Wawasan Al-Qur'an Tentang Pernikahan bag 1
By: Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai(1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuamiistri (dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Quran menggunakankata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazidiartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagaibentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada
mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".
Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yangberarti "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahanmenjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalamberbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80kali.
Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untukmenggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti "memberi") digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Saw dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).
Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannyadengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akandijelaskan kemudian.
Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan iIlahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat iniditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agarkamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]: 49).
Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dan jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).
Berpasangan Adalah Fitrah
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dandorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu,agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria danwanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehinggaterlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria danwanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilahAl-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akarkata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelahbergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkinkarena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelihtenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah--karena perkawinan-- adalah ketenangan yang dinamis danaktif, tidak seperti kematian binatang.
Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunyakesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan dibidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang: "Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya" (QS An-Nur [24]: 31). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya "Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur [24]: 33) Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan --lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya melakukan praktek-praktek yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa' [4]: 19).
Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di atas turun,masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama sukasampai dengan turunnya surat Al-Nisa' [4]: 22 yang secara
tegas menyatakan.
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah lalu (dimaafkan oleh Allah).
Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi, Aisyah, bahwapada masa Jahiliah, dikenal empat macam pernikahan. Pertama,pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangankepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua,adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinyaapabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan suami istri)dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembaliuntuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunanyang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluhorang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamilkemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompoktersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salahseorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkankepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak bolehmengelak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanitatunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintukediaman mereka dan "bercampur" dengan siapa pun yang sukakepadanya. Kemudian Islam datang melarang cara perkawinantersebut kecuali cara yang pertama. [TvShia]
dari berbagai sumber
Kirim komentar