Strategi Bina-Damai di Sampang

Strategi Bina-Damai di Sampang

Oleh: Rizal Panggabean*

 

Masyarakat sedang menunggu implementasi inisiatif baru pemerintah di bidang penyelesaian konflik antar warga Sunni dan Syiah di Sampang. Bermula dari pertemuan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan wakil-wakil Syiah di Cikeas, pesan yang disampaikan ke masyarakat adalah: Presiden menginginkan proses penanganan pasca konflik dilakukan secepat mungkin, dan Presiden akan memimpin inisiatif tersebut. Turut mendampingi Presiden di Cikeas beberapa menteri kepercayannya, seperti Menseskab dan Menkopolhukkam. Tak ada menteri agama. Apa saja komponen bina-damai (peacebuilding) pasca-konflik untuk Sampang? Jawabnya tergantung kepada apa saja jenis masalah yang dihadapi, dan apa strategi yang paling tepat menangani masalah tersebut.

 

Pertama, rumah-rumah warga Syiah yang terbakar belum dibangun kembali. Pada insiden konflik 26 Agustus 2012, puluhan rumah warga Syiah dibakar. Semua warga Syiah yang rumahnya dibakar kemudian menjadi pengungsi. Yang rumahnya tidak terbakar, tetap di Omben dan Karang Penang, dua kecamatan Sampang yang menjadi lokasi konflik. Yang rumahnya tidak dibakar lebih banyak dari yang rumahnya dibakar.

 

Jadi, unsur pertama bina damai adalah rekonstruksi rumah-rumah yang dibakar. Masalah akan berlarut terus selama puluhan rumah yang terbakar tidak dibangun kembali. Tetapi, rekonstruksi dan rehabilitasi rumah jangan dipisahkan dari proses rekonsiliasi. Warga Syiah dan Sunni dapat bergotong royong membangun kembali rumah-rumah yang terbakar, dibantu aparat polisi, TNI, dan lembaga swadaya masyarakat yang dapat memberikan bantuan teknis.

 

Kedua, masalah pengungsi. Setelah mengungsi sepuluh bulan di GOR Sampang, warga Syiah direlokasi ke rumah susun Puspo Argo, Sidoarjo, Jawa Timur. Ini mengikuti pendekatan yang sering terjadi dalam konflik etnis dan keagamaan, yaitu mentransfer pihak yang lebih lemah ke tempat lain. Pendekatan ini, pernah didukung pemda (Kabupaten Sampang maupun Provinsi Jawa Timur) dan menteri agama, adalah keliru. Pengungsi adalah pengungsi, walaupun tempat baru mereka lebih baik secara fisik dari tempat asal mereka.

 

Karenanya, unsur kedua bina damai adalah repatriasi. Masalah Sampang akan tetap berlanjut terlepas dari ke mana pun warga Syiah mengungsi. Solusi bagi pengungsi adalah memulangkan mereka, bukan mencari tempat mengungsi yang lebih baik. Tentu saja, akan ada penolakan terhadap repatriasi. Tetapi, kalau Presiden dihadapkan kepada pilihan repatriasi atau mengikuti kemauan pihak yang menolak, solusi yang prominen adalah repatriasi.

 

Ketiga, hubungan sosial rusak. Konflik Sunni-Syiah di Omben dan Karang Penang telah merusak jalinan hubungan sosial berbasis hubungan keluarga, antar tetangga, dan kerjasama ekonomi antara warga. Peristiwa tanggal 26 Agustus 2012 mencerminkan hubungan sosial yang rusak karena ketidakselarasan antar-warga yang memiliki keyakinan dan praktik keagamaan berbeda. Kemudian, perilaku kekerasan dan pelanggaran norma serta undang-undang, seperti membakar properti, melukai dan membunuh, yang terjadi dalam insiden konflik, semakin memperparah hubungan yang telah rusak tersebut.

 

Rekonsiliasi, karenanya, menjadi komponen lain bina damai. Mungkin akan ada yang menolak rekonsiliasi, misalnya karena masih ada rasa marah dan benci terhadap orang atau kelompok yang dinilai telah menyakiti. Tetapi, dua hal perlu diperhatikan. Pertama, rasa marah dan benci, serupa perasaan-perasaan kuat lainnya, tidak bertahan dan bahkan cenderung berkurang jika ada inisiatif bina damai yang kuat. Kedua, pihak-pihak yang berkonflik memiliki kapasitas rekonsiliasi. Tetapi, kapasitas ini sulit berkembang dalam situasi konflik yang berlarut. Kalau konflik berlarut, yang berkembang adalah kapasitas dendam. Jadi, inisiatif bina damai Presiden harus kuat, supaya dapat menjadi vocal point yang melunturkan emosi negatif dan memudahkan proses rekonsiliasi.

 

Keempat, penggunaan konfrontasi dan agresi dalam menangani perbedaan praktik dan keyakinan keagamaan. Kelompok-kelompok warga yang berbeda praktik dan keyakinan keagamaan, misalnya Sunni dan Syiah, dapat hidup berdampingan secara damai di Sampang, di Madura, dan di tempat lain di Indonesia. Perbedaan sistem praktik dan keyakinan keagamaan adalah hal yang konstan. Praktik dan keyakinan Sunni dan Syiah sudah berbeda lebih dari 1400 tahun dan kemungkinan besar akan tetap berbeda 1400 tahun ke depan.

 

Yang bervariasi adalah cara menghadapi dan menangani perbedaan tersebut. Komunikasi yang negatif, taktik berkonflik yang keras dan konfrontatif, telah digunakan. Hasilnya adalah bencana yang telah merugikan semua pihak. Yang perlu difasilitasi adalah komunikasi yang santun dan taktik berkonflik nirkekerasan. Inisiatif Presiden harus memfasilitasi hal ini. Bila perlu, pengalaman masyarakat lain di Indonesia, yang warga Sunni dan Syiah di sana hidup berdampingan dengan damai, disosialisasikan di Madura.

Kelima, pola pemolisian yang tidak memadai. Unsur negara yang paling banyak berperan dalam menangani konflik di Sampang adalah Polri. Upaya lembaga ini perlu diapresiasi. Tetapi, penekanan Polri yang berlebihan pada pemeliharaan keamanan dan ketertiban tidak berhasil mencegah ketegangan supaya tidak menjadi kekerasan terbuka, khususnya pada Desember 2011 dan Agustus 2012, dua puncak konflik tertinggi dalam sejarah konflik Sampang.

 

Karenanya, Presiden perlu mendukung Polri supaya melengkapi pendekatan harkamtibmas dengan pendekatan-pendekatan lain. Khususnya, ketika diperlukan, Polri harus berani mengerahkan kekuatan penuh yang terencana dan terukur – full force of law. Supaya kekerasan sektarian dapat dicegah, yang diperlukan bukan tindakan persuasif saja. Juga diperlukan tindakan represif yang legitimate dari Polisi sebagai unsur negara yang diberi kewenangan menggunakan kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan. Ini yang membedakan polisi dari lembaga masyarakat sipil. Pengerahan seribu personil setelah pembakaran dan perkelahian meletus pada 26 Agustus 2012 tak banyak gunanya. Tetapi, pengerahan aparat sebanyak itu, dengan arahan yang jelas, sebelum ketegangan memuncak, akan mencegah kekerasan.

 

Keenam, pemerintah daerah cenderung menjadi bagian dari masalah. Sebelum insiden 29 Desember 2011, dan antara insiden ini dengan insiden berikut pada 26 Agustus 2012, pemerintah daerah tidak berfungsi optimal sebagai pengelola konflik. Dengan berbagai alasan, pemda memihak salah satu pihak yang berkonflik, yaitu pihak yang lebih kuat. Tragisnya, bupati yang lama bahkan beberapa kali memperparah keadaan dengan menghasut publik supaya mengusir warga Syiah, dan meminta Polri dan TNI menuruti permintaannya yang keliru itu.

 

Dalam setahun terakhir, pemerintah daerah terlalu banyak membahas relokasi. Sebaliknya, peran lain yang lebih penting seperti restitusi, restorative justice, procedural justice, dan penegakan keadilan sosial dan ekonomi di Sampang belum menonjol. Inisiatif Presiden, termasuk dengan topangan anggaran yang memadai bagi pemerintah daerah, akan membalik arah pemerintah daerah: Dari sumber masalah menjadi bagian penting pemecahan masalah.

 

Akhirnya, selama ini ada masalah koordinasi dan trust dalam penangangan konflik Sampang. Pihak- pihak yang bekerja di bidang kemanusiaan tidak berkoordinasi; dan yang satu tidak memercayai yang lain. Pemerintah bekerja sendiri; masyarakat sipil penggiat aksi kemanusiaan berjalan sendiri. Akibatnya, ada dua sistem yang paralel, yaitu negara dan masyarakat sipil. Jika masalah ini berlanjut, berbagai dampak negatif yang selama ini ada, seperti kesenjangan dan tumpang tindih program, akan berlanjut pula.

Inisiatif Presiden harus memperkuat kaitan dan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat sipil dalam kerja-kerja bina damai pasca konflik di Sampang. Ini berlaku pada tingkat pusat, provinsi, sampai ke kabupaten dan kecamatan. Ketidakpercayaan dan ketiadaan koordinasi akan merugikan semua pihak, terutama masyarakat Syiah dan Sunni di Sampang.(IRIB Indonesia/beritaprotes/PH)

 

*Dosen Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Kirim komentar