Aktivitas Imam Khomeini ra di Hauzah Ilmiah Qom

Aktifitas ayatullah Khomeini di Hauzah ilmiah Qom 

 

Sudikah Anda menjelaskan tentang aktivitas Imam Khomeini ra di Hauzah Ilmiah Qom hingga sebelum peristiwa 15 Khordad?

 

Di samping mendidik diri, Imam Khomeini tidak melupakan aktivitas politik. Beliau senantiasa ikut aktif dalam kegiatan politik sosial baik di masa almarhum Ayatullah Hairi Yazdi maupun di masa almarhum Ayatullah Boroujerdi. Sebagai contoh, beliau mengenang sebuah masa sebagai masa yang pahit dimana pemerintahan despotik Reza Shah tidak mengizin siapa pun untuk memakai pakaian ulama kecuali hanya beberapa orang ulama penjilat saja. Beliau mengatakan:

 

"Masa yang sangat sulit bagi kami."

 

Bahkan mengatakan:

 

"Saya dan beberapa orang lainnya selalu keluar ke sebuah tempat dari kota Qom sebelum terbitnya matahari dan kembali lagi ke rumah setelah cuaca gelap agar jangan sampai mendapat serangan orang-orang bayaran Reza Shah Diktator dan tetap bisa belajar dan diskusi serta tetap memakai pakaian ulama."

 

Imam Khomeini dalam perjuangan ini, melakukan teguran keras dan menjelaskan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan agama dan undang-undang pemerintahan saat itu demi menjaga kehormatan dan identitas ulama yang sejati.

 

Salah satu masalah yang dianggap urgen oleh Imam Khomeini agar keilmuan hauzah tetap hidup pasca wafatnya almarhum Ayatullah Hairi Yazdi adalah kehadiran Ayatullah Boroujerdi di Qom. Karena dari sisi keilmuan dan kemuliaan akhlak, Ayatullah Boroujerdi termasuk ulama derajat pertama. Setelah wafatnya Ayatullah Hairi Yazdi dan masa marjaiyatnya tiga orang yakni Ayatullah Khansari, Sadr dan Hujjat yang berada di Qom, Imam Khomeini secara luas berusaha agar Ayatullah Boroujerdi bisa tinggal di Qom, karena Imam tahu bagaimana kepribadaian dan tingkat keilmuan beliau.

 

Almarhum Ayatullah Boroujerdi datang ke rumah sakit Firouzabadi untuk operasi bedah. Sebagaimana ucapan ibu saya, Imam Khomeini kadang-kadang menulis surat sebanyak lima puluh sampai enam puluh lembar untuk seluruh ulama Iran dan mengajak mereka untuk mengusulkan agar Ayatullah Boroujerdi pindah ke Qom. Berkat usaha para ulama khususnya Imam Khomeini, akhirnya almarhum Ayatullah Boroujerdi mau tinggal di Qom. Dengan demikian hauzah ilmiah Qom yang baru didirikan menjadi kuat dari sisi keilmuan dan benar-benar kelihatan kuat.

 

Ketika wafatnya Ayatullah Boroujerdi, Imam Khomeini berusia sekitar enam puluh dua tahun. Beberapa orang mencetak risalah-risalah yang telah mereka susun dan membagi-bagikannya dengan alasan hauzah jangan sampai tidak ada pengasuhnya. Mereka mau menerima shahriah (uang bulanan dari khumus) almarhum Ayatullah Boroujerdi. Akan tetapi Imam Khomeini tidak pernah berurusan dengan masalah ini. Beliau hanya sekali atau dua kali ikut datang dalam pertemuan mereka. Sampai saat itu beliau masih sibuk belajar, diskusi dan mengajar murid-muridnya di Qom. Imam Khomeini selama hidupnya sedikitpun tidak pernah berusaha untuk mendapatkan posisi marjaiyat. Sebaik-baik bukti klaim ini adalah para santri Imam Khomeini. Almarhum Mirza Jafar Sobhani (penulis Taqrirat Imam dar Ushul) adalah salah satu murid Imam yang belajar kepada Imam Khomeini selama empat belas tahun penuh. Beliau mengumpulkan uang dari para pelajar agama dengan anggapan bahwa Imam Khomeini tidak punya uang sehingga uang itu bisa digunakan Imam Khomeini menyelenggarakan acara tahlilan untuk almarhum Ayatullah Boroujerdi. (tentu saja orang-orang yang membantu keuangan dalam hal ini punya niat baik). Imam Khomeini tidak ingin menyelenggarakan acara tahlilan untuk Ayatullah Boroujerdi, karena menyelenggarakan acara tahlilan memiliki makna tersendiri. Maknanya di kalangan hauzah adalah mengumumkan klaim marjaiyat dari penyelenggaranya. Namun Imam Khomeini secara pribadi tidak melakukan apa-apa dalam hal ini. Beliau hanya sibuk mengajar dan mendidik para pelajar agama di hauzah dan masa depan Islam.

 

Pasca wafatnya Ayatullah Boroujerdi, di musim panas Imam Khomeini senantiasa pergi berziarah ke makam Imamzadeh Qasim Tehran bersama anggota keluarga. Di masa itu, Ayatullah Sayid Hadi Shirazi dari sisi marjaiyat lebih pandai dari almarhum Ayatullah Hakim. Sayangnya beberapa bulan kemudian beliau juga meninggal dunia. Beberapa ulama dari Qom datang menemui Imam Khomeini dan mendesak beliau untuk mengadakan tahlilan. Beliau berkata:

 

"Saya tidak akan menyelenggarakan tahlilan dan juga tidak akan ikut hadir acara tahlilan."

 

Karena dalam dunia pelajar agama (talabegi) bila seorang ulama besar menyelenggarakan tahlilan untuk marji yang meninggal berarti mengumumkan marjaiyat dirinya dan Imam Khomeini tidak ingin mengumumkan dirinya sebagai seorang marji. Saya masih ingat ketika almarhum Agha Eshraghi (menantu Imam Khomeini) datang dari Qom dan memberitahukan kepada Imam Khomeini tentang masalah ini seraya berkata, "Para ulama Qom mengutus saya menemui Anda untuk melakukan hal ini." tapi Imam Khomeini tidak mau menerima. Akhirnya, karena tekanan banyak pelajar agama dan masyarakat Imam Khomeini terpaksa memberikan risalahnya.

 

Imam Khomeini senantiasa menjadi perintis perjuangan baik di masa almarhum Agha Hairi maupun di zamannya almarhum Agha Boroujerdi. Misalnya, karena masalah politik di masa Agha Boroujerdi beliau diutus untuk berbicara dengan Shah Pahlevi atas perintah Agha Boroujerdi dan para ulama. Menurut para ulama dan marji, "Harus ada seorang wakil yang menyampaikan pendapat kita kepada Shah secara gamblang dan terang-terangan dan ini tidak bisa dilakukan oleh siapapun kecuali oleh Haj Agha Rohoullah (Imam Khomeini)." Imam Khomeini dalam dua kali pertemuannya dengan Shah benar-benar menegaskan pendapat para marji dan ulama dan memperingatkan Shah terkait dampak dari kebijakannya.

 

Terkait masalah hukuman mati Navvab Safavi dan seluruh anggota Fedaian Islam, Imam Khomeini menyesali mengapa almarhum Boroujerdi dan ulama tidak menunjukkan sikap tegas terhadap pemerintahan Shah dan tidak menyelamatkan mereka. Dalam masalah ini Imam Khomeini benar-benar tertekan jiwanya. Pada masa itu kondisi dan situasinya sedemikian rupa sehingga berjuang melawan Shah merupakan sesuatu yang hina menurut pandangan orang-orang kolot. Yakni, mereka berargumentasi bahwa mengingat seorang ulama harus dihukum mati, maka lepaslah pakaian keulamaannya supaya tidak merusak nama baik ulama. Tepat bertentangan dengan pendapat Imam Khomeini bahwa seorang ulama harus syahid dengan pakaian ulamanya sehingga masyarakat mengerti dan tahu bahwa para ulama ada dalam kancah perjuangan.

 

Menurut pandangan Imam Khomeini, perjuangan para ulama seperti Syahid Navvab Safavi merupakan penerang kehidupan Islam dan revolusi serta penerang jalan para pejuang. Tentu saja kondisi hauzah saat itu sedemikian rupa sehingga jangan sampai menyalahkan Agha Boroujerdi. Kondisi hauzah saat itu merupakan sebuah proses perjuangan. Dihadapan pemikiran kolot yang sok suci di bidang agama dan politik ini dimana mereka tidak memiliki keyakinan berjuang melawan pemerintahan zalim Shah ada pemikiran revolusi dan membebaskan milik Imam Khomeini. Orang-orang kolot yang sok suci ini bahkan tidak tahan menghadapi pelajaran-pelajaran irfan dan filsafat Imam Khomeini. Orang-orang kolot ini ketika ingin mengangkat buku Manzumah, mereka menggunakan tang karena menganggapnya najis. Atau katakanlah bila seseorang belajar filsafat maka ia dianggap tidak beragama. Imam Khomeini menentukan langkah pertama perjuangannya adalah memberantas kekolotan di dalam hauzah. Karenanya, ketika di Qom beliau mengajarkan Manzumah dan Asfar, beliau mendapat serangan fitnah dan tuduhan dari orang-orang kolot. Namun semangat dan kemampuan keilmuan dan perjuangan Imam Khomeini serta pertolongan Allah tidak membuat Imam Khomeini kalah di hadapan kebekuan pemikiran orang-orang kolot.

Menurut saya, perjuangan Imam Khomeini menghadapi orang-orang sok suci di dalam hauzah lebih penting daripada masalah politik dan perjuangan. Karena bila bendungan orang-orang kolot (yang tidak meyakini perpaduan antara agama dan politik) tidak terkalahkan, Imam Khomeini tidak akan bisa bergerak melangkahkan kaki dengan kuat dan kokoh menuju perjuangan berikutnya yang sangat panjang. Oleh karena itu Imam Khomeini telah memastikan dengan baik bahwa memberikan pencerahan kepada para pemikir pertama harus dimulai dari hauzah kemudian baru berharap adanya perubahan di luar hauzah. Imam Khomeini memasuki kancah perjuangan dengan tangan kosong tapi dengan iman yang kuat dan membangun pondasi pemikiran dan keyakinan Revolusi Islam. Di jalan ini beliau bertahan menghadapi liku-liku ajaib untuk perubahan dan ketetapan pelbagai bidang. Yakni dari satu sisi beliau harus mengentas para pelajar agama yang memiliki potensi keilmuan dan perjuangan dari kebekuan pemikiran yang berkuasa saat itu dan dari sisi lain, beliau harus merencanakan dan mengarahkan proses perjuangan warga Iran melawan rezim Shah Pahlevi dan para majikannya yang diketuai oleh Amerika. Imam Khomeini menilai pemikiran kolot sebagai penghalang besar dalam proses perjuangan dan revolusi warga Iran. Oleh karena itu beliau menetapkan pemikiran murni Islami dan revolusi sebagai pondasi keyakinan hauzah sehingga hukuman mati seorang ulama di tangan orang bayaran Shah tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang memalukan bagi hauzah dan ulama, bahkan terhitung sebagai bukti kehadiran budaya revolusi dan Islam.  

Dikutip dari penuturan almarhum Hujjatul Islam Sayid Ahmad Khomeini, anak Imam Khomeini ra.

 Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh. [Tvshia/Irib/ Emi Nur Hayati]

Kirim komentar