Perlukah Saudi Buka Kedubes di Israel?
Menarik membaca ulasan artikel dari Jerusalem Post, yang mempublikasi kutipan wawancara Anwar Eshki, seorang mantan petinggi militer Saudi. Kepada Al Jazeera ia mengungkapkan bahwa pihaknya menentang gagasan untuk mempersenjatai rakyat Palestina sebagaimana yang dilakukan Iran, karena hal itu tidak produktif.
Sosoknya, yang merupakan mantan orang yang sangat berpengaruh di militer Saudi menyebut bahwa Saudi akan membuka kedutaan di Israel bila Arab Peace Initiative (Inisiatif Perdamaian Arab) 2002, diterima oleh Israel. Anwar Eshki ditanya, perlu berapa lama bagi Saudi untuk membuka kedutaan di Israel.
“Anda bisa bertanya kepada Mr. Netanyahu. Bila dia mengumumkan bahwa dia menerima inisatif dan memberikan hak-hak untuk Palestina, maka Saudi akan membuka kedutaan di Tel Aviv,” jawab dia, seperti dilansir Jerusalem Post (27/4/2016).
Namun ketika dikonfirmasi, kantor Perdana Menteri Israel belum memberikan responnya.
Inisiatif Perdamaian Arab menyerukan untuk “two state solution” atau solusi dua negara yang mengacu pada wilayah yang dikuasai Israel sebelum 1967. Bagian timur Yerusalem adalah milik Palestina dan harus dikembalikan. Setelah itu, hubungan yang normal,komprehensif, dan berdamai dengan Israel harus diupayakan. Selain itu, Inisiatif Perdamaian Arab juga meminta solusi untuk pengungsi Palestina disesuaikan dengan solusi yang dikeluarkan oleh PBB.
Inisiatif Perdamaian Arab memandang bahwa para penduduk Palestina yang berada di negara-negara lainnya memiliki hak untuk kembali dan tinggal di Palestina, di tempat yang dimiliki oleh leluhur-leluhur mereka sebelum mereka harus melarikan diri pasca Perang Kemerdekaan.
Namun Netanyahu sendiri pada tahun 2014 menegaskan bahwa inisiatif tersebut sangat berbeda dengan kondisi Timur Tengah saat ini, dan tidak lagi relevan untuk dijalankan.
“Yang dipertanyakan bukanlah Inisiatif Perdamaian Arab. Tetapi jika Anda membaca hal itu dengan cermat, Anda akan tahu bahwa inisiatif tersebut dibuat di periode lainnya, sebelum tumbuh dan berkembangnya Hamas, sebelum Hamas menguasai Gaza, sebelum ISIS bercokol di Suriah dan Irak, dan sebelum adanya kesepakatan nuklir Iran.”
Katakanlah pesetujuan dari Inisiatif Perdamaian Arab adalah syarat bagi Saudi untuk membuka kedutaan di Israel, namun pertanyaannya, apakah hal itu perlu atau penting baik bagi Saudi, atau bagi Israel?
Seperti yang bisa diduga, Israel tidak pernah menanggapi serius—atau tidak akan pernah menerima dari inisiatif ini. Lagipula, tanpa menerima solusi dari Inisiatif Perdamaian Arab sendiri, Israel sudah membangun kerjasama dengan berbagai negara-negara Arab. Bahkan untuk menyerang Yaman, Saudi tak segan-segan meminta bantuan dari Israel. Bukankah kedutaan Israel ada di berbagai negara-negara Arab seperti Yordania dan Mesir? Bukankah Israel telah menjalin kerjasama energi dengan Mesir, juga kerjasama dalam pengelolaan perairan dengan Yordania?
Saudi menolak membantu Palestina ketika mereka dibombardir, sementara di Yaman, mereka melakukan serangan militer sejak Maret 2015 yang telah merengut setidaknya 10.000 korban jiwa. Bagaimana komentar Eshki?
“Saya beritahu Iran tentang hal itu. Kalian membantu Palestina dengan senjata, tapi kami membantu Palestina dengan uang. Saat kami mendukung Palestina dengan uang, kami menghendaki mereka bisa hidup dengan baik. Sedangkan Anda memberi mereka senjata untuk mengancurkan diri mereka sendiri.”
Well, katakanlah Saudi memang memberikan uang untuk rakyat Palestina. Lalu uang tersebut diberikan untuk membeli sepotong roti dan sehelai pakaian agar bisa hidup dengan baik. Lantas, apakah Saudi – atau Eshki, mengira sepotong roti bisa dijadikan tameng ketika diberondong peluru Israel? Apakah sepotong roti bisa dijadikan senjata ketika mereka dijatuhi bom kimia? Apakah rakyat Palestina bisa melawan Israel dengan sepotong roti—atau katakanlah dengan selembar uang? Indonesia merdeka karena pahlawan-pahlawan kita melawan penjajah dengan senjata. Senjata harus dilawan dengan senjata, bukan dilawan dengan sepotong roti.
Eshki, 73, saat ini adalah Kepala Middle East Center for Strategic and Legal Studies yang berbasis di Jeddah. Ia juga merupakan mantan konsultan dari mantan Duta Besar Saudi untuk AS, Pangeran Bandar bin Sultan.
Hubungan Tak Langsung Arab-Israel.
Tidak ada makan siang gratis, kata orang bijak. Dan quote ini sepertinya sangat relevan dengan kondisi yang dihadapi Mesir saat ini. Bertahun-tahun, Saudi mengulurkan tangan memberikan bantuan dalam jumlah yang snagat fantastis untuk pemerintahan Mesir pasca jatuhnya Mohammad Mursi. Namun sekali lagi, bantuan militer itu tidak gratis. Dua pulau Mesir yaitu Tiran dan Sanafir, awal bulan ini telah berpindah tangan, menjadi milik Saudi.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel Al Jubeir, menegaskan secara terbuka “hubungan tak langsung” antara Saudi dengan Israel pasca berpindahnya kepemilikan Tiran dan Sanafir. Mesir – yang terikat perjanjian damai dengan Israel dalam Perjanjian Camp David, tidak akan menganggu pelayaran kapal laut Israel di wilayah Mesir. Adel menyebut bahwa Saudi berkomitmen terhadap perjanjian internasional—apapun itu, yang melibatkan dua pulau tersebut. Artinya, Perjanjian Camp David tetap mengikat meskipun pulau tersebut telah berpindah tangan.
Begitulah hubungan Israel-Saudi terbentuk, yang kali ini, setapak lebih maju, lebih terang-terangan.
Kirim komentar