Ancaman Ekstrimis Indonesia Jebolan Suriah
“Pada level mikro, kebanyakan warga Indonesia yang pergi ke Suriah—entah untuk bertempur atau terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan—akan menceritakan pengalaman mereka saat pulang dan mendorong yang lain untuk mengikuti langkah mereka,” "Jihadis" Indonesia (Yahoo.com)
JAKARTA, Indonesia — Dalam sebuah laporan yang dirilis Institute for Policy Analysis of Conflict yang berbasis di Jakarta beberapa hari lalu, sejumlah warga Indonesia ditengarai telah bergabung dengan ribuan pemberontak asing di Suriah.
Mengutip kalangan analis, laporan itu menyebutkan, mereka bertolak ke sana, selain membantu kelompok ekstrimis takfiri mendirikan Negara Islam, juga untuk menghidupkan kembali gerakan teror yang mulai kendur dan menyiapkan serangan lebih gencar ke kalangan Syiah di kawasan Asia Tenggara.
Lebih lanjut, laporan itu mengatakan bahwa konflik Suriah yang memasuki tahun ketiga pada bulan Maret 2014 ini, “Telah merebut imajinasi kalangan ekstrimis Indonesia sedemikian rupa, seolah belum pernah ada perang mancanegara sebelumnya… Antusiasme terhadap Suriah langsung dikaitkan dengan terjadinya hari kiamat menurut Islam bahwa peperangan menjelang hari kiamat akan terjadi di Syam, kawasan yang terkadang disebut Suriah Raya atau Levant, yang meliputi Suriah, Yordania, Libanon, Palestina, dan tanah pendudukan ‘Israel’.” Direktur lembaga ini, Sidney Jones, menyatakan bahwa pihak kementerian luar negeri berdasarkan informasi dari pihak pemerintah Suriah, memperkirakan sedikitnya 50 warga Indonesia telah bertolak ke Suriah lewat Turki untuk mengangkat senjata bersama para teroris sejak 2012. Sekalipun berupa “perkiraan”, laporan itu mengingatkan bahwa jumlahnya dapat terus bertambah. Kate Lamb, reporter SBS, melaporkan pada 17 Januari lalu bahwa Jamaah Islamiyyah yang berada dibalik bom Bali 2002, mengumumkan telah mengirim sembilan misi kemnausiaan sejauh ini.
Para jihadi Indonesia, ujar Jones, dapat dengan mudah terbang dengan maskapai penerbangan komersial ke Turki, di mana Ahrar al-Sham, salah satu kelompok jihadi yang melawan Presiden Bashar al-Assad, membantu mereka melintasi perbatasan menuju Suriah. Sejumlah ekstrimis Indonesia juga terhubung dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), kelompok garis keras yang berafiliasi dengan al-Qaeda, lanjutnya. Dikuatirkan Jones dan para pengamat lain, tulis Andrew Zammit (31/1), para veteran Suriah itu akan pulang ke tanah air dengan keahlian, pengalaman, kontak, kredibilitas, dan intensi mematikan. Para jihadi ekstrimis itu dengan yakin memandang pertempuran di Suriah sebagai “universitas pendidikan jihad”. Kalangan ekstrimis Indonesia diketahui telah mengikuti pelatihan dan terjun dalam peperangan di Afghanistan pada 1980-an serta di selatan Filipina dan kemungkinan di Bosnia pada 1990-an. Laporan itu juga menyebutkan bahwa keterlibatan para jihadi Indonesia di Suriah menjadi semakin menonjol setelah tewasnya seorang ekstrimis asal Kalimantan tahun lalu yang bernama Riza Fardi. Kematiannya diumumkan pada 28 November lewat akun Twitter kelompok bersenjata Suquor al-Izz Brigade, tempat Riza bergabung selama ini. Riza merupakan alumnus pesantren al-Mukmin, Jawa Tengah, yang selama ini menghasilkan banyak teroris dan didirikan Abu Bakar Bashir yang sekarang meringkuk di penjara dengan tuduhan terorisme. Laporan itu juga mengungkapkan, berbagai organisasi keislaman di Indonesia yang telah menjalankan beragam misi kemanusiaan, “… membawa uang kontan dan bantuan medis kepada para jihadi dengan cara yang sebenarnya didesain untuk membuka jalur ketrelibatan lebih langsung dalam pertempuran.” Menurut pendiri Institute for International Peace Building yang membantu mengasimilasi mantan teroris Indonesia kembali ke masyarakat, Noor Huda Ismail, mencatat bahwa keenam terduga teroris yang tewas setelah dikepung sepanjang malam sejak 31 Desember (2013) di sebuah tempat di luar Jakarta, berencana untuk bertolak ke Turki dan telah membeli tiket pesawat.
“Pada level mikro, kebanyakan warga Indonesia yang pergi ke Suriah—entah untuk bertempur atau terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan—akan menceritakan pengalaman mereka saat pulang dan mendorong yang ain untuk mengikuti langkah mereka,” lanjutnya. “Para individu yang pergi ke sana bertanggung jawab untuk menyediakan narasi baru tentang jihad yang akan diterjemahkan secara luas. Narasi baru ini sangat penting—suatu narasi seputar memperluas konflik.” Menurut Noor, perang sipil Suriah dipandang sebagian Muslim sebagai konflik antara [pemberontak] Sunni dan Syiah yang didukung Assad.
Keikutsertaan para jihadi Indonesia, lanjutnya, akan menghasilkan kembali pemisahan di Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia serta dihuni minoritas Syiah yang belakangan ini mengalami serangkaian kekerasan dan serangan fisik. “Kelompok Syiah Indonesia merasa khawatir terhadap gerakan-gerakan tersebut,” ujar Noor. “Semua itu menciptakan pemisahan di mana Anda menyaksikan ketegangan antara komunitas Sunni (baca: Wahhabi) dan Syiah di Indonesia.” [TvShia/Islam Times]
Kirim komentar