr (penantian), yang artinya bukan semata-mata diam dan berpangku tangan. Ketika menanti terbitnya matahari, tentunya pada malam hari kita tidak hanya berdiam diri dan tidak menyalakan pelita atau lampu. Makna dari menunggu musim panas bukan berarti pada saat musim dirigin kita tidak mempersiapkan berbagai sarana pemanas ruangan.
Benar, dalam menunggu kedatangan Imam Zaman as demi mengharap terjadiriya perbaikan, tidak berarti kemudian kita tidak melakukan aktivitas apapun, berdiam diri, bahkan tunduk di bawah tekanan kezaliman. Makna dari idiom "dunia ini tidak memiliki nilai" bukan melepaskan dunia secara total. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa eksistensi manusia yang merupakan khalifah Allah di muka bumi jauh lebih bernilai dari keberadaan dunia itu sendiri. Sehingga, jangan sampai keberadaan dunia menjadi tujuan utama seseorang. Pendek kata, dalam pandangan Islam, istilah kesabaran, penantian, dan kerelaan bukanlah dimaksudkan bahwa kaum miskin harus pasrah dan berdiam diri terhadap berbagai kebijakan para pengeruk keuntungan.
Selain menyita harta yang telah dikumpulkan kaum kapitalis dengan cara yang tidak absah, Islam juga menyeru kepada orang-orang miskin:
1. Tidak dibenarkan tunduk dan merendahkan diri di hadapan para pemilik modal. Barangsiapa yang merendahkan dirinya di hadapan seseorang karena hartanya, maka sepertiga dari agamanya telah lenyap.
2. Imam Ridha as bersabda, “Barangsiapa yng lebih bersemangat dalam memberi salam kepada orang-orang kaya, pada hari kiamat kelak Allah akan murka kepadanya”
3. Memperingatkan manusia agar jangan mengistimewakan seseorang dikarenakan hartanya.
4. Tidak dibenarkan duduk dalam sebuah hidangan yang hanya dihadiri orang-orang kaya.
5. Imam Ridha as sendiri senantiasa duduk dan bersantap bersama dengan budaknya. Nabi Sulaiman as dengan berbagai keagungannya, senantiasa hidup bersama dengan orang-orang miskin. Imam Ali bin Abi Thalib as senantiasa duduk beralaskan tanah, dan nabi-nabi as kita pada umumnya menjadi penggembala ternak. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang menganggur, dan mengutuk seseorang yang membebankan kebutuhan hidupnya kepada orang lain. Dari perintah-perintah tersebut, kita mengetahui dengan jelas bahwa keberadaan Islam bukunlah hasil rekayasa kaum kapitalis. Islam tidak mendukung kebijakan mereka, dan bukan penyebab kelesuan masyarakat serta tidak menganjurkan seseorang untuk berdiam diri. Semua ini merupakan kajian singkat terhadap pandangan Marxisme seputar munculnya agama dan mazhab. Kesimpulannya, pandangan Marxisme merupakan pandangan yang menyimpang jauh dari kebenaran dan isinya amat menggelikan.
Penjelasan Lain yang Menggelikan
Sebagian kalangan Materialis tidak memiliki kesanggupan untuk memahami prinsip bahwa Pandangan Dunia Ilahiah bersumber dari akal dan fitrah. Acapkali mereka mengklaim dirinya sebagai cendekiawan yang kemudian berlagak memberikan berbagai penjelasan mengenai keimanan terhadap Sang Pencipta yang bersemayam dalam lubuk hati orang-orang mukmin.
Mereka umpamanya mengatakan, "Asal muasal keimanan kepada Allah adalah rasa takut". Maksud yang terkandung dari ucapan tersebut analog dengan keadaan seorang anak kecil yang butuh perlindungan kepada kedua orang tuanya. Namun, tatkala ia tumhuh dewasa, perlindungan tersebut tetap dibutuhkannya. Oleh karena itu, ia yang kini telah menjadi orang dewasa akan menciptakan sosok pelindung bagi dirinya yang kemudian diriamakan dengan Allah.
Pada saat menghadapi berbagai malapetaka seperti gempa bumi, sambaran petir dan guntur, serangan binatang buas, dan sejenisnya, seseorang akan segera membayangkan (mengharapkan—pent.) adanya sesosok pelindung bagi dirinya. Sehingga, setiap kali dirinya merasa ketakutan, (sosok pelindung itu) akan menenangkan jiwanya. Dengan demikian, disimpulkan bahwa asal muasal keimanan kepada Allah adalah rasa takut!
Jawab:
1. Apabila ketakutan merupakan asal muasal keimanan kepada Allah, maka itu berarti mereka yang paling penakutlah yang paling beriman. Andaikata keimanan kepada Allah berakar pada rasa takut. niscaya yang akan pertama kali beriman adalah orang-orang yang penakut.
2. Kalau memang demikian adanya bisa dikatakan bahwa tatkala seseorang tidak merasa takut, sesungguhnya ia tidak sedang mengingat Allah. Padahal, hakikatnya tidaklah demikian. Benar memang, ketika merasa takut, kita akan segera menghadap Allah. Namun, itu bukan berarti keimanan semata-mata bersumber dari rasa takut. Acapkali kita jumpai dalarn suatu kondisi tertentu, seseorang yang tidak memiliki rasa takut tetap beriman kepada Allah. Tatkala ia melihat adanya berbagai ciptaan yang sempuma, tertata, dan serba teliti, segera saja nalarnya mengenal keberadaanAllah Yang Mahatinggi.
la memiliki kepekaan fitriah sehingga rnampu merasakan aidanya sebuah kekuatan yang agung. Setiap kali ia bertafakur dan berbincang-bincang dengan dirinya sendiri. "Aku ada, dan keberadaanku bukan karena aku yang menciptakan. Seandainya akulah yang menciptakan diriku sendiri, tentu aku akan menciptakan sosok yang lebih kuat dan lebih bagus. Minimal, aku akan membuat perubahan pada diriku. Orang lain tentunya juga sama seperti diriku. Kita semua ada bukannya tanpa perhitungan. Masing-masing anggota tubuh dan sel memiliki perhitungan dan aturan yang pasti. Kalau memang demikian adanya, bisa dipastikan bahwa aku diciptakan Allah Yang Mahakuasa."
Logika semacam itu bersumber dari seseorang yang memikirkan dan menelaah kebenaran secara sungguh-sungguh, bukan oleh seseorang yang dirinya dihantui rasa takut dan kegelisahan.
Fitrah serta akallah yang telah membimbing dirinya ke arah pengetahuan tentang keberadaan Allah Yang Mahatinggi. Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa keimanan kepada Allah bersumber dari rasa takut tak lebih dari sekadar ungkapan yang asal-asalan belaka.
Pandangan semacam itu mengingatkan kita pada pandangan seseorang (yang menganggap pendapatnya sebagai sebuah argumen) mengenai suhu udara kota Kasyan pada saat musnn panas.
Dalam hal ini, ia mengatakan, "Tahukah Anda, mengapa suhu udara Kasyan sangat tinggi pada saat musim panas? Karena pada nami "Kasyan" terdapat huruf syîn, dan udara di padang Karbala amatlah panas sewaktu Syimr (pembunuh Imam Husain as—pent.) berada di situ.
Dengan demikian, kota Kasyan memiliki udara yang panas pula! "Pandangan tentang keimanan (yang bersumber dari rasa takut—pent.) tersebut sebenamya berasal dari salah seorang ahli psikologi. Ya, para cendekiawan ternyata dapat pula melakukan berbagai kesalahan yang fatal. Ini terhitung wajar, sebab, semakin tinggi sebuah gunung, semakin bahaya pula puncaknya.
Jangan sampai kita menjadi orang yang kagum dan fanatik buta terhadap ilmu pengetahuan sehingga kita akan menelan mentah-mentah satu atau dua penjelasan rasional salah seorang cendekiawan terkemuka berkenaan dengan masalah tertentu.
Salah satunya adalah (seorang cendekia dari Inggris—pent.) [Bertrand] Russel. la mengatakan, "Pertama-tama saya meyakini keberadaan Tuhan, lalu saya mulai berpikir bahwa apabila semua keberadaan ini merupakan hasil ciptaan Tuhan, lantas siapakah yang menciptakan Tuhan? Saya tidak berhasil menemukan jawabannya, sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengakui adanya Tuhan!"
Jawaban saya terhadapnya ialah, "Hai Russel, jika sekarang kau tidak lagi mengakui adanya Tuhan, lalu apa yang kau yakini?" Ia menjawab, "Sekarang saya berkeyakinan bahwa asal muasal seluruh keberadaan di jagat alam ini adalah materi, bukan Tuhan!''
Kita akan menjawah, "Baiklah, sebagaimana ketika kau bertanya kepada dirimu sendiri dari manakah Tuhan dan kemudian kau melepaskan keyakinan itu, sekarang tanyakanlah kepada dirimu juga, dari manakah asal muasal materi?" la akan menjawab, "Materi sudah ada sejak dahulu kala." Kita juga akan menjawab, "Allah juga telah ada sejak dahulu kala. Wahai Russel, mengapa engkau tidak meyakini Allah yang keberadaannya memiliki perasaan dan telah eksis sejak dahulu kala. Malah, kau meyakini keberadaan berjuta-juta materi yang telah ada sejak dahulu kala dan semua itu tidak memiliki perasaan?!!
Sebuah Contoh yang Lain
Para pendukung Marxisme mengatakan, "Selama tidak dapat dirasakan dan dieksperimentasikan, maka sesuatu tersebut tidak dapat kami terima. Dengan demikian, kami tidak dapat mempercayai keberadaan Tuhan, malaikat, ruh, dan sejenisnya.
Sebabnya, kami hanya mengenal dan mengetahui segala sesuatu hanya melalui perantaraan panca indera dan uji coba (eksperimen)!!"
Jawaban kita yang kita berikan kepada mereka, "Kalian mampu meneliti dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam ratusan abad yang silam, manusia hidup secara bersama-sama dalam berburu binatang dan memakan, juga hidup bersama dalam kondisi ketiadaan kepemilikan serta pemerintahan. Kemudian tibalah masa perbudakan, dan beberapa lama kemudian muncul kepemimpinan kepala suku dan seterusnya."
Bentuk pertanyaan kita ialah, "Sekarang ini, kalau memang kalian mampu mengetahui adanya kehidupan bersama pada ratusan abad yang lalu, apakah semua itu dapat kalian sentuh dan diujicobakan (eksperimen)?" Mereka menjawab, "Tidak, tetapi kami mengetahui semua itu dari berbagai jejak serta tanda-tanda yang ada."
Kita akan mengatakan, "Sebagaimana kalian mengetahui sejarah kehidupan manusia purbakala melalui perantaraan jejak dan tanda-tandanya, kami juga mengetahui jejak dan tanda-tanda Allah. Kalau saja berkat jejak dan tanda-tanda Kita pada akhirnya dapat menerima adanya suatu kenyataan, tentu tak ada beda antara jejak serta tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan manusia purbakala dengan jejak dan tanda-tanda yang menunjukkan adanya Allah Yang Mahaagung. Apakah sarana serta instrumen untuk mengetahui keberadaan segala sesuatu hanyalah panca indera dan pengujicobaan semata? Apakah hanya dengan mengetahui jejak dan tanda-tanda keberadaan, kita tidak akan mengetahui berbagai permasalahan?
Apabila kita benar-benar cermat dalam berpikir, kita akan mengakui bahwasannya sebagian besar dan pengenalan kita terhadap berbagai hal merupakan hasil dari penelaahan terhadap berbagai jejak dan tanda-tanda.
Sebuah Penjelasan yang Lain
Sebagian pihak enggan mengakui keberadaan akal dan fitrah sebagai salah satu sarana untuk mengenal Allah. Mereka melontarkan berbagai alasan serta pandangan tentang asal muasal munculnya keimanan. Pada intinya, mereka berkeyakinan bahwa Keimanan bersumber dari kebodohan!
Penjelasannya sebagai berikut: Pada saat tertimpa berbagai musibah dan bencana yang tidak diketahui sebab-musababnya, seseorang segera berkhayal bahwa memang ada sesuatu yang disebut dengan Tuhan. Karenanya, di mana dan kapan saja seseorang menghadapi permasalahan yang secara ilmiah tidak dapat diketahui, segera saja akan mengatakan, "Ini merupakan perbuatan Allah."
Dari sinilah munculnya keyakinan terhadap adanya Tuhan. Jujur saja, ungkapan-ungkapan semacam ini sesungguhnya telah sedemikian lama lenyap di telan masa. Bahkan sejiak awal dirumuskan, tak seorangpun yang sudi mendengarnya. Sebab:
1. Seandainya asal muasal keimanan kepada Allah merupakan sebuah kebodohan, tentu dengan semakin bertambahnya ilmu, iman seseorang akan semakin berkurang! Dan begitu mengetahui faktor penyebab terjadiriya sebagian bencana alam, ia tidak akan lagi beriman kepada Allah. Padahal kita mengetahui bagaimana para ilmuwan semacam Galileo (Galilei), (Albert) Enstein, atau Ibnu Sina yang berhasil mengungkap sebab-sebab kejadian alam tetap memiliki keimanan kepada Allah. Benarkah ketika sebagian hukum alam berhasil disingkapkan, kita tidak lagi butuh kepada pencipta hukum tersebut.
Umpama, kita berhasil menyingkap sebuah hukum alam yang disebut dialektika (formula perjalanan sejarah yang terdiri dari unsur tesis, antitesis, dan sintesis). Lantas, apakah dengan temuan semacam itu kita tidak lagi menyakini keberadaan pembuatnya?
Jika memang demikian, ketika menemukan sejumlah uang di tengah jalan, janganlah kalian bertanya, "Uang ini jatuh dari kantong siapa?" Apakah hanya dengan menyingkap dan menemukan (berbagai hukum alam), lalu habis perkara?!
Mengapa Timbul Kelompok Anti-Allah dan Anti-Mazhab?
Jawaban:
1. Seseorang tentunya bisa memperuleh pengetahuan serta kejelasan tentang keberadaan Allah hanya dengan cara memperhatikan sebuah sel, atom, ataupun sehelai daun. Asalkan, ia memang benar-benar memiliki keinginan untuk mengenal Allah. Adapun seseorang yang tidak berkeinginan untuk mengenal Allah, sekalipun sering menyaksikan jejak dan tanda-tanda keberadaan-Nya, tidak akan pernah mengenal dan merasakan keberadaan-Nya.
*(Muhsin Qiroati seorang ulama tafsir, penulis tafsir Nur, tafsir yang diperuntukkan untuk masyarakat awam , Mencari Tuhan, Penerbit Cahaya)
Kirim komentar