Piagam Hak Asasi Beragama Dunia
Hari-hari ini kita menyaksikan realita pahit di berbagai penjuru dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah. Dari satu sisi, sekelompok orang dengan mengatasnamakan agama Islam yang cinta keadilan telah melakukan kejahatan anti kemanusiaan yang paling keji. Dan di sisi lain, di Eropa dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi dan berpendapat, marak aksi pelecehan terhadap sakralitas Islam dan sosok paling suci di agama ini, Nabi Muhammad Saw.
Sementara itu, sekelompok orang yang mengaku berafiliasi dengan gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam menyerang kantor majalah yang menghina kesucian Islam di Paris. Peristiwa ini tentu saja menjadi makanan empuk bagi pemerintah Barat. Mereka langsung menuding aksi tersebut sebagai serangan teroris terhadap sendi-sendi kebebasan di Barat. Aksi ini juga menjadi justifikasi bagi ulah mereka mengintervensi Timur Tengah dengan mengatasnamakan perang anti terorisme.
Tak diragukan lagi kemunculan mendadak kelompok bengis dan radikal seperti ISIS, al-Qaeda, Front al-Nusra dan Boko Haram, yang tidak ada hubungan dan kesamaan sama sekali dengan Islam, bukan fenomena yang kebetulan. Di balik fenomena buruk dan rumit ini, terdapat kekuatan besar politik, intelijen, keamanan, propaganda, finansial. Yang lebih penting lagi adalah di balik fenomena ini, ada ide dan pemikiran Barat dan sekutu kawasannya yang mengendalikan kawanan brutal ini.
Perangkat intelektual dan juru pikir yang menguasai sistem politik Barat sejak lama memulai perang total terhadap Islam dan perang ini demi membentuk opini dan ideologi, khususnya opini warga barat terhadap pemikiran Islam. Mana ada kelompok yang lebih baik ketimbang milisi radikal seperti ISIS dan gerakan yang sepaham dengannya yang memiliki kemampuan menginterpretasi keliru ajaran Islam serta bertindak sadis, untuk merusak agama cinta perdamaian dan kebebasan ini di mata publik Barat, khususnya kaum pemudanya?
Pemerintah Barat berusaha dengan cara halus, namun transparan untuk menyamakan Islam dengan terorisme. Di balik perang anti terorisme, Barat menciptakan gelombang perang anti Islam baik itu secara tersembunyi maupun transparan. Metode ini yang tercatat sebagai salah satu strategi perang syaraf dilancarkan dengan memanfaatkan secara sistematis penyamaan dua konsep dan mengerahkan mesin-mesin propaganda mereka. Dengan penyamaan dua konsep, terorisme dan Islam, mereka berusaha menciptakan ketakutan dan kebencian terhadap salah satu konsep ini. Apalagi konsep terorisme, telah dinyatakan sebagai fenemena yang harus diperangi secara aklamasi oleh pemikiran dan rasio. Maka ujung-ujungnya opini publik dengan sendirinya akan merasa ketakutan, khawatir dan jijik jika mendengar nama Islam, sebagai konsep kedua yang mereka propagandakan.
Ketika masyarakat Barat semakin ketakukan, dan di saat mereka menyaksikan gambar di televisi atau koran, seorang lelaki dengan pisau di tangan siap memenggal kepala warga Barat serta di belakang mereka ada bendera hitam dengan tulisan La Illa Ha Illa Allah Muhammad Rasulullah, atau ketika mereka menyaksikan gambar beberapa orang bersenjata dengan topeng hitam di pinggir kuburan massal yang penuh dengan jenazah, maka adakah sesuatu yang lebih baik dari publikasi gambar seperti ini untuk merusak citra Islam di mata opini publik warga Barat?
Sementara itu, warga Barat tidak banyak meluangkan waktu atau tidak memiliki motif untuk mencari citra sejati agama Islam dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Hasilnya adalah warga Jerman, Australia, Perancis, Belgia dan negara-negara Barat lainnya meyakini bahwa seluruh peristiwa seperti ini ada kaitannya dengan Islam. Sirkulasi majalah satir Charlie Hebdo di Paris, Perancis yang memuat gambar melecehkan Nabi Muhammad mengalami kenaikan drastis dari 60 ribu eksemplar menjadi lebih dari tiga juta eksemplar. Sementara itu, jumlah anggota kelompok anti Islam di jalan-jalan kota Jerman yang menamakan dirinya PAGIDA setiap hari semakin besar dan gerakan Islamphobia di seluruh negara-negara Eropa juga membengkak.
Pemerintah Barat menyayangkan mampu menjustifikasi strategi mereka di negara-negara Timur Tengah dan memperketat keamanan serta pengawasan terhadap warga Muslim Eropa dengan memajukan proyek Islamphobia. Namun dunia dengan kemajuan informasi dan revolusinya menjadi semakin kecil, di mana bukan saja kebijakan luar negeri pemerintah, namun kebijakan dalam negeri mereka pun dengan cepat menuai reaksi dan tanggapan luas dari seluruh dunia. Oleh karena itu, kebijakan standar ganda pemerintah Barat dalam membagi terorisme menjadi terorisme baik dan buruk menjadi ancaman serius bagi masyarakat Barat sendiri.
Dukungan terhadap kelompok teroris di Suriah dan Irak yang sehaluan dengan kebijakan pemerintah Barat dari satu sisi, dan penisbatan aksi sadis kelompok teroris ini terhadap Islam dari sisi lain, pada akhirnya akan mengancam keamanan masyarakat Barat sendiri. Terorisme tidak mengenal batas teritorial dan kelompok ini akan melakukan apa pun demi kepentingan mereka, bahkan terhadap pemerintah Barat yang selama ini menjadi pendukung besar mereka sekali pun. Umat manusia saat ini tengah berada di fase paling sensitif.
Kemajuan sains telah menciptakan perubahan besar dalam kehidupan manusia. Perubahan ini telah memberikan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia dewasa ini. Namun sains dan teknologi tidak memberikan kenyamanan dan keamanan kepada umat manusia. Jarak di antara mereka semakin jauh. Setiap berita dan kejadian akan tersebar ke seluruh dunia dengan cepat. Interaksi sesama manusia semakin mudah. Manusia adalah makhluk yang bersosial dan untuk hidup dalam kondisi aman serta nyaman, mereka membutuhkan undang-undang. Oleh karena itu, di sebuah negara disusun undang-undang dan hak sipil demi menciptakan kondisi kerukunan hidup di antara seluruh kelompok dan lapisan masyarakat dari berbagai agama, mazhab dan etnis.
Oleh karena itu, sangat urgen bila di tingkat internasional juga disusun undang-undang seperti ini. Meski mayoritas negara-negara dunia pasca perang Dunia Pertama dan semakin serius memahami urgensitas masalah ini setelah pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah Perang Dunia Kedua, namun masih ada negara yang mengandalkan kekuatan militer, industri dan ekonomi terus memajukan ambisi busuknya. Upaya segelintir negara ini juga dengan memanfaatkan isu menyesatkan seperti kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Namun demikian, kemajuan informasi dan berubahnya dunia menjadi sebuah Global Village telah meminimalkan pengaruh sekelompok negara arogan ini di proses transformasi dunia.
Kini telah tiba saatnya, pemerintah dan tokoh berpengaruh di berbagai negara berkumpul untuk menyusun sebuah piagam dunia hak-hak asasi beragama di samping konvensi internasional lainnya demi menciptakan dunia yang aman dan lebih baik. Tidak ada perbedaan di antara pakar hukum, cendikiawan dan pencinta kebebasan terkait isu kutukan terhadap terorisme dalam bentuknya yang beragam. Jika ada kekaburan, maka hal ini disulut oleh pemerintah Barat dengan kebijakan standar gandanya dalam menyikapi terorisme dan teroris.
Yang ada perbedaan pendapat adalah dalam masalah definisi yang diberikan negara Barat terkait kebebasan berekspresi dan legalnya pelecehan terhadap kesucian, keyakinan dan ideologi populasi yang mencapai hampir seperempat penduduk dunia. Pidato pemimpin Katolik Dunia, Paus Fransiskus saat mereaksi ulah majalah Charlie Hebdo yang melecehkan kesucian Nabi Muhammad Saw patut direnungkan. Paus Fransiskus mengatakan, “Kebebasan berpendapat adalah salah satu hak dasar manusia, namun hak ini bukannya tidak terbatas, karena memang ada batasannya.” Ia menambahkan, “Kalian tidak diperbolehkan untuk memprovokasi orang lain. Hak kebebasan berpendapat terkait ideologi pengikut agama juga ada batasnya.”
Paus Fransiskus merupakan satu-satunya sosok dan tokoh di Barat yang berusaha mengemukakan sikapnya secara rasional, sesuai dengan realita dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme terkait pelecehan terhadap kesucian Nabi Muhammad Saw. Namun sangat disayangkan tidak ada tempat di Barat bagi pidato dan statemen rasional seperti ini. Ungkapan seperti ini biasanya tidak mendapat perhatian di Barat.
Kebebasan berpendapat pada asasnya berbeda dengan pelecehan dan penghinaan. Kebebasan berekspresi memiliki nilai, namun penghinaan dan pelecehan adalah kebalikan dari sebuah nilai. Kebebasan berekspresi adalah sebuah hak, namun sebaliknya penghinaan adalah menghilangkan hak orang lain dan termasuk sebuah kejahatan. Penghinaan terhadap kesucian utusan Ilahi, bukan dosa biasa dan kecil, namun sebuah dosa besar, karena hal ini sebuah penghinaan terhadap tokoh besar sejarah dan kejahatan berganda karena dengan sendirinya menghina seluruh umat manusia.
Meski kebebasan berpendapat merupakan nilai-nilai tinggi kemanusiaan dan Ilahi, namun nilai ini juga terikat dengan nilai-nilai tinggi lainnya. Seseorang tidak berhak merusak satu nilai dengan menggunakan nilai lainnya dengan alasan tertentu. Seperti interpretasi berbeda pemerintah Barat terkait sejumlah konsep seperti demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM). Kebebasan berpendapat di Barat pun ditafsirkan beragam dan bahkan menyeleweng dari apa yang sudah ada di buku pedoman hukum dan pemikiran politik mereka.
Demokrasi, kebebasan, HAM dan kebebasan berpendapat akan bernilai bagi pemerintah Barat jika dijadikan alat untuk menjustifikasi kebijakan mereka dan digunakan untuk memajukan strateginya. Namun jika tidak, maka dengan mudah konsep-konsep seperti ini kehilangan sakralitasnya. Oleh karena itu, jika kita menghendaki sebuah dunia yang aman dan mempersiapkan sarana yang diperlukan bagi kerukunan hidup seluruh pengikut agama di Global Village ini, maka penyusunan piagam dunia hak-hak asasi beragama menjadi sebuah keharusan.[TvShia/IRIB Indonesia]
Kirim komentar