Eskalasi Protes Warga atas Kemungkinan Serangan ke Suriah
Seiring dengan kian kuatnya kemungkinan agresi militer Amerika Serikat ke Suriah, aktivitas kelompok pecinta perdamaian baik di dalam maupun luar Amerika juga meningkat.
Ahad (8/9) ratusan warga anti perang menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Putih dan Kongres Amerika Serikat. Para demonstran dalam aksinya menuntut dihentikannya proses yang bisa berujung pada serangan militer ke Suriah. Gedung Putih mengklaim bahwa pemerintah Suriah berada di balik serangan kimia pada 21 Agustus di timur Damaskus, oleh karena itu AS mempersiapkan peluang untuk menyerang Suriah.
Meski demikian, berbeda dengan klaim Barack Obama, presiden Amerika dan penasehatnya, opini publik AS menolak setiap langkah militer terhadap Suriah. Jajak pendapat yang digelar dalam beberapa hari lalu menunjukkan dari setiap sepuluh warga Amerika, enam di antaranya menentang invasi militer ke Damaskus.
Padahal 12 tahun lalu, sekitar dua pertiga warga AS mendukung serangan militer ke Afghanistan dan dukungan terhadap agresi ke Irak tahun 2003 juga lebih dari 50 persen. Namun kedua perang tersebut berubah menjadi perang yang dibenci oleh masyarakat Amerika, bahkan kubu berkuasa saat itu, Partai Republik pun terpaksa tersingkir dari kekuasaan karena telah mengobarkan dua perang ini.
Kini Partai Demokrat dan Barack Obama tengah mempersiapkan perang terhadap Suriah dan pada saat yang sama aksi demo anti perang di negara ini telah meletus. Dalih utama dukungan publik atas aktivitas anti perang dewasa ini adalah keraguan atas keabsahan peristiwa 21 Agustus serta kelelahan mereka atas perang. Jajak pendapat menunjukkan bahwa sampai saat ini mayoritas warga AS meragukan kebenaran jika pemerintah Suriah terlibat dalam serangan kimia ke timur Damaskus. Mayoritas mereka berpendapat jika memang klaim ini betul, Amerika tidak seharusnya bersikap seperti polisi internasional, langsung bertindak.
Dalam pandangan kelompok ini, apa yang tengah terjadi di Suriah, bukan sekedar kejahatan perang atau bahkan penggunaan senjata inkonvensional, dan jika Gedung Putih komitmen untuk memerangi hal ini maka AS juga harus bertindak sama dalam kasus serupa. Selain itu, pada dasarnya perang di Suriah tidak tercatat sebagai serangan terhadap wilayah dan warga Amerika atau kepentingan nasional Washington di mana untuk mengatasinya darah prajurit negara ini harus tumpah dan menjadi korban atau pajak rakyat digunakan untuk membiayai perang ini.
Bagaimana pun juga, 10 tahun perang, agresi, korban dan petualangan, telah membuat rakyat Amerika benar-benar lelah. Sejak peristiwa 11 September 2001, Amerika telah menggelar dua perang besar dan sekitar 10 operasi militer kecil di seluruh dunia.
Diprediksikan berbagai perang tersebut menelan anggaran langsung sebesar satu trilyun dolar dan tiga trilyun dolar lainnya anggaran tak langsung. Seluruh peristiwa ini berlangsung di saat Amerika menghadapi krisis ekonomi terbesar sepanjang 80 tahun terakhir dan lebih dari 20 juta warga negara ini kehilangan pekerjaan. Tingkat kebangkrutan, penyitaan rumah, kemiskinan dan kesenjangan sosial di Amerika dalam kurun waktu tersebut juga meningkat beberapa kali lipat.
Jika agresi militer ke Afghanistan dan Irak dengan pengorbanan besar baik jiwa maupun harta berakhir dengan kemenangan Amerika, opini publik negara ini masih dapat mentolerir dan siap untuk mendukungnya. Namun untuk kasus Afghanistan saja dapat dikatakan bahwa tidak ada yang patut untuk dirayakan.
Mengingat pengalaman selama perang di masa lalu, kini aktivis perdamaian sebelum penembakan roket dan ditabuhnya genderang perang berusaha mempengaruhi para pembuat keputusan di Gedung Putih dan Kongres. Karena jika mereka yang haus perang memulai perang di Suriah maka tidak ada yang dapat mempredikiskan akhir dari perang ini. Dengan demikian pihak yang kalah sejatinya adalah warga, termasuk warga Amerika Serikat sendiri. (IRIB Indonesia/MF)
Kirim komentar