Toleransi yang Terkoyak
By: Ruhuldy M.Marsaoly*
Ketika rasa damai dan toleransi mulai merekah dan muncul menyembul, tiba-tiba permusuhan membuncah ke permukaan. Sepertinya, tali penghubung dualisme ini sulit bekerja sama. Sebab, bukan persahabatan yang ditonjolkan demi kemenangan, tapi permusuhan yang diprioritaskan, bahkan dipertahankan, diselimuti dan dibendung begitu rapat, sampai tak ada celah. Kenyataan ini membuat banyak orang menjadi resah, gelisah dan bingung karena dihadapkan dengan isu yang tak jelas kebenarannya.
Provokator dan propaganda telah membumi di ruang-ruang bertutur. Isinya tentang klaim kesesatan sebuah ideologi yang dianggap menodai kesucian ajaran Islam Muhammad Saw. Padahal klaim itu tidak pernah diverifikasi kebenarannya. Semua hanya asumsi tidak jelas yang dipintal dengan benang kebencian. Sepertinya episode ini akan terus berlanjut entah sampai kapan. Dalam situasi dan kondisi demikian, di mana posisi NKRI kita? Apa yang dilakukan presiden SBY sebagai pemimpin bangsa ketika berita duka ini terdengar di kupingnya?
Mereka yang diancam menjadi bingung, terkejut bahkan terkaget-kaget ketika ingin mengadu. Kepada siapa mereka akan mengadu. Entah kepada NKRI atau kepada presiden SBY yang dipilih oleh mayoritas warga Indonesia melalui pemilu yang demokratis. Meskipun lesu menghadapi situasi yang tidak kondusif saat ini, mereka tetap menanamkan harapan untuk mengadukan kepada presiden SBY karena beliau adalah pemimpin bangsa ini. Memang ironis, jaminan keamanan saja diragukan, apalagi untuk meresponnya secara konstitusional. Yang jelas, hukum di negara kita hari ini menjadi dilematis. Hanya karena segelintir kelompok yang mengusung label agama, para pemangku kepentingan di negeri ini justru dininabobokan oleh isu-isu sensitif yang tidak pernah diverifikasi itu. Entahlah, apa yang menyebabkan nahkoda negeri ini gamang untuk bersikap menghadapi kelompok intoleran yang semakin menjadi-jadi.
Alangkah uniknya negeri ini, rakyatnya yang terpojok, terasing, tersingkir hingga setingkat dipaksa untuk bubar, tidak dijamin perlindungan dan kebebasan berpendapatnya. Paling menyedihkan ketika korban yang dituduh sebagai aliran sesat tanpa klarifikasi itu justru dipaksa untuk membatasi aktivitasnya, bahkan harus dihentikan. Sedangkan mereka yang intoleran justru dilepas bebas, mengikuti hati ke mana ingin pergi.
Sepertinya memang jelas; makna solidaritas negara ini dilematis dan ambigu antara intoleran atau toleran, pilihan yang menjamah. Lalu semuanya jadi terbalik. Kini dalam bernegara pihak yang intoleran sangat diperbolehkan menuangkan ekspresinya, bahkan dengan bebas mengancam dan menekan pihak lain. Sementara korban yang diancam, ditekan dan dipaksa bubar, tidak diperbolehkan mengeluarkan kuncupnya yang bermekaran sampai ke taman.
Mereka yang toleran hanya memiliki do’a, harapan dan ikhtiar untuk melawan tirani ini. Mereka menghindar dari pertikaian bukan karena pengecut atau penakut. Tapi, demi menjaga keutuhan NKRI yang sedang dirobek-robek. Meski kemanusiaan dan keadilan sedang terkoyak oleh intoleransi. Namun, pemikiran untuk menyuarakannya terus-menerus tidak akan pernah mati, walaupun dikriminalisasi! [TvShia/Islamic-Sources/PurkonHidayat-page]
*Pegiat Filsafat Islam, Sastra dan Budaya di Rausyan Fikr, Yogyakarta.
Kirim komentar