Hijab 2
Berkaitan dengan hubungan antara lelaki dan perempuan, terdapat dua golongan: muhrim dan non-muhrim. Hijab menjadi wajib bagi perempuan berkenaan dengan lelaki yang menjadi non-muhrimnya. Adapun menjaga hijab di depan para lelaki muhrim adalah tidak wajib.
Para lelaki muhrim antara lain adalah:
1. Ayah dan kakek hingga setiap yang ke atas
2. Ayah dan kakek dari Ibu hingga setiap yang ke atas
3. Saudara dan anak-anak saudara hingga setiap yang ke bawah
4. Anak saudari dan anak-anaknya hingga setiap yang ke bawah
5. Paman dan pamannya paman hingga setiap yang ke atas
6. Paman dari ibu dan pamannya paman hingga setiap yang ke atas
7. Suami dan ayah suami hingga setiap yang ke atas
8. Ayah dan ibu suami dan ayahnya hingga setiap yang ke atas
9. Anak suami dan anak-anaknya hingga setiap yang ke bawah
10. Anak laki-laki dan anak-anaknya yang laki-laki dan perempuan hingga setiap yang ke bawah.
11. Anak perempuan dan anak-anaknya yang laki-laki dan perempuan hingga
setiap yang ke bawah
12. Menantu dan menantunya menantu hingga setiap yang ke bawah.
Orang-orang tersebut dapat melihat tubuh satu sama lain dan tidak wajib bagi mereka untuk menjaga hijab. Namun, semua itu tetap dengan syarat mereka tidak melihatnya dengan kenikmatan. Jika syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak diperkenankan untuk melihat muhrim yang belum balig sekalipun. Demikian pula apabila memandang dengan kenikmatan, maka perempuan juga tidak bisa melihat sesama perempuan dan laki-laki tidak bisa melihat sesama laki-laki.
Batasan Hijab
Semua fukaha sepakat bahwa kewajiban memakai hijab termasuk hukum pasti dalam Islam. Perempuan berkewajiban menutup tubuhnya dari lelaki asing dengan cadar, jubah, pakaian panjang, mantel, jas, kain penutup, kerudung, dan setiap pakaian lainnya yang menutupi seluruh tubuh dan kita tidak mempunyai dalil kewajiban memakai bentuk penutup tertentu. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban (memakai) hijab. Namun sebagian fukaha berbeda pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua tangan hingga pergelangan tangan. Sebagian fukaha berpendapat bahwa menutup hal-hal itu juga wajib atau mereka menghukuminya ihtiyath (hati-hati). Namun mayoritas fukaha tidak mewajibkan menutup hal-hal tersebut. Mereka bersandar pada beberapa dalil untuk menetapkan ketidakwajibannya:
Dalil pertama: hadis-hadis yang secara langsung dan jelas menafikan kewajiban menutup wajah dan kedua pergelangan tangan.
1. Mas’adah bin Ziyad berkata, “Aku Mendengar Imam Shadiq menjawab pertanyaan tentang perhiasan-perhiasan perempuan yang tampak. Beliau berkata, ‘Wajah dan kedua tangan.’”[21]
2. Muruk bin ‘Ubaid dari sebagian sahabat kami dan dari Abu Abdillah as yang berkata, “Apa yang boleh bagi seorang laki-laki melihat perempuan yang bukan muhrimnya?” Beliau as menjawab, “Wajah, dua tangan, dan dua kaki.”[22]
3. Ali bin Ja’far berkata, “Aku bertanya kepada saudaraku, Imam Musa bin Ja’far as, ‘Apa yang bisa dilihat seorang laki-laki terhadap perempuan yang bukan muhrimnya?’ Beliau menjawab, ‘Wajah, tangan, dan tempat gelang.’”[23]
4. Ali bin Suwaid berkata, “Aku berkata kepada Imam Musa bin Ja’far, ‘Aku selalu terpesona melihat perempuan cantik dan aku selalu suka melihatnya. Apa yang harus aku lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Apabila kamu tidak bermaksud berkhianat, maka tidak apa-apa dan hati-hatilah kamu dengan perzinaan karena zina menghilangkan keberkatan dan membinasakan agama.’”[24]
5. Mufadldlal berkata, “Aku berkata kepada Imam Shadiq, ‘Aku sebagai tebusanmu, apa menurutmu tentang seorang perempuan yang berada dalam perjalanan bersama para lelaki yang bukan muhrim dan tidak ada perempuan lain bersama mereka. Lalu perempuan tersebut meninggal dunia. Apa yang harus dilakukan?’ Beliau menjawab, ‘Dibasuh tempat-tempat yang Allah wajibkan bertayammum dan janganlah dia disentuh dan tempat-tempat yang Allah perintahkan untuk menutupinya hendaknya jangan disingkap.’ Aku bertanya, ‘Lalu apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Pertama dibasuh telapak tangannya lalu wajahnya dan setelah itu dibasuh permukaan tangannya.’”[25]
Dalil kedua: hadis-hadis yang tidak menjelaskan wajah dan kedua tangan tetapi secara tidak langsung menunjukkan bahwa menutup wajah dan kedua tangan adalah tidak wajib.
1. Muhammad bin Abi Nashr mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ridha, ‘Apakah seorang laki-laki bisa melihat rambut saudari istrinya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak kecuali saudari istrinya itu tua renta.’ Kemudian aku bertanya, ‘Apakah sama antara saudari istri dan para perempuan asing?’ Beliau menjawab, ‘Iya.’ Aku bertanya, ‘Apa yang bisa aku lihat dari tubuh perempuan-perempuan renta?’ Beliau menjawab, ‘Rambut dan sikunya?’”[26]
Perawi mengatakan tentang boleh atau tidaknya melihat rambut saudari istrinya tetapi tidak menanyakan wajahnya. Maka, jelaslah bahwa dia mengetahui dengan pasti bolehnya melihat wajah dan jika dia tidak mengetahui, maka dia memprioritaskan untuk menanyakan hal itu juga. Demikian juga karena Imam Ridha dalam jawabannya terhadap soal perawi tentang ukuran memandang kepada para perempuan tua renta berkata, “Rambutnya dan Sikunya,” dan beliau tidak menambahkan wajah mereka, maka jelas Imam mengetahui dengan pasti bolehnya melihat wajah sehingga tidak perlu bagi beliau menyebutkannya lagi. Jika tidak, maka beliau pasti menambahkannya.
2. Imam Ridha berkata, “Hendaknya mereka mengajak anak laki-laki di saat berumur tujuh tahun untuk melaksanakan shalat tetapi anak perempuan menutupi rambutnya di saat dia bermimpi.”[27]
3. Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Imam Musa bin Ja’far tentang seorang putri yang belum balig, ‘Kapan dia harus menutupi kepalanya dari lelaki bukan muhrimnya dan kapan wajib baginya menutupi kepalanya dengan kerudung untuk melakukan shalat?’ Beliau menjawab, ‘Dia harus menutupi kepalanya di saat shalat haram baginya karena melihat darah haid.’”[28]
Dalam dua hadis tersebut, kewajiban menutup rambut dan kepala merupakan tanda-tanda balig. Namun, tidak ada pembicaraan mengenai kewajiban menutup wajah. Sementara itu, apabila menutup wajah adalah wajib, maka pastilah para imam juga menjelaskannya. Dari sini, menjadi jelas bahwa menutup wajah tidaklah wajib atas perempuan.
Dalil ketiga: seperti yang telah dijelaskan dari kalimat, Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya, bisa diambil kesimpulan bahwa menutup wajah dan kedua tangan tidaklah wajib. Ini karena dalam hadis-hadis Ahlulbait memakai celak dan cincin di tangan adalah salah satu contoh dari perhiasan yang (biasa) tampak darinya sehingga tidak ada kewajiban untuk menutupinya. Oleh karena itu, menutup wajah dan tangan yang merupakan tempat kedua perhiasan itu juga seharusnya tidak wajib.
Begitu juga dalam kalimat, Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan kewajiban menutup wajah. Ini karena diperintahkan kepada perempuan untuk mendapatkan hijab yang sempurna supaya dapat menaruh kudungnya ke leher sehingga menutupi sekeliling leher dan dada mereka. Adapun berkenaan dengan menutup wajah tidak diperintahkan. Ini menjelaskan tidak adanya kewajiban tersebut. Di samping itu, dalam hadis Mus’adah bin Shadaqah yang dalam bahasan ini telah dijelaskan, wajah dan kedua tangan itu sendiri adalah termasuk salah satu contoh perhiasan yang (biasa) tampak darinya.
Dalil keempat: dari sebagian hadis dan bukti-bukti sejarah, disimpulkan bahwa kebiasaan perempuan di zaman Rasulullah saw adalah tidak menutupi wajahnya. Namun, mereka tampak dengan wajah yang terbuka dalam pertemuan-pertemuan, di jalan, dan di pasar. Mata para lelaki melihat wajah mereka dan satu sama lain saling berbicara, bergaul, (bersosialisasi), dan berinteraksi. Mereka mendengar hadis dari Nabi saw dan meriwayatkannya kepada para lelaki. Di antara para perawi hadis, terdapat ratusan perempuan hingga para istri dan putri Nabi juga tidak dikecualikan dari pekerjaan ini. Ratusan hadis diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah, dan Fatimah sehingga pastinya orang-orang melihat wajah para perempuan dan mendengar suara mereka. Namun, Rasulullah saw tidak memerintahkan para perempuan untuk menutup wajah dan tidak melarang para lelaki untuk melihat wajah para perempuan dan mendengarkan suara mereka kecuali jika tujuannya adalah demi kenikmatan dan tatapan.
Jabir bin Abdullah al-Anshari bercerita bahwa pada suatu hari Rasulullah saw pergi guna menemui Fatimah sedangkan dia bersama beliau. Ketika sampai di depan rumah Fatimah, beliau mengetuk pintu seraya bersabda, “Assalamu’alaikum.”
Fatimah dari dalam rumah menjawab, “Alaikas Salam Ya Rasulullah.”
Nabi bertanya, “Boleh aku masuk ke rumahmu?”
Fatimah menjawab, “Silakan.”
Rasulullah saw bersabda, “Aku masuk dengan temanku?”
Fatimah menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak punya kudung untuk kepalaku.”
Nabi bersabda, “Taruhlah lebihnya kain penutup di atas kepalamu.”
Fatimah lalu melakukannya. Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, “Assalamu’alaikum.”
Fatimah lalu menjawab. Kemudian Nabi saw Bersabda, “Aku masuk bersama temanku, seorang laki-laki.
Fatimah berkata, “Silakan.”
Jabir melanjutkan, “Rasulullah saw memasuki rumah Fatimah dan aku juga masuk. Mataku melihat wajah Fatimah yang seperti tangkai yang kuning.”
Rasulullah lalu bertanya, “Putriku, mengapa wajahmu kuning seperti ini?”
Fatimah menjawab, “Ya Rasulullah, ini karena aku sangat kelaparan.”
Nabi saw mengangkat tangannya berdoa seraya bersabda, “Wahai Tuhanku Yang Mengenyangkan orang-orang yang kelaparan, kenyangkanlah Fatimah, Putri Muhammad.”
Jabir melanjutkan ceritanya, “Demi Allah, setelah doa Rasulullah, aku melihat wajah Fatimah. Darah di wajahnya mengalir dan warna wajahnya menjadi merah dan setelah itu Fatimah tidak kelaparan.”[29]
Dari cerita di atas, disimpulkan bahwa wajah Sayidah Fatimah terbuka sehingga Jabir dapat melihatnya berwarna kuning dan setelah do’a Nabi Saw, Jabir pun melihat wajah Fatimah berwarna merah.
Sa’d Askaf meriwayatkan dari Imam Baqir as berkata, “Seorang pemuda Anshar bertemu dengan seorang perempuan di lorong Madinah. Pada saat itu, para perempuan meletakan kerudungnya di belakang telinga. Pemuda Anshar melihat perempuan tersebut dan bertemu dengannya lalu pergi. Pemuda tersebut tetap melihat perempuan itu dari belakang. Pada saat demikian, kepalanya terbentur tulang atau kaca yang berada di tembok. Wajahnya terluka dan darah mengalir ke dadanya dan pakaiannya. Pemuda tersebut berkata bahwa dia akan mengadukan perempuan ini kepada Rasulullah saw.
Pemuda tersebut menuju Rasulullah. Nabi Saw bertanya, “Kenapa engkau penuh dengan darah seperti ini?”
Pemuda tersebut memaparkan kejadiannya kepada Rasulullah. Pada saat demikian Malaikat Jibril turun dan membawa ayat ini, Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[30]
Dari cerita ini, juga disimpulkan bahwa para perempuan di zaman Rasulullah saw dan permulaan Islam tidak hanya membuka wajahnya tetapi mereka meletakkan kerudungnya di belakang telinga. Akibatnya, telinga, anting, sekeliling leher, dan dada mereka tampak. Dalam kasus tersebut, terjadi peristiwa yang menimpa pemuda Anshar itu dan pengaduannya kepada Rasulullah saw. Setelah ayat itu turun, hijab pun diperintahkan kepada para perempuan, yakni agar mereka meletakkan kedua sisi kudung ke leher sehingga menutupi telinga, anting, sekeliling leher, dan dada mereka.
Adapun poin yang menarik adalah tidak ada perintah untuk menutup wajah. Ini menyatakan bahwa tidak ada kewajiban menutup wajah. Ayat hijab memerintahkan kepada lelaki dan perempuan supaya menahan pandangan mereka dan supaya tidak menatap demi kenikmatan (dalam memandang) guna mencegah kerusakan-kerusakan moral dan sosial.Berkaitan dengan hubungan antara lelaki dan perempuan, terdapat dua golongan: muhrim dan non-muhrim. Hijab menjadi wajib bagi perempuan berkenaan dengan lelaki yang menjadi non-muhrimnya. Adapun menjaga hijab di depan para lelaki muhrim adalah tidak wajib.
Para lelaki muhrim antara lain adalah:
1. Ayah dan kakek hingga setiap yang ke atas
2. Ayah dan kakek dari Ibu hingga setiap yang ke atas
3. Saudara dan anak-anak saudara hingga setiap yang ke bawah
4. Anak saudari dan anak-anaknya hingga setiap yang ke bawah
5. Paman dan pamannya paman hingga setiap yang ke atas
6. Paman dari ibu dan pamannya paman hingga setiap yang ke atas
7. Suami dan ayah suami hingga setiap yang ke atas
8. Ayah dan ibu suami dan ayahnya hingga setiap yang ke atas
9. Anak suami dan anak-anaknya hingga setiap yang ke bawah
10. Anak laki-laki dan anak-anaknya yang laki-laki dan perempuan hingga setiap yang ke bawah.
11. Anak perempuan dan anak-anaknya yang laki-laki dan perempuan hingga
setiap yang ke bawah
12. Menantu dan menantunya menantu hingga setiap yang ke bawah.
Orang-orang tersebut dapat melihat tubuh satu sama lain dan tidak wajib bagi mereka untuk menjaga hijab. Namun, semua itu tetap dengan syarat mereka tidak melihatnya dengan kenikmatan. Jika syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak diperkenankan untuk melihat muhrim yang belum balig sekalipun. Demikian pula apabila memandang dengan kenikmatan, maka perempuan juga tidak bisa melihat sesama perempuan dan laki-laki tidak bisa melihat sesama laki-laki.
Batasan Hijab
Semua fukaha sepakat bahwa kewajiban memakai hijab termasuk hukum pasti dalam Islam. Perempuan berkewajiban menutup tubuhnya dari lelaki asing dengan cadar, jubah, pakaian panjang, mantel, jas, kain penutup, kerudung, dan setiap pakaian lainnya yang menutupi seluruh tubuh dan kita tidak mempunyai dalil kewajiban memakai bentuk penutup tertentu. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban (memakai) hijab. Namun sebagian fukaha berbeda pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua tangan hingga pergelangan tangan. Sebagian fukaha berpendapat bahwa menutup hal-hal itu juga wajib atau mereka menghukuminya ihtiyath (hati-hati). Namun mayoritas fukaha tidak mewajibkan menutup hal-hal tersebut. Mereka bersandar pada beberapa dalil untuk menetapkan ketidakwajibannya:
Dalil pertama: hadis-hadis yang secara langsung dan jelas menafikan kewajiban menutup wajah dan kedua pergelangan tangan.
1. Mas’adah bin Ziyad berkata, “Aku Mendengar Imam Shadiq menjawab pertanyaan tentang perhiasan-perhiasan perempuan yang tampak. Beliau berkata, ‘Wajah dan kedua tangan.’”[21]
2. Muruk bin ‘Ubaid dari sebagian sahabat kami dan dari Abu Abdillah as yang berkata, “Apa yang boleh bagi seorang laki-laki melihat perempuan yang bukan muhrimnya?” Beliau as menjawab, “Wajah, dua tangan, dan dua kaki.”[22]
3. Ali bin Ja’far berkata, “Aku bertanya kepada saudaraku, Imam Musa bin Ja’far as, ‘Apa yang bisa dilihat seorang laki-laki terhadap perempuan yang bukan muhrimnya?’ Beliau menjawab, ‘Wajah, tangan, dan tempat gelang.’”[23]
4. Ali bin Suwaid berkata, “Aku berkata kepada Imam Musa bin Ja’far, ‘Aku selalu terpesona melihat perempuan cantik dan aku selalu suka melihatnya. Apa yang harus aku lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Apabila kamu tidak bermaksud berkhianat, maka tidak apa-apa dan hati-hatilah kamu dengan perzinaan karena zina menghilangkan keberkatan dan membinasakan agama.’”[24]
5. Mufadldlal berkata, “Aku berkata kepada Imam Shadiq, ‘Aku sebagai tebusanmu, apa menurutmu tentang seorang perempuan yang berada dalam perjalanan bersama para lelaki yang bukan muhrim dan tidak ada perempuan lain bersama mereka. Lalu perempuan tersebut meninggal dunia. Apa yang harus dilakukan?’ Beliau menjawab, ‘Dibasuh tempat-tempat yang Allah wajibkan bertayammum dan janganlah dia disentuh dan tempat-tempat yang Allah perintahkan untuk menutupinya hendaknya jangan disingkap.’ Aku bertanya, ‘Lalu apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Pertama dibasuh telapak tangannya lalu wajahnya dan setelah itu dibasuh permukaan tangannya.’”[25]
Dalil kedua: hadis-hadis yang tidak menjelaskan wajah dan kedua tangan tetapi secara tidak langsung menunjukkan bahwa menutup wajah dan kedua tangan adalah tidak wajib.
1. Muhammad bin Abi Nashr mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ridha, ‘Apakah seorang laki-laki bisa melihat rambut saudari istrinya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak kecuali saudari istrinya itu tua renta.’ Kemudian aku bertanya, ‘Apakah sama antara saudari istri dan para perempuan asing?’ Beliau menjawab, ‘Iya.’ Aku bertanya, ‘Apa yang bisa aku lihat dari tubuh perempuan-perempuan renta?’ Beliau menjawab, ‘Rambut dan sikunya?’”[26]
Perawi mengatakan tentang boleh atau tidaknya melihat rambut saudari istrinya tetapi tidak menanyakan wajahnya. Maka, jelaslah bahwa dia mengetahui dengan pasti bolehnya melihat wajah dan jika dia tidak mengetahui, maka dia memprioritaskan untuk menanyakan hal itu juga. Demikian juga karena Imam Ridha dalam jawabannya terhadap soal perawi tentang ukuran memandang kepada para perempuan tua renta berkata, “Rambutnya dan Sikunya,” dan beliau tidak menambahkan wajah mereka, maka jelas Imam mengetahui dengan pasti bolehnya melihat wajah sehingga tidak perlu bagi beliau menyebutkannya lagi. Jika tidak, maka beliau pasti menambahkannya.
2. Imam Ridha berkata, “Hendaknya mereka mengajak anak laki-laki di saat berumur tujuh tahun untuk melaksanakan shalat tetapi anak perempuan menutupi rambutnya di saat dia bermimpi.”[27]
3. Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Imam Musa bin Ja’far tentang seorang putri yang belum balig, ‘Kapan dia harus menutupi kepalanya dari lelaki bukan muhrimnya dan kapan wajib baginya menutupi kepalanya dengan kerudung untuk melakukan shalat?’ Beliau menjawab, ‘Dia harus menutupi kepalanya di saat shalat haram baginya karena melihat darah haid.’”[28]
Dalam dua hadis tersebut, kewajiban menutup rambut dan kepala merupakan tanda-tanda balig. Namun, tidak ada pembicaraan mengenai kewajiban menutup wajah. Sementara itu, apabila menutup wajah adalah wajib, maka pastilah para imam juga menjelaskannya. Dari sini, menjadi jelas bahwa menutup wajah tidaklah wajib atas perempuan.
Dalil ketiga: seperti yang telah dijelaskan dari kalimat, Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya, bisa diambil kesimpulan bahwa menutup wajah dan kedua tangan tidaklah wajib. Ini karena dalam hadis-hadis Ahlulbait memakai celak dan cincin di tangan adalah salah satu contoh dari perhiasan yang (biasa) tampak darinya sehingga tidak ada kewajiban untuk menutupinya. Oleh karena itu, menutup wajah dan tangan yang merupakan tempat kedua perhiasan itu juga seharusnya tidak wajib.
Begitu juga dalam kalimat, Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan kewajiban menutup wajah. Ini karena diperintahkan kepada perempuan untuk mendapatkan hijab yang sempurna supaya dapat menaruh kudungnya ke leher sehingga menutupi sekeliling leher dan dada mereka. Adapun berkenaan dengan menutup wajah tidak diperintahkan. Ini menjelaskan tidak adanya kewajiban tersebut. Di samping itu, dalam hadis Mus’adah bin Shadaqah yang dalam bahasan ini telah dijelaskan, wajah dan kedua tangan itu sendiri adalah termasuk salah satu contoh perhiasan yang (biasa) tampak darinya.
Dalil keempat: dari sebagian hadis dan bukti-bukti sejarah, disimpulkan bahwa kebiasaan perempuan di zaman Rasulullah saw adalah tidak menutupi wajahnya. Namun, mereka tampak dengan wajah yang terbuka dalam pertemuan-pertemuan, di jalan, dan di pasar. Mata para lelaki melihat wajah mereka dan satu sama lain saling berbicara, bergaul, (bersosialisasi), dan berinteraksi. Mereka mendengar hadis dari Nabi saw dan meriwayatkannya kepada para lelaki. Di antara para perawi hadis, terdapat ratusan perempuan hingga para istri dan putri Nabi juga tidak dikecualikan dari pekerjaan ini. Ratusan hadis diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah, dan Fatimah sehingga pastinya orang-orang melihat wajah para perempuan dan mendengar suara mereka. Namun, Rasulullah saw tidak memerintahkan para perempuan untuk menutup wajah dan tidak melarang para lelaki untuk melihat wajah para perempuan dan mendengarkan suara mereka kecuali jika tujuannya adalah demi kenikmatan dan tatapan.
Jabir bin Abdullah al-Anshari bercerita bahwa pada suatu hari Rasulullah saw pergi guna menemui Fatimah sedangkan dia bersama beliau. Ketika sampai di depan rumah Fatimah, beliau mengetuk pintu seraya bersabda, “Assalamu’alaikum.”
Fatimah dari dalam rumah menjawab, “Alaikas Salam Ya Rasulullah.”
Nabi bertanya, “Boleh aku masuk ke rumahmu?”
Fatimah menjawab, “Silakan.”
Rasulullah saw bersabda, “Aku masuk dengan temanku?”
Fatimah menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak punya kudung untuk kepalaku.”
Nabi bersabda, “Taruhlah lebihnya kain penutup di atas kepalamu.”
Fatimah lalu melakukannya. Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, “Assalamu’alaikum.”
Fatimah lalu menjawab. Kemudian Nabi saw Bersabda, “Aku masuk bersama temanku, seorang laki-laki.
Fatimah berkata, “Silakan.”
Jabir melanjutkan, “Rasulullah saw memasuki rumah Fatimah dan aku juga masuk. Mataku melihat wajah Fatimah yang seperti tangkai yang kuning.”
Rasulullah lalu bertanya, “Putriku, mengapa wajahmu kuning seperti ini?”
Fatimah menjawab, “Ya Rasulullah, ini karena aku sangat kelaparan.”
Nabi saw mengangkat tangannya berdoa seraya bersabda, “Wahai Tuhanku Yang Mengenyangkan orang-orang yang kelaparan, kenyangkanlah Fatimah, Putri Muhammad.”
Jabir melanjutkan ceritanya, “Demi Allah, setelah doa Rasulullah, aku melihat wajah Fatimah. Darah di wajahnya mengalir dan warna wajahnya menjadi merah dan setelah itu Fatimah tidak kelaparan.”[29]
Dari cerita di atas, disimpulkan bahwa wajah Sayidah Fatimah terbuka sehingga Jabir dapat melihatnya berwarna kuning dan setelah do’a Nabi Saw, Jabir pun melihat wajah Fatimah berwarna merah.
Sa’d Askaf meriwayatkan dari Imam Baqir as berkata, “Seorang pemuda Anshar bertemu dengan seorang perempuan di lorong Madinah. Pada saat itu, para perempuan meletakan kerudungnya di belakang telinga. Pemuda Anshar melihat perempuan tersebut dan bertemu dengannya lalu pergi. Pemuda tersebut tetap melihat perempuan itu dari belakang. Pada saat demikian, kepalanya terbentur tulang atau kaca yang berada di tembok. Wajahnya terluka dan darah mengalir ke dadanya dan pakaiannya. Pemuda tersebut berkata bahwa dia akan mengadukan perempuan ini kepada Rasulullah saw.
Pemuda tersebut menuju Rasulullah. Nabi Saw bertanya, “Kenapa engkau penuh dengan darah seperti ini?”
Pemuda tersebut memaparkan kejadiannya kepada Rasulullah. Pada saat demikian Malaikat Jibril turun dan membawa ayat ini, Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[30]
Dari cerita ini, juga disimpulkan bahwa para perempuan di zaman Rasulullah saw dan permulaan Islam tidak hanya membuka wajahnya tetapi mereka meletakkan kerudungnya di belakang telinga. Akibatnya, telinga, anting, sekeliling leher, dan dada mereka tampak. Dalam kasus tersebut, terjadi peristiwa yang menimpa pemuda Anshar itu dan pengaduannya kepada Rasulullah saw. Setelah ayat itu turun, hijab pun diperintahkan kepada para perempuan, yakni agar mereka meletakkan kedua sisi kudung ke leher sehingga menutupi telinga, anting, sekeliling leher, dan dada mereka.
Adapun poin yang menarik adalah tidak ada perintah untuk menutup wajah. Ini menyatakan bahwa tidak ada kewajiban menutup wajah. Ayat hijab memerintahkan kepada lelaki dan perempuan supaya menahan pandangan mereka dan supaya tidak menatap demi kenikmatan (dalam memandang) guna mencegah kerusakan-kerusakan moral dan sosial.[tvshia/liputanislam.com]
Kirim komentar