Syiah Sampang, Korban Politisasi hingga Kriminalisasi
Purkon Hidayat
Upaya rekonsiliasi konflik Sampang yang dirajut dengan susah payah oleh berbagai pihak saat ini dicederai oleh ulah segelintir pihak intoleran yang terus-menerus memaksakan sikapnya. Sejumlah tokoh agama bersama beberapa pejabat publik Sampang memaksa warga Syiah menandatangani ikrar tobat sejak beberapa hari belakangan ini.
Berdasarkan laporan LBH Universalia, hingga kini 34 orang telah menandatangani ikrar itu karena dipaksa. Sebagian warga Syiah masih belum menandatanginya, dan kini mereka berada dalam tekanan seperti yang dialami Nur Kholis, 22 tahun. Warga desa Karangganyam ini dipaksa bertobat dengan menandatangani sebuah surat pernyataan. Jika menolak, maka nyawa Nur Kholis terancam akan dihabisi oleh warga.
"Katanya itu ancaman dari warga, Pak Kadus (Kepala Dusun) cuma menyampaikan saja. Jika tidak tobat rumah saya akan dibakar, dan saya akan dibunuhlah," tutur Nur Kholis hari Senin (12/8).
Kini, rekonsiliasi Sampang yang dipimpin Prof. Ala membentur dinding. Di Sampang sendiri ditelikung oleh aksi pemaksaan ikrar tobat terhadap warga Syiah. Di luar, sejumlah pejabat publik justru mendukung aksi pemaksaan pindah keyakinan itu. Misalnya sikap terbaru yang ditunjukkan salah seorang anggota DPR. Raihan Iskandar, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai ikrar tobat itu sebagai proses rekonsiliasi yang harus dilakukan.
Politisi PKS ini menegaskan bahwa para pengungsi Syiah mau tidak mau harus mengubah keyakinannya. Jika memang mereka tidak mau mengubah keyakinan, Raihan mengusulkan agar warga Syiah yang diusir dari kampung halamannya melapor ke Kementerian Agama supaya Syiah dijadikan agama baru.
Tampaknya, sikap intoleran yang ditunjukkan politisi partai Islam ini membenarkan temuan Prof Abd Ala beberapa waktu lalu. Rektor IAIN Sunan Ampel mengungkapkan bahwa rekonsiliasi warga Syiah Sampang yang dipimpinnya sudah menyimpang dari tujuan awal. Sebelumnya, rekonsiliasi digelar guna mengembalikan warga Syiah ke kampung halamannya dengan alami tanpa pemaksaan.Tapi rekonsiliasi damai itu diacak-acak dengan adanya pemaksaan ikrar pertobatan terhadap warga Syiah Sampang baru-baru ini.
Warga Syiah, Korban yang harus Dilindungi Negara
Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menilai warga Syiah Sampang sebagai korban yang harus dilindungi hak-hak dasarnya.
"Pemerintah hanya menciptakan diskursus, tetapi tidak memberikan jaminan hak konstitusi warga Syiah," kata Haris Azhar, seperti dilansir Tempo Sabtu (10/8).
Koordinator Kontras memandang proses rekonsiliasi hanya membenarkan diskriminasi terhadap warga Syiah karena harus sepakat. Dalam rekonsiliasi warga Syiah dipaksa mengurangi haknya demi tercapai kesepakatan. Menurutnya, langkah pemerintah ini tidak menjamin hak warga Syiah seperti sedia kala.
Undang-Undang Dasar 1945 Ayat 28 dan 29, Undang-Undang HAM, dan Undang-Undang tentang Konvensi Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia jelas mengatur pentingnya penghormatan terhadap keyakinan antarumat beragama, termasuk bagi penganut syiah di Sampang.
Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali."
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Penodaan Agama:Tuduhan yang Tidak terbukti
Derita warga Syiah Sampang hingga kini tidak kunjung surut. Mereka hanya diperbolehkan pulang ke kampung halamannya, jika bersedia menandatangani ikrar pertobatan. Keyakinan Syiah yang mereka anut terus-menerus dipersoalkan oleh pihak-pihak intoleran, terlebih di Sampang.
Direktur LBH Universalia, Hertasning Ichlas mengatakan, warga Syiah Sampang dipaksa untuk menandatangani sembilan ikrar di hadapan tokoh agama dan penguasa lokal. Mereka harus syahadat ulang dan menganggap ajaran Tajul Muluk sesat dan kembali ke Ahlus Sunnah. Hingga kini pemimpin mereka Tajul Muluk masih mendekam dalam tahanan.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sampang menyebutkan Tajul terbukti melanggar Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penodaan Agama. Dia divonis 2 tahun penjara.
Berbagai lembaga kemanusiaan dan hak asasi manusia menilai keputusan itu cacat hukum. Sejumlah pakar dan penegak hukum juga menilai ada kejanggalan terhadap proses peradilan.
"Ada alat bukti yang diabaikan oleh majelis hakim," kata Zahru Arqom.
Misalnya, menunjuk keterangan terdakwa dan sejumlah saksi yang diabaikan hakim. "Begitu pula dengan alat bukti berupa Al-Quran dan keterangan sejumlah saksi ahli," tegas anggota tim ekseminator kasus Tajul Muluk.
Tim juga menilai hakim tak berimbang menghadirkan saksi. pir seluruh saksi yang diminta bersaksi mewakili kelompok yang menyerang Tajul dan persidangan justru mempertentangkan Sunni-Syiah yang berada di luar wilayah pengadilan.
Selain itu, tim menemukan hanya ada satu saksi netral. "Namun keterangannya diabaikan," tegas advokat dan dosen luar biasa UGM.
Kritik dan penolakan terhadap keputusan Majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang terhadap Tajul Muluk mengalir deras dari Aliansi Solidaritas Kasus Sampang, yang terdiri dari Kontras, YLBH-Universalia, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Surabaya, HRWG, Sejuk, Elsam, ILRC, Aman Indonesia, ANBTI, ICRP, dan Ahlul Bait Indonesia.
M. Faiq Assiddiqi, pengacara hukum Tajul Muluk menyayangkan putusan hakim. Sebab, tuduhan penistaan kitab suci Alquran yang disebutkan hakim tidak terbukti. "Dalam persidangan sebelumnya sudah kami sampaikan al-Quran yang dipakai klien saya sama seperti al-Quran yang dipakai umat Islam lainnya," tandasnya.
Sementara itu LSM Kontras menilai vonis Tajul Muluk di pengadilan negeri Sampang tidak relevan. Koordinator Kontras Surabaya, Andy Irfan mengatakan hakim hanya mengambil dasar rujukan keterangan saksi semata, sehingga Tajuk Muluk menjadi korban ketidakadilan hakim.
"Ini kan sangat lemah, pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim sangat lemah, dan menunjukan bahwa ini seolah-olah Tajul Muluk harus dihukum. Artinya hakim dalam posisi ini, lebih kepada mengedepankan, atau lebih memenuhi tuntutan dari beberapa kelompok, yang menginginkan Tajul Muluk untuk ditahan, bukan dalam konteks mencari kebenaran dan keadilan sesungguhnya,"tutur Andy.
Aliansi Solidaritas Kasus Sampang memandang vonis hakim memaksakan putusannya hanya dengan dasar taqiyyah tentang asli dan tidaknya sebuah al-Quran yang diajarkan Tajul Muluk tanpa bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Putusan ini telah melanggar prinsip Non-Self Incrimination pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005: asas itu mengatur dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan diri sendiri atau mengaku bersalah padahal bukti-bukti dan saksi menunjukkan sebaliknya, " kata siaran pers Aliansi Solidaritas Kasus Sampang pada 16 Juli 2012 lalu.
Gabungan LSM itu memandang peradilan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan dan dipaksa bersalah sebelum terbukti secara hukum. Asas itu mengatur bahwa dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan diri sendiri atau mengaku bersalah.
Sementara itu, hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama baru-baru ini menyatakan tidak ada yang salah dengan paham Syiah yang dianut warga Sampang, Madura. Menurut Peneliti Balitbang Kementerian Agama Wahid Sugiarto, hal ini juga sesuai dengan Deklarasi Oman yang menyatakan ajaran Syiah sah.
Dari hasil penelitian tersebut, Balitbang mengeluarkan rekomendasi agar warga Syiah Sampang bisa diterima. Selain itu, rekomendasi juga menyatakan perlu adanya proses penyadaran bagi para ulama di Sampang untuk melaksanakan empat pilar kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya sikap toleransi.(IRIB Indonesia/PH)
Kirim komentar