Polwan dan Kontroversi Kebijakan Jilbab
Cuaca cerah hari itu (Sabtu, 8/3) seolah merepresentasikan semangat sejumlah mahasiwa/i yang memasuki Gedung Engineering Center 303, Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Mereka sangat antusias mengikuti talkshow dengan tema: "Negara, Wanita, dan Jilbab: Profesionalitas Wanita dalam Dimensi Takwa". Ini tampak pada banyaknya peserta (mayoritas mengenakan jaket almamater kuning) yang memadati ruangan berbentuk segi empat panjang tersebut dengan tepat waktu. Namun, acara tidak dimulai pukul 08.00 WIB, sesuai jadwal, karena para narasumber belum tiba.
Maka, atas inisiatif panitia pelaksana (panpel), MC membuka acara pada pukul 09.00 WIB dengan memaparkan sekilas tentang latar belakang penyelenggaraan talkshow itu. Ia juga mengajak peserta untuk mengemukakan pendapat mengenai kebijakan jilbab yang diberlakukan kepada Polisi Wanita (Polwan), yang hangat diperbincangkan di berbagai media akhir-akhir ini. Sebelum memasuki acara inti, seluruh peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat.
Talkshow tersebut dimoderatori oleh Abdul Malik Badeges S.Hum, M.Sh (ASEAN University Network Researcher). Dari tujuh narasumber yang diundang hanya empat yang hadir, sementara tiga lainnya: Jenderal Moeldoko (Panglima TNI), Jenderal Soetarman (Kapolri), dan Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin (Independent Permanent Human Right Commition OKI) berhalangan hadir.
Empat pembicara dimaksud adalah Dr. Mardani Alisera (Anggota Komisi I DPR RI), Dr. Irman Putra Sidin (Pakar Tata Negara), Dr. Fahmi Salim (Majelis Ulama Indonesia/ MUI), Drs. Manager Nasution MA (Komnas HAM). Acara tersebut juga dimaksudkan untuk mengumpulkan 10.000 tanda tangan dukungan untuk segera diberlakukannya kebijakan jilbab bagi kalangan Polwan yang hendak mengenakannya.
Satu Suara: Desak Presiden Terbitkan PP
Fahmi menegaskan bahwa MUI mendukung langkah Polwan untuk mengenakan jilbab pada saat bertugas. "Kami mendorong Polwan yang berniat melaksanakan perintah Allah SWT. Kebebasan berjilbab juga dilindungi dalam konstitusi karena merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), terlebih lagi Indonesia adalah negara mayoritas Muslim," ujarnya.
Menanggapi pertanyaan salah satu peserta, Fahmi menyatakan bahwa kebangkitan Islam acap kali dikaitkan dengan "jilbab". Tapi, ia menyayangkan sikap mayoritas Muslim dewasa ini yang alergi terhadap penerapan hukum syari'at dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terkait dengan langkah yang sudah dilakukan MUI, Fahmi mengungkapkan rencana pertemuan dengan Kapolri. "Selain akan bertemu dengan Kapolri, MUI juga merencanakan untuk berkonsolidasi dengan Ormas Perempuan pada acara Kongres Muslimah Indonesia yang akan diselenggarakan di Bogor (9/3), yang antara lain akan membahas soal desakan kepada Presiden agar memerintahkan Kapolri untuk menetapkan kebijakan tentang jilbab di kalangan Polwan," ucapnya.
Sementara itu, Nasution menyoroti persoalan ini dari perspektif HAM. "Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) termaktub kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama. Hal itu sejalan dengan UUD Pasal 29 ayat (2), yang juga menjamin kebebasan beragama. Adapun payung hukum yang dapat digunakan untuk penerapan persoalan jilbab termaksud adalah UU Nomor 26 Tahun 2000 dan UU Nomor 40 Tahun 2008," ungkapnya.
Hampir senada dengan Nasution, Irman juga menyoroti dari perspektif perundang-undangan; namun, lebih dipertajam pada aspek konstitusi. "Filosofi hadirnya sebuah negara antara lain untuk melindungi hak-hak konstitusional warganya, yang salah-satunya tertera dalam UUD Pasal 28. Indonesia bukan negara sekuler atau agama, tapi berdasarkan Ketuhanan YME (Yang Maha Esa). Di sana ada jaminan kebebasan beragama," tegasnya.
Ia juga mendesak presiden untuk menentukan kebijakan tegas. "Menurut saya, Polri lamban dalam merespon persoalan ini, sehingga bergulir menjadi high politics. Padahal, jilbab tidak mengurangi mobilitas Polwan. Nah, karena Polri berada di bawah Presiden, maka sebaiknya kita meminta tanggung jawab SBY untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan identitas pengamalan keberagamaan (religiousness), khususnya bagi PNS, TNI, dan POLRI," ujar Irman.
Dalam perspektif yang agak berbeda, Mardani mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum membahas isu tersebut. "Belum ada pandangan yang seragam di DPR dalam menyikapi tuntutan jilbab dari kalangan Polwan. Memang harus dilakukan reformasi birokrasi, terutama di tubuh Polri. Ketimpangan itu tercermin dari kontradiksi antara sikap Kapolri dan Wakapolri," ungkap Mardani selaku Anggota Komisi I dari Fraksi PKS.
Mardani juga mengafirmasi para pembicara sebelumnya bahwa Presiden memiliki hak prerogatif atas kebijakan yang diambil Kapolri. "Kampus memiliki legitimasi yang tinggi, sehingga bisa membuat tim yang dapat mengawal masalah ini hingga sampai kepada Presiden, sehingga dapat menelurkan kebijakan. Saya menyarankan untuk melibatkan kalangan LSM dan civil society untuk efektivitas pergerakan mahasiswa," ujarnya lantang.
Namun, ia menyarankan agar isu "jilbab" jangan dipertentangkan dengan "lembaga/ instansi", apalagi "negara" karena dikhawatirkan ada pihak yang memperuncing keadaan.
Sementara itu, dalam menanggapi pertanyaan peserta terkait dengan kendala penganggaran jilbab, Irman mengajak agar tidak terjebak pada kamuflase itu. "Kita jangan larut dalam perdebatan teknis untuk mengulur waktu dalam merealisasikan kebijakan ini," ujarnya.
Kebijakan Kontradiktif
Bila kita cermati tanggapapolwan-berjilbab-polda-metro-jayan di kalangan petinggi Polri, masih segar dalam ingatan bahwa Kapolri Jenderal Sutarman menyatakan, anggota Polwan diperkenankan mengenakan jilbab (bagi yang bersedia) saat bertugas (19/ 12). "Itu merupakan hak asasi seseorang. Saya sudah sampaikan kepada anggota kalau ada Polwan yang mau mengenakan jilbab, silahkan!" ujar Sutarman.
Pernyataan tersebut mendapatkan tanggapan positif di kalangan Polwan, mengingat banyak dari mereka yang akan dapat menjalankan kewajiban agama.
Sayangnya, persoalan ini kian berlarut-larut. Pada tanggal 28 November 2013 Wakapolri Komjen Oegroseno mengirimkan telegram rahasia yang menginstruksikan kepada jajaran Polri untuk menunda kebijakan penggunaan jilbab bagi Polwan saat menunaikan tugas (bekerja).
Kontradiksi kebijakan di tubuh Polri, seperti tercermin di atas, semakin menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat karena Jenderal Sutarman justru kemudian membenarkan instruksi Wakapolri. Dan alasan penundaan penerapan jilbab dilansir oleh harian Republika.
Sutarman menyatakan bahwa belum terealisasinya kebijakan tersebut adalah karena model jilbab (seragam) belum disepakati. Selain itu juga masih ada ketidakjelasan penganggarannya karena sedang disusun di DPR untuk kemudian dimintakan persetujuannya (juga di DPR).
Ironisnya, di sejumlah negara Barat, seperti Kanada dan Inggris, polisi wanita diperbolehkan mengenakan jilbab saat bertugas. Mengapa Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, belum memberlakukan kebijakan yang sama?
Pernyataan Sikap
Dengan ditundanya izin mengenakan jilbab bagi Polwan, SALAM Universitas Indonesia (sebuah organisasi keislaman di internal kampus UI) bersama Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) menyampaikan gugatan yang didasarkan pada pelanggaran HAM, yang antara lain dijamin dalam perundang-undangan, salah satunya adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 (tentang HAM).
Atas dasar ini diajukan beberapa tuntutan:
Pertama, segera cabut telegram rahasia yang diterbitkan Wakapolri Komisaris Jenderal Oegroseno pada 28 November 2013, yang memerintahkan jajaran Polri untuk menunda kebijakan pengenaan jilbab di kalangan Polwan karena bertentangan dengan HAM [Pasal 28 E Ayat (1)].
Kedua, segera terbitkan izin pengenaan seragam jilbab di kalangan Polwan, dengan mengacu pada SKEP Panglima TNI No.346/X/2004 dan SKEP Kapolri No. SKEP/702/IX/2005 yang mengatur tentang seragam berjilbab di Aceh, sehingga tercipta keseragaman.
Ketiga, TNI dan Polri adalah dua institusi yang berasal "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Sehingga, diharapkan kiprah kedua institusi ini tidak melanggar HAM dan konstitusi, khususnya yang terkait dengan kebijakan pengenaan jilbab di kalangan Polwan.
Selain dari ketiga tuntutan di atas, SALAM UI dan FSLDK juga menghimbau kepada seluruh mahasiswa dan masyarakat untuk turut mendoakan agar proses penundaan kebijakan penerapan jilbab bagi Polwan segera disahkan; mendukung tuntutan legalisasi jilbab bagi Polwan (mengingat ia merupakan hak asasi setiap Muslimah dalam menjalankan ajaran agama); dan turut aktif menginformasikan persoalan ini kepada masyarakat luas, terutama melalui media sosial.[tvshia/irib indonesia]
Kirim komentar