Zionisme, Genosida dan Tradisi Kolonial di Suriah Kontemporer bagian 5
Selama 1980-an, Muslim Brotherhood atau Ikhwanul Muslimin di Gaza dan Tepi Barat selama beberapa tahun selalu mengirimkan pemuda Palesttina ke Afghanistan untuk bertempur melawan Tentara Sovyet. Hal ini menjadi dasar argumen bahwa ‘true jihad’ atau jihad yang sebenarnya ternyata bukanlah dalam melawan pendudukan Israel di Jalur Gaza, tetapi jihad jauh di sana di Asia Tengah. Agensi dari beberapa negara yang terlibat dalam mendukung jihad tersebut adalah CIA, dan intelejen dari Saudi dan Pakistan. Tak perlu rasanya dikatakan bahwa pendudukan militer dan intelejen Israel di Palestina, alih-alih membuat perlawanan Palestina menguat, malah mendorong keberangkatan para pemuda yang telah dicuci dengan pemahaman radikal untuk meninggalkan Palestina, dan memperlemah nasionalisme yang dipelopori PLO.
Nasrallah menyebut, “Setelah Afghanistan, maka mereka akan menciptakan prioritas yang baru lagi.” Saudi memproduksi perang dan menciptakan musuh baru yang disebut Iran. Mereka menanamkan gagasan bahwa Iran adalah musuh bagi banyak golongan Islam, bahwa prioritas saat ini adalah menghadapi Syiah, menghadapi pemikiran dan ekspansi Syiah, dan bahwa Syiah ini adalah bahayang lebih besar bagi dunia Muslim dibandingkan Israel dan Zionis. Namun Saudi tidak menunjukkan permusuhannya dengan Shah Iran, seorang Syiah yang dekat dengan Israel. Banyak pendukung ideologi yang diadopsi Saudi percaya bahwa memerangi orang murtad dan melawan Stiag lebih penting dibandingkan menentang kolonialisme. Tentu saja ini adalah hal yang menyenangkan bagi kolonialis dan Barat yang merupakan sponsor mereka.
Nasrallah melanjutkan,
“Ketika ada konflik di Mesir saat ini, ada polarisasi yang mendalam. Apakah konflik ini bersifat sekterian? Bukan, malainkan politik. Di Libya ada konflik besar dan polarisasi mendalam. Apakah itu sekterian? Di Tunisia ada konflik besar dan polarisasi mendalam juga. Apakah ini sekterian? Di Tunisia ada konfli politik, begitu juga dengan Yaman. Ketika kita melihat negara-negara yang ditandai dengan pluralisme agama dan keberagaman seperti Suriah, Lebanon, Irak dan Bahrain, konfliknya disebut sebagai konflik sekterian, padahal pada kenyataannya murni konflik politik. Mengapa Anda mengubahnya seolah-olah konflik tersebut bersifat sekterian? Mereka melakukan ini dengan sengaja, bukan karena kebodohannya. Hari ini, sekterianisme adalah salah satu senjata yang paling merusak di wilayah tersebut.”
sumber liputan islam
Kirim komentar