Azyumardi Azra: ‘Islam Indonesia itu Berbunga-bunga, Bukan Wahabi Muram durja 1
Wacana “Islam Indonesia” belakangan kembali marak seiring merebaknya aliran-aliran Islam garis keras yang mengambil inspirasi dari berbagai konflik di Timur Tengah. Tidak jarang bahkan secara keliru kelompok-kelompok itu menjadikan konflik di Timur Tengah sebagai bahan baku pemahamannya tentang Islam sehingga Islam itu selalu dipahami dalam kerangka konflik dan sektarianisme yang pekat. Alih-alih menyumbang bagi suatu solusi, pemahaman yang bertumpu pada konflik ini justru seolah menjadikan konflik itu sendiri sebagai faktor determinan agama, sebagai sesuatu yang permanen, dan unsur yang mendefinisikan Islam.
Bahaya dari perilaku ini tak hanya merusak pemahaman Islam sebagai agama rahmat bagi sekalian alam semesta tetapi lebih dari itu adalah menyuburkan ideologi kekerasan dengan pembenaran tekstual yang diada-adakan. Inilah mengapa seringkali konflik yang bernuansa agama itu berlangsung lama dan berlarut-larut. Bukannya diselesaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang anomali, oleh kalangan ini konflik itu justru dipakai sebagai sumber makna dan unsur penentu pemahaman dan penafsiran agamanya. Sedemikian sehingga umat ini menjadi lebih berpegang pada mazhab-mazhab yang jadi sumber konflik ketimbang Islam yang membebaskan. Maka tak salah bila Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa mazhab telah menjadi mezbah bagi sesama Muslim.
Namun demikian, istilah “Islam Indonesia” ini juga sering disalahpahami dan ditentang oleh sekelompok kalangan, terutama yang merasa “Islam” itu konsep abstrak yang tidak terkait dengan ruang dan waktu tertentu. Meski paham ini ada benarnya dan memang demikian adanya, tapi dalam kenyataannya, selain wahyu yang turun kepada Nabi, barangkali tidak ada “Islam” murni itu. Yang ada dan nyata bergerak dalam sejarah manusia adalah “Islam” hasil tafsir individu yang terikat dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu tertentu.
Untuk menjelaskan lebih jauh soal ini, Islam Indonesia kembali menurunkan hasil wawancara BBC Indonesia dengan cendekiawan Muslim Indonesia terkemuka, Prof. Azyumardi Azra, 21 Mei Silam.
Apa yang Anda khawatirkan dengan menggejalanya radikalisasi di kalangan anak muda belakangan ini?
Memang ada gejala radikalisasi terutama karena proses globalisasi. Ada proses penyebaran paham dan gerakan transnasional yang radikal dalam berbagai bentuknya. Mulai yang soft (lunak) sampai yang lebih keras.
Tetapi spektrumnya cukup luas. Ada yang cuma radikal dalam pengertian wacana yang biasa disebut Salafi-Wahabi. Mulai dari Salafi Wahabi lebih lunak, hanya pada tingkat ajaran atau wacana, tapi tidak dalam gerakan. Tapi juga ada yang sangat keras, ekstrem radikal dan tidak segan melakukan kekerasan atau terorisme.
Cuma saya melihat, dalam watak Islam Indonesia, sesungguhnya bahaya kelompok garis keras tidak sebesar dibayangkan oleh banyak kalangan.
Ada kalangan yang melihat seolah-olah dengan penyebaran radikalisme itu, kemudian seolah-olah Islam Indonesia itu akan kiamat; menjadi radikal semua dan Indonesia kemudian berubah menjadi negara Islam atau negara Syariah, bahkan menjadi negara gagal, karena adanya kelompok-kelompok radikal yang mengacau, melakukan tindakan teror.
Memang kita harus waspadai ada penyebaran paham radikalisme, tetapi saya kira Islam Indonesia beda dengan Islam di Pakistan, Arab Saudi, atau Mesir.
Biasa kita sebut Islam Nusantara, atau Islam Indonesia, yang dalam refleksi atau ekspresi budayanya itu memang lebih akomodatif. Saya sering menyebut Islam yang berbunga-bunga (flowery Islam), karena Islam itu berpadu embeddeddengan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang tidak ada di negeri lain.
Sehingga kemudian saya menyebut Islam Indonesia yang inklusif, moderat, wasatiyah, yang berada di tengah-tengah, terlalu besar untuk bisa dikalahkan.
Bagaimana mungkin ada kelompok radikal bisa mengubah NU, Muhammadiyah, itu tidak mungkin. Itu bisa dibilang kemustahilan, karena ormas Islam wasatiyah ini memiliki aset yang begitu besar, punya lembaga yang begitu besar di seluruh nusantara.
Mereka begitu kaya dengan sekolah Islam, misalnya. Kalau Muhammadiyah dari TK sampai perguruan tinggi, dan jumlah 30 ribu lebih. Kemudian di lingkungan para kiai NU kemungkinan memiliki pesantren 25 ribu lebih.
Belum lagi ormas-ormas seperti Al Washliyah di Sumatra Utara yang juga memiliki banyak sekolah dan perguruan tinggi, Mathla’ul Anwar di Banten, kemudian PUI dan Persis di Jabar dan Persis, juga memiliki madrasah. Juga Nahdlatul Wathan di NTB yang semua mengajarkan paham wasatiyah.
Memang ada infiltrasi ke NU atau Muhammadiyah. Infiltrasi orang-orang yang menolak praktik-praktik yang banyak dilakukan oleh banyak kaum muslimim seperti Maulud Nabi, tahlilan, walimah-walimah, ziarah kubur.
Memang ada kalangan satu atau anggota NU atau Muhammadiyah yang terpengaruh, tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk mengubah Islam wasatiyah Indonesia.
Dan lagi pula, Islam wasatiyah Indonesia menghadapi tantangan radikalisasi itu bukan sesuatu hal yang baru. Dan sepanjang sejarahnya mereka tidak tergoyahkan.
Tadi Anda mengatakan, kita harus mewaspadai penyebaran paham radikal. Sejauh pengetahuan Anda, seperti apa penyebaran itu?
Ada infiltrasi ke NU, Muhammadiyah, mencoba memasuki atau menginfiltrasi masjid-masjid mereka, lembaga pendidikan mereka.
Begitu juga banyak penelitian yang mengindikasikan adanya inflitrasi ke sekolah-sekolah, merekrut anak muda, atau mengubah cara pandang anak muda menjadi lebih radikal atau hitam putih.
Saya mengalami sendiri. Putri saya sekolah di sebuah sekolah yang bagus, elit, cukup mahal di Jakarta selatan. Ada satu atau dua gurunya yang kalau mengajar suka menyisipkan pesan-pesan ajaran salafi, yang berpikir hitam putih, atau mengajarkan paham-paham yang kelihatan pro-radikalisme untuk mengubah keadaan.
Cuma, saya tidak tahu berapa banyak murid yang bisa terpengaruh. Ini tingkat SMA. Putri saya sendiri menceritakan kepada saya mengenai pola gurunya yang sektarian, yang menganggap bahwa pemahaman miliknya paling benar. Putri saya bercerita dan menunjukkan sejumlah pesan pendek (sms). Nah, saya laporkan kepada ketua yayasan, seorang profesor yang juga profesor universitas negeri di Jakarta
Saya bilang ini harus ditertibkan. Kalau dibiarkan maka tidak mungkin satu atau dua muridnya terpengaruh.
Jadi ini aktual dan riil usaha-usaha oleh beberapa guru untuk mengubah cara pandang pemikiran keislaman murid di tingkat SMA dari yang bersifat wasatiyah – karena lahir dan besar di lingkungan Islam moderat dan inklusif – untuk diubah menjadi salafi dan kemudian sangat sektarian.
Cuma saya kira, ada satu dua murid mungkin terpengaruh, tetapi umumnya tidak. Jadi, ini harus kita waspadai walaupun kecil, termasuk melalui entry point yang lain.
Karena itu saya berulang kali mengusulkan kepada Menteri Agama atau Mendikbud supaya para guru ditatar dan diberikan sarasehan mengenai keislaman keindonesiaan, kepaduan atau integrasi antara keislaman dan keindonesiaan.
Karena, mereka tidak memiliki perspektif yang jelas mengenai keindonesiaan dan keislaman, yang sesungguhnya terintegrasi. Jadi tidak perlu dipertentangkan sebagai dua entitas yang bertentangan.
Nah, satu atau dua guru mempertentangkan dua entitas itu; bahwa kita ini jangan dikotak-kotakkan oleh bangsa, oleh negara, kita ini umat Islam sedunia yang bersatu dibawah Ukhuwah Islamiyah sehingga perlu mendirkan khilafah. Ya argumen seperti itulah.
Karena itulah, ini saya kira program mendesak untuk diselenggarakan oleh Dikbud dan kementerian agama untuk melakukan simposium, sarasehan, melakukan percakapan keislaman keindonesiaan, dalam rangka memperkokoh integrasi keindonesiaan keislaman.
Apa yang dialami putri Anda tentu kemungkinan juga dialami sebagian murid-murid di sekolah lain yang sebagian gurunya melakukan hal serupa?
Saya kira ya, dan itu muncul dari waktu ke waktu. Misalnya ketika pemilu presiden 2014 lalu, ketika Prabowo bertarung dengan Jokowi, digunakan isu sektarian agama untuk melawan Jokowi demi mempromosikan Prabowo. Ini ‘kan tidak benar.
Dan ini dilakukan di sekolah. Saya kira yang saya alami bukan hanya saya, karena itu terbuka di dalam kelas. Jadi murid-murid mendengar semua tetapi tidak berani bersuara karena takut atau sungkan.
Dari gambaran seperti ini, apa yang menjadi kesulitan pemerintah sehingga mereka terkesan mendiamkan, acuh. Di mana letak masalahnya sehingga pemerintah tidak bisa melakukan tindakan kongkrit padahal praktik seperti itu merupakan ancaman?
Saya kira menteri agama, mendikdub sudah tahu gejala seperti itu, karena ini bukan suatu yang baru ada infiltrasi itu, mereka juga tahu. Cuma saya kira tidak ada kesungguhan dalam melakukan program untuk memperkuat keislaman keindonesiaan. Tidak ada program itu.
Kalau kita bilang, mereka bilang ya, tetapi tidak mereka lakukan. Mereka bilang bagus, tetapi tidak dilakukan. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Kalau soal dana tidak ada masalah, tinggal mengeluarkan instruksi dan penyediaan dana, dan bahkan saya kira juga sekolah atau madrasah bisa diperintahkan untuk membuat anggaran untuk membuat kegiatan. Tidak harus anggarannya dari pusat. Cuma tidak serius saja.
Apakah tidak adanya perangkat hukum juga yang melatari pemerintah sehingga terkesan tidak bisa menghentikan semua itu?
Kalau untuk menghentikan itu dengan menggunakan perangkat hukum jelas nggak bisa, karena perangkat hukum kita belum menjangkau, misalnya orang yang berwacana mengenai paham radikal atau aksi radikal. Nggak tahu dalam perubahan UU anti terorisme, apakah orang yang berwacana juga bisa ditangkap.
Kalau di negara lain, baik berwacana atau menyimpan literatur tentang hal-hal berbau radikal atau terorisme, bisa ditangkap. Tapi di Indonesia belum. Tapi bukan tidak mungkin bisa dilakukan. Tindakan persuasif atau edukatif bisa dilakukan.
Di sini, saya kira harus mulai dari tingkat sekolah. Jadi kepala sekolah harus melihat itu dan mendengar laporan dari orang tua murid. Dan juga kalau dia swasta, pengurus yayasannya harus mewaspadai ini. Dan ketika ada laporan melakukan tindakan seperlunya.
Misalnya, dalam bentuk peringatan kepada guru yang bersangkutan. Sekali dua kali, tapi tetap juga, kalau perlu dikeluarkan sebagai guru, karena dia akan menjadi virus-virus yang merusak.
Meskipun kerangka hukum kita belum bisa menjangkau, tapi bukan tidak ada hal yang bisa dilakukan. Kalau guru PNS, lebih muda lagi. Lagi-lagi kepala sekolah yang menertibkannya.
Kirim komentar