Kisah Ushul Kafi: Dialog Imam Ridha as dengan Abu Qurrah
Kisah Ushul Kafi: Dialog Imam Ridha as dengan Abu Qurrah
Abu Qurrah, seorang pembawa berita di masa Imam Ridha as. Shafwan bin Yahya, sahabat Imam Ridha as mengatakan, "Abu Qurrah meminta saya membawanya kepada Imam Ridha as. Saya kemudian meminta izin kepada Imam Ridha as dan beliau mengizinkan.
Abu Qurrah menemui Imam Ridha as dan bertanya tentang hukum agama dan masalah halal dan haram. Tidak hanya sampai di situ, pertanyaannya melebar hingga masalah tauhid.
Ia bertanya, "Diriwayatkan bahwa Allah ‘bertemu' dan ‘berbicara' dengan dua nabi. Yakni, di antara dua nabi ada yang dipilih bertemu dan ada yang berbicara. Sekaitan dengan berbicara, Allah Swt memilih Nabi Musa dan bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, Allah merupakan entitas yang dapat dilihat."
Imam Ridha as menjawab, "Bila memang demikian dan Allah itu dapat dilihat, lalu siapa nabi yang mengabarkan tentang jin dan manusia, dimana ia tidak dapat memahami hakikat Allah dan keluasan ilmu makhluk tidak dapat membantunya memahami Zat Allah dikarenakan Dia tidak sama dengan apa dan siapapun? Bukankan Nabi Muhammad Saw berkata yang demikian?"
Abu Qurrah berkata, "Iya, Nabi Muhammad Saw mengatakan yang demikian."
Imam Ridha as menjelaskan, "Dengan demikian, bagaimana mungkin nabi yang diutus Allah kepada manusia dan mengajak mereka kepada-Nya lalu berkata kepada mereka bahwa mata mereka tidak dapat melihat Allah, ilmu makhluk tidak dapat membantu untuk memahami hakikat Allah, dikarenakan Dia tidak sama dengan apa dan siapapun, akan berkata, ‘Saya melihat Allah dengan kedua mataku? Saya dapat memahami hakikat Allah? Dia seperti manusia dapat dilihat? Apakah engkau tidak malu? Orang-orang tak beragama dan yang akalnya buta tidak mampu menisbatkan hal yang demikian kepada Nabi Muhammad Saw. Bagaimana beliau mengatakan sesuatu dan kemudian berbicara lagi yang kontradiksi dengan ucapan pertamanya?
Abu Qurrah berkata, "Allah Swt dalam al-Quran surat an-Najm ayat 13 berfirman, "Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain."
Imam Ridha menjawab, "Dalam surat itu di ayat 11 menjelaskan apa yang dilihat Nabi Muhammad Saw dengan firman-Nya, ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.' Yakni, hati Nabi Saw tidak berbohong tentang apa yang dilihatnya. Kemudian Allah masih dalam surat ini di ayat 18 berfirman, ‘Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.' Dengan demikian, tanda-tanda kebesaran ilahi yang dilihat Nabi Saw bukan Zat Allah. Bahkan di surat Thaha ayat 110 Allah Swt berfirman, ‘Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya."
Abu Qurrah bertanya, "Lalu apakah Anda mendustakan riwayat yang mengatakan Nabi Saw melihat Allah?"
Imam Ridha as menjawab, "Saya mendustakan riwayat yang bertentangan dengan al-Quran. Sementara apa yang disepakati oleh umat Islam adalah tidak ada yang dapat mengetahui hakikat Allah, mereka tidak dapat melihat Zat Allah dan Dia tidak sama dengan apa dan siapapun."[1]
Diriwayat lain Shafwan mengatakan, "Abu Qurrah berusaha menjadikan saya sebagai perantara untuk dapat bertemu dengan Imam Ridha as. Saya kemudian meminta izin beliau dan diizinkan. Kemudian Abu Qurrah bertemu dengan Imam Ridha as dan bertanya tentang masalah halal dan haram, sehingga akhirnya ia bertanya, "Apakah Anda menerima bahwa Allah Swt adalah yang dibawa?"
Imam Ridha as menjawab, "Setiap yang dibawa merupakan perbuatan membawa yang dilakukan terhadap yang dibawa dan dinisbatkan kepada yang membawa. Yang dibawa merupakan nama dan artinya ada kekurangan dan bergantung pada sesuatu yang lain yang membawanya. Sebagaimana orang mengatakan atas dan bawah. Kata atas menunjukkan makna terpuji dan bawah menunjukkan kekurangan. Dengan demikian tidak tepat bila Allah Swt juga mengalami perubahan. Karena Allah Swt adalah pembawa dan penjaga segala sesuatu. Kata yang dibawa tidak akan bermakna tanpa bergantung pada yang lain atau yang membawanya. Artinya, Allah Swt bukan yang dibawa. Barangsiapa yang beriman akan keagungan Allah tidak pernah berdoa dengan kata ‘wahai yang dibawa!"
Abu Qurrah bertanya lagi, "Allah Swt dalam al-Quran surat al-Haqah ayat 17 berfirman, ‘Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.' Begitu jua dalam ayat 7 surat Ghafir Allah berfirman, ‘(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy.'
Imam Ridha as menjawab, "'Arsy bukan nama Allah, tapi nama ilmu dan kekuasaan Allah. Sementara ‘Arsy yang menjadi tempat segala sesuatu, kemudian Allah menugaskan para malaikat untuk menjunjung ‘Arsy."
Abu Qurrah bertanya, "Dalam riwayat disebutkan, ‘Setiap kali Allah murka, para malaikat pembawa ‘Arsy merasakan beratnya kemurkaan Allah di pundaknya dan kemudian mereka bersujud. Ketika kemurkaan Allah telah selesai, pundak mereka merasa ringan dan mereka kembali ke tempat awalnya.' Apakah Anda mendustakan riwayat ini?"
Imam Ridha as menolak riwayat ini dan berkata, "Wahai Abu Qurrah! Katakan padaku, ketika Allah melaknat setan dan murka padanya, apakah setan hingga saat ini gembira? Setan tidak pernah gembira, tapi setan, teman dan pengikutnya senantiasa marah. Sesuai dengan ucapanmu, semestinya para malaikat pemikul ‘Arsy masih dalam kondisi sujud, padahal tidak demikian. Itulah mengapa ‘Arsy bukan nama Allah.
Bagaimana engkau berani berbicara tentang perubahan pada Allah dari satu kondisi kepada kondisi yang lain dan menyerupakan-Nya seperti makhluk yang mengalami perubahan, padahal Allah Swt maha suci dari segala bentuk penisbatan ini. Zat Allah tetap dan tidak mengalami perubahan. Semua makhluk berada di bawah kekuasaannya dan diatur berdasarkan kebijaksanaan-Nya. Semua membutuhkan-Nya dan Dia tidak membutuhkan apa dan siapapun."[2]
(IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Kirim komentar