Takfiri dan Punahnya Rasionalitas Beragama

Takfiri dan Punahnya Rasionalitas Beragama

Oleh: Muhammad Ma'ruf

 

"Jangan sampai hinakan pribadimu dengan imitasi, bangunlah, hai kau yang asing terhadap rahasia kehidupan, nyalakan api yang tersembunyi dalam debumu sendiri, wujudkan dalam dirimu sifat-sifat Tuhan. Bangkitlah, ciptakan dunia baru, bungkus dirimu dalam api, dan jadikan seorang Ibrahim, jangan mau tunduk kepada apapun kecuali kebenaran, ia akan menjadikanmu seekor singa jantan. "(Iqbal)

 

Seorang tetua di sebuah kampung di Suriah bertutur sambil menenteng senjata AK-47. "Kami dan para pemuda terpaksa mengangkat senjata mempertahankan desa. Lihat anak-anak muda ini. Mereka mendambakan suatu saat bisa berjihad bertempur melawan tentara Israel, tapi sekarang lihat kita harus bertempur dengan kaum takfiri,". Penuturan ini diasiarkan dalam dokumenter Press TV , "Behind the Line".

 

Dokumenter yang memotret perang Suriah dari kaca mata penduduk, menyisir dari satu kota ke kota lain. Poin pentingya adalah perang Suriah adalah perang yang dipaksakan. Tentu penduduk Suriah ini enggan berteriak takbir saat menarik pelatuk, karena dalam kesadaranya masih tersisa pemahaman, mereka yang menyerang itu masih muslim meski mengusung agenda Israel. Sedang diseberang sana kaum takfiri dengan kesadaran total mereka meneriakkan bunyi takbir dengan menarik pelatuk dengan kesadaran penuh sebagai jihadis. Kaum takfiri tentu tidak mau mau menerima tindakan jihad mereka sebagai agenda zionis.

 

Adegan selanjutnya yang menarik adalah dokumenter yang meliput pertempuran di Homs. Seorang komandan militer Suriah memegang Handy Talky (HT) sedang berbincang dengan seorang jihadis yang juga menggunakan HT. Makian dan sumpah serapah dari jihadis menyembur deras, "kalian kaum kafir...bla..bla...." Kemudian sang komandan Suriah bertanya;

Komandan   :  Apa kamu sudah berhasil membunuh tentara Suriah,

Jihadis                  :  Ya,...

Komandan   :  Kenapa kamu membunuh rakyat juga, ...

Jihadis                  :  Kalian yang mulai,..kami demo damai, kenapa dibunuh

Komandan   :   Apa saran kalian?

Jihadis                  :  Diam (tidak ada suara)....

Komandan   : Bukankah Nabi kita mengajarkan untuk berakhlaqul qarimah,...apa yang kalian inginkan, demokrasi, kebebasan,...mari kita berdialog,...

Jihadis                  :  Saya setuju dengan anda,....

 

Dialog terputus. Adegan ini berlangsung dalam suasana perang yang dipisahkan beberapa gedung,... posisi jihadis terjepit dan mereka lebih memilih mati syahid. Jihadis datang memang untuk mati syahid bukan berdialog. Mungkin dalam pikiran saya, jika dialog terjadi dan mereka bertemu, akan terjadi tukar pikiran tentang bentuk pemerintahan, partai, dll. Meski memakan waktu, semua jihadis di Suriah masih berpeluang akan menjadi muslim yang lebih beradab. Tetapi mungkinkah itu?, jawabanya tidak, karena mereka ingin Suriah menjadi khilafah dan satu-satunya jalan dengan menurunkan Basyar Assad melalui Jihad.

 

Bagaimana dengan agenda Barat (Amerika dan Israel) di balik perang Suriah? "Jika Suriah menjadi Khilafah, insya Allah Palestina bisa merdeka," tutur seorang tokoh salafi London tanpa ragu. Tokoh salafi itu menganggap Syiah dan Iran menjadi penghalang untuk mewujudkan cita-cita khilafah mereka. Seorang penyiar radio AS berkebangsaan Amerika, menimpali sikap Jihadis itu, "Kalian dan temen-temen kalian yang ada Libya, apa sudah berhasil menegakkan khilafah, NATO dan Amerika Serikat ingin Suriah hancur karena satu poros perlawanan dengan Iran melawan Israel. Seorang penyiar Amerika yang berseberangan kepentingan dan ideologinya dengan Iran, masih melihat masalah ini secara rasionalitas. Tapi tidak bagi Jihadis.

 

Rasionalitas

 

Rasionalitas, inilah jawaban yang dapat memandu perang Suriah ke arah yang semestinya. Rasionalitas adalah milik semua manusia, di Barat dan Timur.  Dia bisa menjadi pemandu cita-cita Islam. Kita seperti seolah kehilangan kata-kata untuk menyadarkan kaum takfiri. Mungkin sedikit bisa membantu memahami mereka, meminjam identifikasi Karen Amstrong dalam "The Battle for God: A History of Fundamentalism" (2001), bahwa fundamentalisme radikal agama lahir di penghujung era modern sebagai respons irasionalitas terhadap sekularisme dan krisis spiritual dunia modern. Respon paling mudah dan instan. Mereka dihadapkan pada situasi yang sulit dipahami, bagaimana hidup yang bermakna bagi seorang yang beriman dalam dunia modern dan sekuler.

 

Kalau kita coba menajamkan pemahaman kita dengan beberapa kejadian terakhir dengan cara men-scan secara cepat laju kebohongan demi kebohongan tangan imperialis, kesalahan demi kesalahan dilakukan sebagian umat Muhammad ini.

Awalnya mujahidin di Afganistan dibentuk CIA memerangi Uni Soviet. "Jihad" yang semestinya murni respon terhadap imperialis dalam perkembangan selanjutnya menjadi mainan CIA. Oleh tangan imperialis, "jihad" dikemas diarahkan menjadi "teroris global", untuk menutupi wajah barbar Amerika terhadap rakyat Afganistan dan Irak. Kini seiring dengan Arab Spring dan Kebangkitan Islam, "teroris" dikemas dan disakralkan ulang menjadi paket jihadis, dijual ke kaum jihadis seluruh dunia, hasilnya ternyata laris manis.

Libya kini diperintah jihadis tanpa kejelasan polisi dan militer, sedang minyaknya terus disedot oleh NATO. Suriah sebagai pengganggu Israel, kini juga dihancurkan berkat proyek paket jihadis, dan ilusi "iming-iming khilafah" kian di ujung tanduk, 70% militer Suriah mengontrol Suriah, laporan versi NATO.

 

Seiring dengan kemunduran pemberontak Suriah dan kisruh Mesir, proyek paling gress tangan imperialis selanjutnya mempertajam konflik front anti Suriah, FSA vs Al-Qaeda, Mesir vs Arab Saudi, Qatar, Salafi vs Ihwanul Muslimin. Satu tahun pemerintah Mursi, seharusnya menjadi amal saleh dengan membuka pintu gerbang Rafah untuk membantu kesulitan sesama Ihwanul muslimin dan muslim lain di Gaza. Satu tahun harusnya menjadi berkah dan cepat-cepat untuk memotong tangan Imperialis.

 

Ternyata Mursi lebih memilih jalan gelap, berekperimen dengan Erdogan, membuka lahan khilafah di Suriah, belum jelas arah khilafah di Suriah, jalan itu dipotong oleh Arab Saudi dan Qatar yang sebelumnya satu front. Arab Saudi mendukung kudeta militer Mesir. Sementara Barat bermain di dua kaki, Mursi dan militer Mesir sambil berbasa-basi memainkan lagu lama proyek perdamaian Palestina-Israel.  Potensi konflik jelas, Ikhwanul Muslimin vs .  versus wahabi, Takfiri  vs Manusia non Takfiri. Konsentrasi arah Arab Spring kian pecah, makna kebangkitan Islam dipecah-pecah dalam bingkai tak berpola. Mungkin kaum Islam seradikal apapun memanfaatkan kesempatan, tapi semua kelompok itu tak bisa langsung berhadap-hadapan langsung dengan tentara IDF. Musuh tahu persis seluruh syaraf otak umat Islam, kemana pola dan harapan dapat diakomodasi Zionis.  Kesempatan mengambil tumor "Kanker ganas Israel" di tengah tubuh negara-negara Islam  selalu lewat.

 

Apa makna dari semua itu? Tampaknya, deretan daftar kebodohan umat Islam yang terus berulang  Potensi kekuatan umat hancur berkeping-keping tanpa daya dan kehormatan sedikitpun. Lautan kaum Ikhawanul Muslimin Mesir kini meronta-ronta meminta jalan demokrasi. Sementara tak satupun peluru dari Qatar dan Arab Saudi diberikan untuk pejuang Palestina seperti disindir Sayyed Hasan Nasrullah yang tidak didengar oleh Mursi dan kawan-kawannya. Jika saja dulu Ikhawanul Muslimi percaya dengan Sayyed Hasan, mungkin umat Ikhwanul Muslimin jalanya tidak seperti sekarang.

 

Keprihatinan ini seperti deretan kesalahan yang tidak perlu, menghujam ke dalam dada umat Muhammad, kenapa bisa begitu rapuhnya umat Islam di hadapan Imperialis, dari satu kesalahan menuju kesalahan berikutnya? Kenapa tidak pernah mendengar berita, seluruh umat Islam di dunia baik di medan tempur secara fisik, budaya, ekonomi, sains melawan tangan Imperialis-Israel? Kenapa Amerika yang berjarak ribuan kilo leluasa mengatur umat Islam?. Kenapa saran Imam Khomeini, ide persatuan Sunni-Syiah tidak didengar oleh jihadis dan Ikhwanul Muslimin? Kenapa mereka lebih percaya dengan NATO?

 

Tampaknya, pesan Muhammad Iqbal, (1873-1938) mampu mengartikulasikan dengan baik dan menggugah kesadaran umat  saat ini;

"Hancurkan dunia sampai berkeping-keping bila tidak sesuai denganmu, ciptakan dunia yang lain dari kedalaman wujudmu, betapa pedih manusia merdeka yang hidup di dunia yang diciptakan oleh manusia lain."

 

Jihad dan Khilafah

 

Instan dan malas berpikir adalah kata yang mampu menjelaskan dua kata Jihad dan Khilafah. Dua hal yang berbahaya ini kini dipraktekkan oleh Arab Saudi, Mesir, Qatar dan Turki. Jihad dan Khilafah minus rasionalitas telah menjadikan negara-negara berpenduduk Islam menjadi bangsa yang tidak bisa memotong tangan-tangan imperialis. Berkat irasionalitas ini terbuka peluang bagi Imperialis mengadu domba umat Islam saling berhadapan.

 

Irasionalitas muncul dari kesalahan mengidentifikasi musuh sejati, jihad dan khilafah menjadi berhala ideologi. Fitrah rasio umat Muhammad Saw harusnya bertanya, jika jihad kenapa dengan arahan NATO?, jika khilafah kenapa dengan banjir darah sesama umat?, bukankah masih ada jalan referendum, cara Islami, kenapa rakyat Suriah tidak ditanya baik-baik, ditawarin proposal khilafah, diuji materi ideologinya oleh seluruh aliran dan lapisan masyarakat Suriah, kenapa mereka malah patungan perang di negeri Suriah bukan meruntuhkan arogansi Israel. Jika Ikhwanul Muslimin dan Jihadis benar kenapa sikap pembeo, pengekor negara Barat terus dipraktekkan?, Iqbal dulu sempat menyindir;

 

"Jangan sampai hinakan pribadimu dengan imitasi, bangunlah, hai kau yang asing terhadap rahasia kehidupan, nyalakan api yang tersembunyi dalam debumu sendiri, wujudkan dalam dirimu sifat-sifat Tuhan. Bangkitlah, ciptakan dunia baru, bungkus dirimu dalam api, dan jadikan seorang Ibrahim, jangan mau tunduk kepada apapun kecuali kebenaran, ia akan menjadikanmu seekor singa jantan. "

 

Rasa prihatin Iqbal terhadap negara-negara Arab dulu kini terulang lagi, lalu dari mana kita mulai mengurainya. Satu masukan yang bisa mendedah adalah membongakar isi otak dari pelaku-pelaku kesalahan.

 

Pelajaran berani yang bisa dipetik adalah sudah saatnya mereformasi kembali ideologi Ikhwanul Muslimin dan kaum jihadis. Pola-pola irasionalitas, berpikir, bertindak, mempresepsi yang dipolakan tidak bisa lepas dari strukur pengetahuan dan pandangan hidup mereka. Cara berpikir ala jihadis dan Ikhwanul Muslimin tidak bisa lepas dari cara pandang mereka terhadap Islam, terlepas dari faktor eksternal.

 

Revolusi Tauhid

 

Peluang jangka panjang yang bisa dilakukan adalah menawarkan bahwa Islam sebagai agama dan  peradaban menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal. Berbagai  pihak harus bisa menerima Islam yang ditawarkan. Agama tidak kehilangan rasionalitas. Standar cita rasa Islam universal harus bisa meyakinkan kelompok manapun baik muslim ataupun non muslim. Islam tidak bisa dipersempit dengan gaya keras kepala, orang di luar kelompoknya tidak bisa terus dipaksa mengikuti dengan dalih titah dari Langit.

 

Agar dapat diterima dari berbagai pihak, tidak ada pilihan lain selain dengan menggenggam Islam dengan rasionalitas, menawarkan peluang filsafat dan tasawuf sebagai alat memahami agama. Jika tidak, maka identifikasi penyakit mental umat Islam dan penyakit Barat tidak bisa dikenali dengan baik. Revolusi tidak bisa direduksi dengan khilafah, revolusi bisa dimulai dengan menjaga identitas Islam dengan memotong tangan Imperialis. Tanpa memotong tangan-tangan imperialis; revolusi sains, budayaan, politik tidak akan tercapai. Independensi adalah mutlak bagi negara yang menginginkan Islam sebagai sistem.

 

Khilafah tidak bisa dipaksakan di Turki, karena sebagian masyarakat sudah kadung nyaman dengan sekuler. Kesalahan masa lalu kekhalifahan Turki Usmani dengan mengundang teknisi Barat untuk membangun militer canggih tidak dibarengi membangun fondasi filosofis dan paradigma peradaban yang mengakibatkan krisis identitas bagi otentitas budaya Turki. Berdirinya Republik Turki sekuler yang dipimpin Kemal Ataturk (1881-1938) tidak sekedar mengundang teknisi Barat, tetapi juga mengimpor seluruh bangunan pemikiran Barat, termasuk mengganti huruf Arab menjadi huruf latin. Tanpa etos ilmiah hanya menjadikan industri dan militer menjadi tujuan jangka pendek membuka peluang kesalahan berikutnya. Seperti kita saksikan, Turki belakangan harus mengemis menjadi bagian Eropa. Kolaborasi Turki dengan NATO, "paket hemat Khilafah dan menjaga eksistensi Israel, mempertahankan kepentingan Imperialis" adalah keputusan yang bertolak belakang dengan spirit Islam. Konspirasi saling menguntungkan antara NATO dan Ilusi Khilafah kalau tidak dihentikan akan menjadi sejarah yang buruk.

 

Para tetua Ideolog partai Erdogan dan Mursi harus kembali menyegarkan pemahaman agamanya, mengkonsolidasikan semangat tauhid yang benar sebagai roh revolusi. Mereka harus sadar, membuka jalan penghancuran makam dan masjid, madrasah, membunuh ulama adalah artikulasi semangat tauhid yang salah. Sejatinya, seperti kata Hasan Hanafi, semangat tauhid adalah inti Revolusi Kebangkitan Islam. Murtadha Muthahari mengatakan alam semesta ini unipolar dan uniaksial; alam esensinya berasal dari Tuhan (innalillah) dan kembali kepada-NYA (inna illaihi waji'un).

 

Revolusi tauhid menurut Hasan Hanafi berarti, 1.Revitalisasi khasanah Islam, 2.Menentang imperialisme kultural dan peradaban Barat 3. Analisis atas dunia Islam. Revitalisasi khasanah Islam bisa dengan memajukan sains seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina. "Qanun Fi al-Tibb" dikarang Ibnu Sina lahir dari peradaban Islam, karya ini paling sering diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa era Renaisans abad 13 dan 17. Contoh lain dengan meneladani Umar Khayyam, penyair dan matematikawan peletak dasar geometri analitik, Ibnu Rusdy pemantik rasionalisme Eropa.

 

Secara jujur Hasan Hanafi mengapresiasi Revolusi Iran, "Kaum muslim diperhitungkan kembali dalam sejarah peradaban dunia. Kaum Islam masuk kembali dalam gerak sejarah setelah Revolusi Islam akbar Iran pada permulaan abad 15 H. " Dalam proses sejarah ketiga elemen cita-cita Revolusi tauhid oleh Hasan Hanafi telah diterapkan dan terjadi di Iran. Kesalahan partai Erdogan dan Mursi adalah tidak menerima uluran saudara muslim dari Iran untuk membuat front membendung Imperialis dan Israel. Ajakan revolusi jihad ilmu, memajukan sains dan membangun negara Islam dengan kaki sendiri seolah menjadi nyanyian malaikat yang sepi tak bisa menyapa sesama penyembah Allah swt dan satu umat Muhammad Saw. Ajakan Iran dianggap tidak menarik dan pengusung khilafah malah larut dengan hingar-bingar genderang retorika media Barat.

 

Tragisnya, Iran malah dipetakan bersama Suriah menjadi musuh aqidah dan politik. Erdogan dan Mursi lebih memilih peta jalan Amerika sebagai mitra menghancurkan Suriah. Namun konspirasi memang tak bertuan, langkah keduanya sekarang mulai ada gejala di telikung oleh Barat. Erdogan dan Mursi seharusnya banyak berdialog dengan Sayyid Ali Khameini tentang arti sebuah Revolusi Islam. Mencari titik-titik kesamaan memaknai kebangkitan Islam. Tidakkah kesamaan satu Tuhan dan Al-Quran menjadi dalil yang sangat cukup?

 

Secara tulus Ayatullah Sayyid Ali Khameini, pemimpin spiritual Iran mengakui bahwa jalan Revolusi Islam Iran adalah pelaksanaan dari cita-cita Iqbal.

 

"Kebijakan kita berdasarkan prinsip ‘tidak Timur tidak Barat bersesuaian dengan yang Iqbal sarankan, kebijakan mandiri kita identik dengan pandangan Iqbal. Dan di dalam keyakinan kita bahwa al-Quran dan Islam dijadikan sebagai dasar Revolusi dan pergerakaan kita, kita mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh Iqbal kepada kita ".

 

Sudah saatnya pemberhalaan terhadap ajaran Ibn Taimimiyyah dan ajaran Salafi - Wahabi sebagai standar hidup perlu dikoreksi total, terbukti bukannya membebaskan dari hegemoni asing, malah membuka peluang intervensi secara budaya, politik dan militer. Arab Saudi, Afganistan, Pakistan kini menjadi pusat kaki-kaki imperialisme dunia.

 

Jalan khilafah perlu direvisi, karena sudah menelan darah sesama muslim, bukan darah para syuhada yang harum mengalir akibat pertempuran melawan pasukan zionis atau imperialis. Tumpahan darah 100.000 manusia di Suriah harusnya bisa dihindari jika menggunakan akal sehat (rasionalitas). Gudang-gudang senjata Arab Saudi yang menelan anggaran 39 miliar dolar dapat digunakan dengan semestinya untuk membangun peradaban dan mengurangi dampak kezaliman. Arab Saudi dan Qatar harus merevolusi dirinya, belajar mencari kawan yang benar. Semoga Ibu-ibu muslim di Qatar dan Arab Saudi bisa melahirkan generasi bayi-bayi  seperti Ibnu Sina dan Iqbal. (IRIB Indonesia/PH)

Kirim komentar