Dampak Perang 51 Hari di Gaza bagi Israel

Dampak Perang 51 Hari di Gaza bagi Israel

Jajak pendapat yang diselenggarakan di Palestina pendudukan (Israel) menunjukkan bahwa PM rezim Zionis tidak memiliki popularitas lagi. Berdasarkan polling terbaru, tingkat kepuasan warga Israel terhadap kinerja Netanyahu menurun drastis sejak serangan brutal Israel ke Gaza. Popularitas PM Israel itu anjlok ketika tuntutan atas pengunduran dirinya juga semakin kuat. Tamir Pardo, Direktur Dinas Intelijen Israel (Mossad) menuntut pengunduran diri Netanyahu setelah gagal merealiasikan janji-janjinya untuk menghancurkan roket-roket pejuang Palestina.

Sejak tanggal 8 Juli 2014, militer rezim Zionis melancarkan serangan membabi buta ke Gaza selama 50 hari yang menyebabkan hampir 2.137 warga Palestina –yang mayoritasnya warga sipil, termasuk wanita, anak-anak dan orang tua– gugur syahid, dan sekitar 11.000 lainnya terluka. Serangan tersebut dihentikan pada tanggal 26 Agustus 2014 setelah terjadi kesepakatan gencatan senjata jangka panjang antara Palestina dan Israel yang dimediasi oleh Mesir di Kairo. Tak satupun target dan tujuan Tel Aviv yang tercapai dalam agresi itu.

Konsekuensi negatif akibat kekalahan rezim Zionis dalam perang di Gaza sebegitu buruknya sehingga para analis menyebut kegagalan itu sebagai kekalahan memalukan dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam konfrontasi dengan Palestina. Kekalahan militer rezim Zionis dalam menghadapi perlawanan para pejuang dan rakyat Palestina yang telah memaksa rezim ilegal tersebut menerima gencatan senjata permanen dan memenuhi tuntutan Palestina termasuk pencabutan blokade Gaza, menjadi bukti kebohongan klaim Zionis bahwa militer Israel adalah pasukan yang tak terkalahkan.

Sementara serangan balasan roket-roket Israel yang mengenai berbagai pusat dan lokasi penting di Israel, bahkan menyebabkan ribuan warga Zionis khususnya di distrik-distrik pemukiman ilegal berlindung di bunker-bunker atau melarikan diri ke wilayah-wilayah lainnya, merupakan bukti ketidakmampuan Tel Aviv untuk menjamin keamanan warganya. Tak diragukan lagi, kondisi itu telah memperburuk krisis keamanan di Israel.

Perkembangan terkait perang ketiga di Gaza menunjukkan bahwa kebijakan perang dan penjajahan tidak mampu menjamin keamanan yang diinginkan oleh Israel bagi warganya. Sekarang ini, krisis ekonomi rezim Zionis semakin parah akibat agresi ke Gaza yang menelan biaya besar. Para pejabat di Departemen Keuangan Israel telah mengkonfirmasi adanya defisit anggaran hingga 3,2 persen pada tahun mendatang akibat serangan ke wilayah Palestina yang berpenduduk sekitar 1,8 juta jiwa itu.

Sementara dalam hubungan luar negeri, rezim Zionis semakin terisolasi akibat protes luas dunia atas kejahatannya di Gaza. Opini publik internasional mendesak dan menuntut diadilinya para pejabat Tel Aviv atas kejahatan mereka di Palestina. Tak diragukan lagi bahwa kekalahan rezim Zionis dalam perang di Gaza akan merapuhkan kabinet Israel dan mengguncang pilar-pilar rezim anak haram Barat tersebut. Yang pasti, manuver Muqawama Palestina dalam perang melawan rezim Zionis telah mempercepat proses kehancuran Israel.

Isaac Herzog, ketua Partai Buruh rezim Zionis Israel yang tercatat sebagai partai penting dan pendiri rezim ilegal ini dalam laman internetnya menjelaskan bahwa Israel pecundang perang Gaza dan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu bertanggung jawab atas kekalahan telak dan memalukan ini. Mayoritas elit politik Israel meyakini Gaza sebagai arena yang dijadikan perjudian politik oleh Netanyahu dan kini ia keluar sebagai pecundang sejati. Dengan diterapkannya gencatan senjata di Jalur Gaza dan diterimanya syarat Hamas terkait pencabutan blokade Gaza, protes terhadap perdana menteri Israel dari hari ke hari semakin luas. Sementara kubu oposisi di parlemen sejak saat ini bangkit untuk menumbangkan Netanyahu dan Partai Likud.

Pemimpin dua kubu oposisi, Meretz dan Partai Buruh di parlemen Israel (Knesset) menilai manajemen Netanyahu dalam menggelar perang Gaza telah menyebabkan kekalahan memalukan bagi Tel Aviv. Zahava Gal-on, ketua Partai sayap kiri Meretz seraya mengkritik pidato terbaru Netanyahu yang mengklaim menang di Gaza mengatakan, “Perang Gaza bukan saja tidak menyebabkan sistem pertahanan Israel menjadi kuat, namun sisa-sisa kekuatan pertahanan Tel Aviv pun menguap begitu saja.”

Bersamaan dengan ini, Isaac Herzog juga mengeluarkan kritikannya atas kinerja Netanyahu di perang Gaza. Ia mengatakan, kabinet Israel dalam mengelola perang melawan Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) mengalami kekalahan telak. Berdasarkan jajak pendapat terbaru di Palestina pendudukan, Netanyahu telah kehilangan kepercayaan mayoritas warga Zionis khususnya warga di distrik selatan dan distrik sekitar Jalur Gaza. Tak hanya itu, opini internal Israel juga meyakini bahwa militar mereka mengalami kekalahan berat di perang Gaza.

Tak diragukan lagi bahwa militer Israel dengan seluruh fasilitas dan persenjataan modern yang dimilikinya menyerbu kawasan yang diblokade dan setelah tujuh tahun warga kawasan ini masih tetap menegaskan akan melawan agresi brutal Zionis serta mempertahankan tempat kelahiran mereka. Warga pejuang Palestina bersama Hamas selama beberapa kali telah memberi pelajaran kepada Tel Aviv dan kini petinggi Israel seperti Yuval Diskin, ketua Dinas Keamanan Dalam Negeri (Shabak) terkait hal ini mengatakan, “Kesepakatan gencatan senjata sesuai arahan Hamas adalah kekalahan bagi Israel dan menyebabkan frustasi lebih besar di Tel Aviv.”

Setelah 66 tahun pendudukan Palestina, bukan saja janji-janji dan klaim palsu petinggi Zionis terkait upaya mereka menjadikan Palestina pendudukan sebagai kawasan yang aman tidak terbukti, namun kini petinggi Tel Aviv bersama militer mereka tidak mampu menghadapi Hamas dan warga terisolir Gaza. Akhir dari perang Gaza menurut mayoritas pengamat dapat menjadi akhir dari karir politik Netanyahu dan kabinet radikalnya. Perang yang memunculkan legenda perjuangan bangsa Palestina dengan tangan kosong setelah pendudukan wilayah mereka oleh Israel yang berjalan hampir 70 tahun dan perang ini menunjukkan betapa militer Israel dengan segala persenjataan canggihnya tidak mampu melawan tekad baja rakyat Palestina.

Perang verbal yang semakin memanas di antara petinggi rezim Zionis Israel dan gelombang pemecatan petinggi militer dalam beberapa pekan tarakhir menunjukkan betapa dalamnya friksi di antara petinggi rezim penjajah dan ilegal ini akibat kekalahan memalukan dalam perang terbaru di Jalur Gaza. Para pengamat menilainya sebagai tsunami politik. Kekalahan mengenaskan Israel dalam perang ketiga di Jalur Gaza bagi rezim ini sangat mahal dan dalam kondisi seperti ini komisi parlemen (Knesset) mempercepat pemanggilan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu untuk mendengar sebab kekalahan ini langsung dari mulut sang perdana menteri.

Komite ini akan merilis laporan pertamanya mengenai sebab kekalahan militer Israel dalam perang Gaza pada permulaan Januari tahun 2015 mendatang. Komite yang terdiri dari lima penyidik parlemen Israel terkait Gaza diserahkan kepada Zeev Elkin, kepala komisi keamanan dan kebijakan luar negeri parlemen rezim ini. Pembentukan komite untuk menyelidiki sebab kekalahan Israel dalam perang ketiganya di Jalur Gaza dan gelombang pencopotan petinggi Tel Aviv dalam beberapa hari lalu khususnya pencopotan Mickey Adelstein,salah satu komandan militer Israel yang mengomandoi serangan rezim ini ke Gaza dalam perang ketiga, mengingatkan kondisi yang pernah dialami Zionis dalam pernag 33 hari ke Lebanon pada tahun 2006.

Disebutkan bahwa menyusul kekalahan memalukan Israel dalam perang 33 hari ke Lebanon pada tahun 2006 dibentuklah komisi Winograd yang berdampak luas bagi elit politik dan petinggi militer rezim Zionis Israel. Komisi Winograd saat itu dan dalam laporan finalnya menyebut Ehud Olmert, perdana menteri saat itu, Amir Peretz yang menjabat menteri peperangan dan Dan Halutz, mantan kepala staf gabungan militer Israel bertanggung jawab atas kekalahan tersebut.

Laporan komisi Winograd dibarengi dengan topan politik di Israel yang membuka peluang pengunduran diri dan pemecatan puluhan elit politik dan petinggi militer Israel. Kondisi ini disebut juga sebagai tsunami politik di Tel Aviv. Seiring dengan eskalasi friksi di antara petinggi Zionis menyusul kekalahan melawan muqawama Palestina, rezim ini tengah menghadapi tragedi politik baru, di mana dampaknya bakal berujung pada penghapusan lebih banyak lagi petinggi politik saat ini di Israel.

Pembentukan beragam komisi oleh Israel untuk menemukan sebab kekalahan mereka dalam perang yang dikobarkan sendiri oleh Tel Aviv di kawasan dalam beberapa tahun terakhir berlangsung ketika sebab-sebab kekalahan tersebut sepenuhnya nyata. Kekuatan muqawama Palestina menghadapi Israel semakin nyata meruntuhkan legenda tak terkalahkannya militer rezim Zionis.

Dalam kondisi seperti ini, pembentukan komisi di rezim Zionis guna mengkaji sebab kekalahannya dalam perang, selain menunjukkan pengakuan Tel Aviv atas kekalahan mereka, juga mengindikasikan gerakan rezim Israel untuk menutupi kekalahannya serta menyimpangkan opini publik atas sebab utama kekalahan rezim penjajah ini yakni kelemahan serta ketidakmampuan mereka menghadapi muqawama. Namun bagaimana pun juga, komisi seperti ini dengan alasan apa pun yang dibentuk oleh Israel hanya akan menghasilkan kian dalamnya friksi di rezim ini. [TvShia/IRIB Indonesia]

Kirim komentar