Manusia dan Kewajiban
Salah satu sifat khas utama manusia adalah manusia mampu mengemban kewajiban untuk mengikuti ajaran agama. Manusia saja yang dapat hidup dalam kerangka hukum. Makhluk lain hanya dapat mengikuti hukum alam yang sifatnya memaksa.
Misalnya, mustahil menetapkan aturan atau hukum bagi batu dan kayu atau bagi pohon dan bunga atau bagi kuda, sapi dan domba. Makhluk-makhluk ini tak mungkin dapat mengemban kewajiban untuk menaati hukum yang dibuat untuk mereka dan untuk kepentingan mereka. Jika dibutuhkan tindakan untuk menjaga kepentingan mereka, maka tindakan itu harus dipaksakan kepada mereka.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu hidup dalam kerangka hukum kontraktual (berdasarkan kesepakatan— pen.). Karena hukum seperti ini dibuat oleh pihak yang kompeten dan kemudian diberlakukan kepada manusia, tentu saja dalam hukum seperti ini ada kesulitan bagi manusia. Itulah sebabnya kenapa hukum seperti ini diberi nama "kewajiban".
Untuk mengikat manusia agar melaksanakan kewajiban, maka pembuat hukum perlu mengikuti kondisi tertentu. Dengan kata lain, hanya manusia yang memenuhi kondisi tertentu saja yang bertanggung jawab untuk menjalankan kewajiban. Kondisi yang harus dipenuhi dalam setiap kewajiban adalah:
(i) Akil Balig
Ketika manusia sampai pada tahap tertentu dalam hidupnya, tubuhnya mengalami perubahan yang terjadi cukup mendadak, begitu juga perasaan dan pikirannya. Perubahan-perubahan ini disebut akil balig. Ini merupakan tahap alamiah yang dicapai setiap orang.
Mustahil mengetahui dengan persis kapan orang mencapai akil balik. Sebagian orang mencapai akil balig lebih cepat ketimbang orang lain. Itu sebagian besar tergantung pada sifat personal individu dan juga kondisi daerah dan lingkungan individu tersebut. Yang jelas adalah bahwa perempuan lebih cepat mencapai tahap akil balik alamiah ketimbang lelaki. Dari sudut pandang hukum, perlu ada kejelasan usia akil balig yang pasti agar ada keseragaman. Bisa usia akil balig rata-rata, atau bisa usia minimum akil balig (di samping kondisi lain akil balig yang berupa pengertian, seperti dijelaskan dalam yurisprudensi Islam).
Berdasarkan ini individu dapat mencapai usia akil balig alamiah, meski belum dapat dianggap mencapai akil balig secara hukum. Menurut pandangan mayoritas ulama Syiah, seorang lelaki baru bisa dianggap telah mencapai usia akil balig menurut hukum bila usianya sudah menginjak 16 tahun, dan kalau wanita bila usianya sudah menginjak 10 tahun. Akil balig menurut hukum ini me¬rupakan salah satu syaratnya mampu secara hukum melaksanakan kewajiban. Dengan kata lain, seseorang yang belum mencapai usia ini, maka hukum tidak berlaku baginya, kecuali bila terbukti dia telah mencapai usia akil balig alamiah sebelum mencapai usia akil balig menurut hukum.
(ii) Sehat Rohani
Syarat lain untuk menjalankan kewajiban adalah sehat rohani. Orang gila, karena tak memiliki kemampuan untuk mengerti, tak punya kewajiban. Kasusnya sama dengan kasus anak yang belum mencapai usia akil balig. Bahkan ketika mencapai usia akil balig, seseorang tidak berkewajiban membayar kewajiban yang menjadi tanggungannya ketika dia belum mencapai usia akil balig. Misal, orang dewasa tidak berkewajiban membayar salat-salat yang tidak menjadi tanggungannya pada masa kecilnya, karena pada masa itu dia tidak terkena kewajiban hukum. Orang yang gila, selama dia gila, juga tak punya kewajiban. Karena itu jika kemudian dia waras, dia tetap tidak berkewajiban membayar salat dan puasa yang tidak dilakukannya karena dia gila. Dia baru berkewajiban kalau sudah waras. Begitu pula dengan zakat dan khumus. Zakat dan khumus ini diwajibkan atas harta anak yang belum mencapai usia akil balig atau orang gila. Anak yang belum akil balig atau orang gila baru berkewajiban membayarnya kalau sudah mencapai tahap ber¬kewajiban, bila belum dibayarkan oleh walinya yang sah.
(iii) Tahu dan Sadar
Jelaslah orang baru bisa melaksanakan kewajiban kalau dia sadar akan eksistensi kewajiban tersebut. Dengan kata lain, orang harus tahu terlebih dahulu kewajibannya sebelum dia diminta menunaikannya. Misal saja si fulan menetapkan hukum, namun dia tidak memberitahukan hukum tersebut kepada orang yang harus melaksanakan hukum itu. Kalau demikian, maka orang itu tidak berkewajiban, atau tidak dapat melaksanakan hukum itu. Jika orang itu melanggar hukum itu, maka si fulan tidak punya alasan sah untuk menghukumnya. Menghukum seseorang yang tidak tahu kewajibannya dan ketidaktahuannya akan hukum bukan karena kesalahannya, maka perbuatan menghukum tersebut tidak benar.
Al-Qur'an berulang-ulang menyebutkan kebenaran ini. Al-Qur'an mengatakan bahwa orang tak boleh dihukum karena melanggar hukum, sebelum orang tersebut diberitahu secara semestinya tentang hukum. Tentu saja syarat tahu hukum sebagai prasyarat penerapan hukum tidak berarti bahwa orang boleh saja sengaja tak tahu hukum dan kemudian menjadikan ketaktahuannya ini sebagai alasan. Setiap orang yang berkewajiban melaksanakan hukum harus mengetahui hukum dan melaksanakannya. Sebuah hadis mengatakan bahwa pada Hari Kebangkitan sebagian orang berdosa akan dihadirkan di Pengadilan Ilahiah dan akan ditanya tentang kenapa mereka tidak melaksanakan sebagian kewajiban. Mereka akan ditanya kenapa tidak melaksanakan kewajiban. Mereka akan menjawab, "Kami tidak tahu." Akan dikatakan kepada mereka, "Kenapa kamu tidak tahu dan kenapa kamu tidak berupaya untuk tahu hukum?" Karena itu, bila dikatakan bahwa tahu merupakan syarat berlakunya hukum, maka yang dimaksud adalah jika suatu kewajiban disampaikan kepada orang yang dapat dikenai kewajiljan dan orang itu tetap tidak tahu kewajiban itu padahal sudah berupaya semestinya untuk tahu, maka dalam pandangan Allah SWT orang seperti itu dimaafkan.
(iv) Mampu
Orang baru berkewajiban kalau dia mampu. Kewajiban yang tak mampu ditunaikannya, maka bukan kewajibannya. Tak syak lagi kemampuan manusia ada batasnya. Karena itu kewajiban dibebankan kepada manusia sebatas kemampuannya. Misal, seseorang mampu menuntut ilmu, namun lingkup upaya menuntut ilmunya ini terbatas dari segi waktu dan jumlah informasi. Betapapun jenius seseorang, maka dia tetap perlu secara berangsur-angsur melewati berbagai tahap ilmu dan untuk jangka waktu yang lama. Memaksa seseorang untuk menyelesaikan studi akademisnya dalam jangka waktu yang pendek, yang normalnya beberapa tahun, artinya adalah memaksanya melakukan tugas yang berada di luar kemam¬puannya. Begitu pula, memaksa seseorang untuk melakukan studi atas semua ilmu yang ada di dunia ini berarti meminta orang tersebut untuk melaksanakan sesuatu yang sepenuhnya mustahil. Kewajiban seperti itu tak akan pernah dibebankan oleh satu sumber yang adil dan arif: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. al-Baqarah: 286)
Dengan kata lain, Allah SWT tidak membebankan kewajiban kepada siapa pun di luar kemampuannya. Kalau seseorang mau tenggelam dan kita mampu menyelamatkannya, maka kita ber¬kewajiban menyelamatkannya. Namun, misal, sebuah pesawat terbang mau jatuh dan kita mutlak tak mampu menyelamatkannya, maka kita tak berkewajiban menyelamatkannya. Di sini ada satu hal yang perlu dicatat. Fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah tahu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mencari pengetahuan, begitu pula fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah mampu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mendapat kemampuan yang diperlukan itu. Dalam kasus-kasus tertentu, kita sungguh berkewajiban memperoleh kemampuan seperti itu. Misal kita menghadapi musuh yang kuat, dan musuh tersebut mau melanggar hak kita atau mau mengagresi wilayah Islam. Maka kalau kita tahu bahwa kita tak mampu memeranginya dan kalau kita tahu bahwa kalau tetap saja melawannya maka artinya kita akan kehilangan kekuatan kita dan tak mungkin berhasil, jelaslah kita tak berkewajiban memerangi dan melawan agresor itu. Namun tetap saja kita berkewajiban mendapatkan cukup kekuatan agar kelak kita tidak lagi menjadi penonton: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu.(QS. al-Anfâl: 60)
Karena seseorang atau suatu masyarakat yang mengabaikan upaya mencari cukup pengetahuan dapat dikutuk Tuhan dan keddaktahuan orang atau masyarakat itu tak dapat diterima sebagai alasan, maka orang yang lemah atau masyarakat yang lemah yang mengabaikan upaya mendapatkan cukup kekuatan dapat juga dikutuk dan dihukum oleh Tuhan. Lemah tidak bisa dijadikan sebagai alasan.
(v) Mampu Memilih dan Bebas Berkehendak
Prasyarat lain kewajiban adalah bebas berkehendak. Dengan kata lain, manusia baru wajib melaksanakan kewajiban kalau dalam pelaksanaan kewajiban itu tak ada unsur paksaan dari keadaan. Kewajiban tidak lagi wajib kalau ada paksaan dari keadaan. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan kasus-kasus paksaan: Jika seseorang dipaksa oleh orang lain untuk tidak berpuasa dan jiwanya akan terancam bahaya jika dia mengabaikan ancaman itu, maka jelaslah dia tidak wajib berpuasa. Begitu pula dengan posisi se¬seorang yang memiliki sarana untuk pergi haji, namun mendapat ancaman dari seorang tiran bahwa dia atau keluarganya akan mendapat akibat buruk kalau dia tetap pergi haji. Rasulullah saw bersabda: Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan."
Dalam kasus keadaan, orang tersebut tidak mendapat ancaman siapa pun. Dia sendiri yang hams mengambil keputusan. Namun keputusannya merupakan hasil dari keadaan keras yang dihadapinya. Misal, seseorang tak berdaya dan kelaparan di gurun. Selain daging bangkai dia tak punya makanan lain untuk menghilangkan laparnya dan untuk bertahan hidup. Dalam keadaan seperti ini hukum bahwa daging bangkai itu haram tentu saja tak berlaku. Beda antara keterpaksaan dan dipaksa keadaan adalah kalau dalam kasus keterpaksaan seseorang diancam oleh tiran akan menanggung akibat buruk, dan untuk menyelamatkan diri dan menghindarkan bahaya dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya.
Namun tak ancaman seperti itu dalam kasus dipaksa oleh keadaan. Dalam kasus ini, keadaan pada umumnya berkembang sedemikian rupa sehingga orang tersebut mengalami situasi yang tak diinginkan. Untuk bisa keluar dari situasi seperti ini dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya. Karena itu ada dua perbedaan antara terpaksa dan dipaksa keadaan: Pertama, dalam keterpaksaan ada ancaman dari manusia, namun dalam dipaksa keadaan ancaman seperti itu tak ada. Kedua, dalam kasus keterpaksaan orang tersebut bertindak untuk menghindarkan situasi yang tak dikehendaki, namun dalam kasus dipaksa keadaan orang tersebut bertindak untuk meringankan, meredakan atau mengurangi situasi yang ada.
Namun tak ada kaidah umum berkenaan dengan efek ke¬terpaksaan dan dipaksa keadaan pada kewajiban. Efeknya tergantung pada dua hal: Pertama, kalau efeknya merugikan atau membahayakan, maka harus dihindarkan atau diredakan; dan kedua, kalau perbuatan dilakukan karena terpaksa atau dipaksa keadaan. Jelaslah perbuatan yang membahayakan jiwa orang, menimbulkan kerugian masyarakat atau agama tak boleh dilakukan dengan alasan apa pun. Tentu saja ada kewajiban tertentu yang tetap harus dilaksanakan sekalipun harus menanggung kerugian.[TvShia.com/Islam Times]
Kirim komentar