Zionisme, Genosida dan Tradisi Kolonial di Suriah Kontemporer bagian 2

Zionisme, Genosida dan Tradisi Kolonial di Suriah Kontemporer bagian 2

Poros Perlawanan

“Tidak ada keraguan lagi bahwa Hizbullah dan Iran adalah ancaman bagi Israel, melebih ancaman dari ekstremis Sunni radikal…” – Amos Yadlin.

Filsuf Thomas Kapitan berargumen bahwa konflik Palestina-Israel bisa digambarkan dengan term konflik antara Barat dan Arab, mengingat Israel dibentuk dan dikukuhkan berkat adanya intervensi Barat di Timur Tengah. Di saat yang sama, konflik Palestina-Israel juga bisa digambarkan sebagai konflik anatara Barat dan Islam, mengingat Barat ‘mengimplan sebuah organ’ yaitu negara Yahudi di jantung negara-negara Islam.

Saya berargumen bahwa Iran memahami konflik tersebut sebagai konflik antara Barat-Islam, sedangkan Suriah memahami konflik tersebut sebagai konflik Barat-Arab, sedangkan Hizbullah mehami konflik tersebut baik sebagai konflik Barat-Islam dan juga Barat-Arab. Perspektif oleh tiga aktor ini, kemudian disebut sebagai “Axis of Resistance” atau poros perlawanan, yang anti imperialis, anti-kolonialis, anti-Zionis, meskipun ketiganya berangkat dari pandangan yang berbeda. Aliansi ini merupakan aliansi yang murni karena politik, bukan karena agama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Anne Bernard (New York Times):
“Presiden Bashar Al Assad dan pemimpin keamanan lainnya berasal dari sekte Alawite (yang masih terkait dengan Syiah), namun mereka melakukan aliansi sekuler dengan Hizbullah dan Iran untuk kepentingan strategis dan politik, bukan karena alasan agama.”

Persamaan kepentingan politik yang membentuk aliansi perlawanan terhadap Zionisme, bisa dibilang karena adanya permusuhan terhadap gagasan mengimplan negara Zionis dari teritorial yang dirampok, pembersihan etnis dan pribumi asli Palestina (yang sebagaian besar adalah Muslim). Dukungan untuk Palestina adalah poin utama bagi Poros Perlawanan.

Dalam konstitusinya, Suriah mendeklariaskan permusuhan terhadap negara Yahudi yang telah merampok teritorial Palestina, dan ini menjadi referensi intervensi kolonial yang dilakukan oleh Barat di dunia Arab. Konstitusi menyebut bahwa Suriah adalah detak jantung Arabisme, merupakan front terdepan dalam konfrontasi melawan musuh yaitu Zionis dan merupakan basis bagi perlawanan dalam menghadapi hegemoni kolonial di dunia Arab.

Penentangan Iran terhadap Zionisme tegas, namun disalah-artikan di Barat sebagai ancaman militer yang berakar pada xenophobia anti-Yahudi. Namun Glen Kessler di Washingtonpost menjelaskan, yang mengutip dari Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei:

“…dengan konsisten telah menyatakan berulang kali bahwa tujuan akhir bukanlah kehancuran dari militer Israel, melainkan menghancurkan ideologi Zionis dan membubarkan Israel melalu referendum.”

Menurut Khamenei,

“Proposal dari Republik Islam untuk membantu krisis Palestina dan menyembuhkan luka lama sangatlah jelas dan logis, yang berdasar dari konsep politik yang telah diterima oleh masyarakat dunia. Kami tidak menyarankan untuk meluncurkan perang klasik dengan mempersenjatai negara-negara Muslim, atau membuang imigran Yahudi ke lautan, kami ingin diadakan referendum di Palestina. Bangsa Palestina, sebagaimna bangsa-bangsa lainnya, memiliki hak untuk menentukan identitas mereka sendiri, juga berhak memilih sistem pemerintahan yang diterapkan di negaranya.”

Hizbullah, yang terbentuk sebagai reaksi atas invansi Israel di Lebanon Selatan pada tahun 1982, juga untuk melindungi teritorial Lebanon yang masih belum dikembalikan oleh Israel (Shebaa Farms), dan untuk melindungi Lebanon dari agresi Israel di masa depan , juga berkomitmen mendukung rakyat Palestina agar menentukan nasib mereka sendiri. Tujuan akhirnya, sebagaimana yang disampaikan oleh pemimpin Hizbullah yaitu Sayyid Hasan Nasrallah adalah “is to topple the Zionist project” atau menghancurkan proyek-proyek Zionis. Artinya, pemerintahan Zionis yang berdiri di atas tanah rampokan, yang juga telah menolak cita-cita rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri — harus dihancurkan. Dalam pandangan Hizbullah, tanah Palestina harus dikembalikan kepada rakyat Palestina, yang merupakan pemilik tanah yang sah, yang membentang dari laut Mediterania hingga ke sungai Yordania.

Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), salah satu organisasi perlawanan Palestina, memainkan peran yang kecil tetapi penting di dalam Poros Perlawanan. PFLP memandang bahwa konflik Arab-Zionis tidak akan bisa berakhir dengan “two state solution” atau solusi dua negara, melainkan hanya dengan menegakkan demokrasi sekuler di tanah bersejarah Palestina, yang memberikan kesetaraan bagi seluruh rakyat. Tujuan akhir dari PFLP adalah berdirinya sebuah negara demokrasi di Palestina. Ahmed Saadat, pemimpin kelompok yang telah dipenjara, berkata bahwa konflik Timur Tengah hanya bisa diselesaikan dengan membentuk sebuah negara yang mengayomi baik rakyat Palestina maupun Yahudi. Dan FPLP, organisasi sekuler yang berideologi Marxsis ini dibiayai oleh Iran, sebagai bantahan atas tuduhan fiktif yang menyebut bahwa Poros Perlawanan lebih berdasarkan atas agama, bukan berdasarkan atas politik, anti-Zionis, anti-kolonialis.

Agenda untuk menghancurkan aparat Zionis di Palestina serupa dengan perjuangan dalam melawan Aparthein di Afrika Selatan. Proyek anti Zionis bukan lagi proyek anti-Yahudi yang bertujuan menghancurkan Yahudi – sementara anti-Apartheid adalah anti-kulit putih dan bertujuan menghancurkan komunitas orang-orang Eropa yang menghuni Afrika Selatan. Namun, keduanya sama-sama memerangi kolonialisme dan sebagai pertahanan diri bagi masyarakat pribumi.

sumber liputan islam

Kirim komentar