Belajar dari Revolusi Islam

Belajar dari Revolusi Islam Iran

Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra, Mahasiswa S2 Hubungan Internasional, UGM.

Dari revolusi Iran saya belajar bahwa revolusi bukanlah diawali dari revolusi aksi atau gerakan massa, melainkan dari gerakan pemikiran/idea, Khomeini sebagai sosok ulama secara kultural memang mampu menggerakkan jutaan massa dengan sekali fatwanya, tapi beliau juga menyadari bahwa gerakan juga perlu mendapat daulah massa karena kesadaran pemikiran/gagasannya.

Sehingga beliau secara khusus melakukan gerakan intelektual menuju dua arah, pertama kedalam internal kalangan relijius-konservatif, dan kedua ke kalangan eksternal-kalangan sekuler, untuk kalangan relijius beliau turun langsung sendiri, sedangkan eksternal beliau memerintahkan sang murid jeniusnya, yaitu Muthahhari untuk masuk ke kampus-kampus sekuler dan menjelaskan sebuah revolusi pemikiran berbasiskan Islam.

Dari gerakan yang memakan puluhan tahun ini, telah berhasil menciptakan pondasi negara yang kuat dan mandiri, sampai lintas negara Iran sendiri dan mampu bertahan melawan hegemoni AS dan Zionis.

Ada beberapa hikmah yang bisa kita perolah:

1. Gerakan revolusi yang sempurna meliputi 4 aspek pasti: Intelektual/Struktural, Kultural, Sosial/Massa, dan Spiritual/Pondasi Dasar/Moral.

2. Gerakan tidak bisa hanya di prakarsai 1 tokoh (Khomeini), melainkan juga harus bergerak secara tim yang mendukung tokoh utama, misal: ada Muthahhari, Tabataba’i, Khamenei, Rafsanjani, Chamran, Ali Shariati, Behesti, dimana tim ini menjalankan ide-ide dari sang tokoh utama pergerakan kedalam berbagai sektor (politik, ekonomi, budaya, pendidikan/filsafat, militer, dsb.), bandingkan dengan di Indonesia yang antar sesama tokoh pergerakan pun masih silang pendapat, pemikiran dan kepentingan.

3. Dalam pemaparan Muthahhari, sebuah gerakan revolusi dikatakan sempurna, jika setidaknya memenuhi empat sebab, antara lain sebagai berikut;

Pertama; adalah sebab kreatif, terkait memahami sifat suatu gerakan, kedua; adalah sebab final, terkait tujuan pergerakan, ketiga; sebab material, terkait apa elemen, kandungan dan aktifitas gerakan, ke empat; sebab nominal, apa yang diambilnya sebagai suatu keseluruhan.

Konteks gerakan di Indonesia bisa kita tinjau sebab gerakan hanya sebatas pada sebab kreatif, yaitu sifat apa yang membentuk gerakan itu terjadi yaitu keingingan untuk melengserkan pemerintahan yang ada karena dianggap tidak pro rakyat baik dari segi kesejahteraan ekonomi maupun kebebasan dalam berpolitik, sedangkan pada sebab kedua, ketiga dan ke empat yaitu sebab final (tujuan akhir dari gerakan), sebab material (kesamaan metode,bentuk, dan aktifitas gerakan) dan sebab nominal yang menghimpun keseluruhan (berupa ideologi dan figur pemersatu gerakan) bisa dikatakan tidak ada.

4. Gerak bukanlah momentum, melainkan daya gradual terus-menerus, Khamenei menjelaskan bahwa Revolusi Iran tidak berhenti pada tahun 1979, revolusi itu terus terjadi sampai saat ini, sedangkan penggulingan Shah Reza Pahlevi dan pendirian Republik Islam Iran hanya salah satu momentum puncak dari rantaian gerak yang tak terputus.

Karena nya, memulai gerakan bukan dari yang besar, tapi mulailah dari hal-hal yang kecil/partikular (Derrida) , yaitu gerakan intelektual/gagasan/kesadaran, seperti; gerakan pengetahuan, gerakan membaca, gerakan diskusi, gerakan menulis, dsb.

Jawadi Omuli menjelaskan bahwa tak ada satupun perubahan tanpa gerak, bahkan setiap bentuk perubahan disertai dengan gerak. Oleh karena itu jika tidak ada perubahan secara gradual (perlahan-lahan) maka perubahan secara spontanitas pun tidak akan ada. Sebagaimana seluruh gerak hakiki tentu adalah gerak menyempurna. tak ada gerak zati dan hakiki dari sempurna menuju kekurangan.

5. Mungkin kita berkata bahwa Islam-Iran memiliki latar belakang yang beda dengan Indonesia, lantas apa bedanya dengan peradaban Barat ? Tapi kita masih bisa menyerap nilai-nilai universal mereka, begitu pula dalam konteks Iran, kita bisa menyerap nilai-nilai universal (keadilan, kemandirian, dsb,) mereka dalam membangun peradaban, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa demografi Indonesia yang mayoritas Islam, telah menempatkan Islam-Indonesia merupakan bagian integral dan poros utama perubahan.

Sehingga keinginan untuk memfilter lalu menyerap nilai-nilai, pengetahuan dan pengalaman dari saudara muslim yang lain dan menggunakannya untuk membangun peradaban Indonesia merupakan sumbangsih yang positif. Wallahu’alam bishawab.[tvshia/liputanislam.com]

Kirim komentar