Wawasan Al-Qur'an Tentang Pernikahan bag 2

Wawasan Al-Qur'an Tentang  Pernikahan bag 2

By: Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

 Siapa Yang Tidak Boleh Dinikahi?

Al-Quran tidak menentukan  secara  rinci  tentang  siapa  yang dikawini,   tetapi   hal  tersebut  diserahkan  kepada  selera masing-masing:

Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)

 

Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. menyatakan, Biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau  keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu    Hurairah).

 

Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa

    Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau 1aki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

 

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,

 

    Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk  laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pu1a).

 

Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.

 

    Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu,  anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak  perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istriyang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka  tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan  menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang  bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24).

 

Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu --yang  disebut di  atas--  juga  diharamkan?  Di  sini berbagai jawaban dapat

dikemukakan.

 

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan  antara  keluarga  dekat, dapat  melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga  yang  meninjau  dari  segi  keharusan  menjaga  hubungan kekerabatan   agar   tidak   menimbulkan   perselisihan   atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar  suami  istri. Ada  lagi  yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak,  saudara,  dan  ibu  kandung,  yang kesemuanya  harus  dilindungi  dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami larangan  perkawُnan  antara  kerabat  sebagai  upaya Al-Quran  memperluas  hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

 

Perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda

 

Al-Quran juga secara tegas melarang  perkawinan  dengan  orang musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):

 

    Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.

 

Larangan  serupa  juga  ditujukan  kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam  perwaliannya kepada laki-laki musyrik.

 

    Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman (QS A1-Baqarah [2]: 221).

 

Menurut  sementara  ulama  walaupun  ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita  Ahl  Al-Kitab  (penganut agama  Yahudi  dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang menyatakan,

 

    Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS Al-Ma-idah [5]: 5).

 

Tetapi izin tersebut telah digugurkan  oleh  surat  Al-Baqarahayat  221  di  atas.  Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan mengatakan:

 

    "Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan  kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya  adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."

 

Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas  sahabat  Nabi  dan ulama.   Mereka   tetap   berpegang   kepada  teks  ayat  yang membolehkan  perkawinan  semacam  itu,  dan  menyatakan  bahwa walaupun  aqidah  Ketuhanan  ajaran  Yahudi  dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah  Islam,  tetapi  Al-Quran  tidak menamai  mereka  yang  menganut  Kristen  dan  Yahudi  sebagai orang-orang musyrik.  Firman  Allah  dalam  surat  A1-Bayyinah

(98): 1 dijadikan salah satu alasannya.

 

    Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan  meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata (QS. Al-Bayyinah [98]: 1).

 

Ayat  ini  menjadikan  orang  kafir terbagi dalam dua kelompok berbeda, yaitu Ahl Al-Kitab dan  Al-Musyrikin.  Perbedaan  ini dipahami  dari  kata  "wa" yang diterjemahkan "dan", yang oleh pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung  makna  "menghimpun dua hal yang berbeda."

 

Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim--termasuk pria Ahl  Al-Kitab--  diisyaratkan  oleh  Al-Quran. Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah (2): 221 di

atas, yang hanya berbicara tentang  bolehnya  perkawinan  pria Muslim  dengan  wanita  Ahl  Al-Kitab,  dan  sedikit pun tidak menyinggung  sebaliknya.   Sehingga,   seandainya   pernikahan

semacam   itu   dibolehkan,  maka  pasti  ayat  tersebut  akan menegaskannya.

 

Larangan perkawinan  antar  pemeluk  agama  yang  berbeda  itu agaknya  dilatarbelakangi  oleh  harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru  akan  langgeng  dan  tenteram

jika  terdapat  kesesuaian  pandangan  hidup  antar  suami dan istri, karena jangankan  perbedaan  agama,  perbedaan  budaya, atau  bahkan  perbedaan  tingkat  pendidikan  antara suami dan istri pun tidak  jarang  mengakibatkan  kegagalan  perkawinan.

 

Memang  ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab  (Ahl  Al-Kitab),  tetapi  kebolehan  itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa as. adalah  Nabi  Allah  pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam--  dapat mentoleransi  dan  mempersilakan  Ahl  Al-Kitab  menganut  danmelaksanakan syariat agamanya,

 

    Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun [109]: 6).

 

Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak  mengakui  Muhammad Saw. sebagai nabi.

 

Di  sisi  lain  harus  pula  dicatat  bahwa  para  ulama  yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl  Al-Kitab,  juga berbeda  pendapat  tentang  makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen,  namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi  ayat  tersebut  sebagai "wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat disini  berarti  wanita-wanita  terhormat  yang  selalu  menjaga kesuciannya,  dan  yang  sangat  menghormati  dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari  penggunaan  kata utuw   yang   selalu   digunakan  Al-Quran  untuk  menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat.  [1]  Itu  sebabnya  ayat tersebut  tidak  menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.

 

Pada  akhirnya  betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl  Al-Kitab, namun  seperti  tulis  Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya. [2]

 

Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar'iyah yang normal, yaitu bahwa suami  memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim --berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya-- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya  terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.

 

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan  bahwa  kalau  apa  yang dilukiskan   di  atas  tidak  terpenuhi  --sebagaimana  sering terjadi pada  masa  kini--  maka  ulama  sepakat  untuk  tidak

membenarkan  perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.

                                              

 

bersabda  kepada  Sailan bin Umayyah, yang ketika itu memiliki sepuluh orang istri.  Pilihlah dari mereka empat oranq (istri) dan ceraikan selebihnya.

 

Di sisi  1ain  ayat  ini  pula  yang  menjadi  dasar  bolehnya poligami. Sayang ayat ini sering disalahpahami. Ayat ini turun--sebagaimana  diuraikan  oleh  istri   Nabi   Aisyah   r.a.--menyangkut   sikap   sementara   orang  yang  ingin  mengawini anak-anak yatim  yang  kaya  lagi  cantik,  dan  berada  dalam pemeliharaannya,  tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang

sesuai serta  tidak memperlakukannya  secara  adil.  Ayat  ini melarang  hal tersebut dengan satu susunan kalimat yang sangat tegas. Penyebutan  "dua,  tiga  atau  empat"  pada  hakikatnya adalah  dalam  rangka  tuntutan  berlaku  adil  kepada mereka.

 

Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang  yang  melarang orang  1ain  memakan  makanan  tertentu,  dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya, "Jika Anda khawatir akan sakit bila makan  makanan  ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda selama Anda tidak khawatir  sakit". Tentu saja perintah menghabiskan makanan  yang lain hanya sekadar untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.

 

Perlu juga digarisbawahi bahwa ayat ini,  tidak  membuat  satu peraturan  tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini.

Ayat  ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya  poligami,  dan  itu  pun merupakan  pintu  darurat  kecil, yang hanya dilalui saat amat

diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.

 

Jika demikian halnya, maka pembahasan tentang  poligami  dalam syariat  Al-Quran,  hendaknya  tidak  ditinjau dari segi ideal atau baik  dan  buruknya,  tetapi  harus  dilihat  dari  sudut pandang  pengaturan  hukum,  dalam  aneka kondisi yang mungkin terjadi.

 

Adalah  wajar  bagi  satu  perundangan  --apalagi  agama  yang bersifat  universal  dan  berlaku  setiap  waktu dan kondisi--untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang  boleh  jadi  terjadi pada  satu  ketika,  walaupun  kejadian  itu  hanya  merupakan"kemungkinan".

 

Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri, atau terjangkiti penyakit  parah,  merupakan  satu kemungkinan yang tidak aneh? Apakah jalan keluar bagi seorang suami  yang  dapat  diusulkanuntuk  menghadapi  kemungkinan  ini?  Bagaimana ia menyalurkan kebutuhan biologis atau memperoleh dambaannya  untuk  memiliki anak?  Poligami  ketika  itu  adalah  jalan yang paling ideal.

 

Tetapi sekali lagi  harus  diingat  bahwa  ini  bukan  berarti anjuran,    apalagi    kewajiban.    Itu   diserahkan   kepada masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Quran hanya  memberi wadah   bagi   mereka   yang   menginginkannya.  Masih  banyak kondisi-kondisi selain yang disebut ini, yang  juga  merupakan alasan   logis  untuk  tidak  menutup  pintu  poligami  dengan

syaratsyarat yang tidak ringan itu.

 

Perlu juga dijelaskan bahwa  keadilan  yang  disyaratkan  olehayat  yang  membolehkan  poligami  itu,  adalah keadilan dalam bidang material.  Surat  Al-Nisa'  [4]:  129  menegaskan  juga bahwa,

 

    Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di    antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin    berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu    cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu    biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu    mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari    kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun    lagi Maha Penyayang.

 

Keadilan  yang  dimaksud  oleh  ayat  ini,  adalah keadilan dibidang imaterial (cinta). Itu sebabnya hati  yang  berpoligami dilarang   memperturutkan   hatinya   dan  berkelebihan  dalam

kecenderungan kepada yang dicintai. Dengan  demikian  tidaklah tepat  menjadikan  ayat  ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya. [TvShia.com]

Kirim komentar