Yaumul Quds: Israel Yang Meluruh
Langganan menerima berbagai penghargaan jurnalistik, Jeffrey Goldberg memang bukan wartawan sembarangan. Keturunan Yahudi AS yang pernah menjadi prajurit Angkatan Bersenjata Israel di berbagai perang itu adalah salah satu tangki pemikir elit rezim Zionis Israel hingga hari ini. Berbagai tulisannya dipandang mencerminkan suara autentik “negara” Yahudi di media massa AS.
Dalam liputan utama sepanjang 12 halaman di majalah bulanan The Atlantic edisi Mei 2008 silam, Jeffrey Goldberg menguji kemungkinan bertahannya entitas Israel di kawasan Timur Tengah.
Dalam artikel panjang itu, Godlberg memulai tulisannya dengan rangkaian pertanyaan: “Bagaimana Israel bisa bertahan hidup 60 tahun lagi di belahan dunia yang sudah membesarkan kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas? Bagaimana Israel bisa berkembang bila angkatan bersenjatanya tak bisa mengalahkan gerombolan kecil para peluncur roket Hizbullah? Apakah penumpukan begitu banyak Yahudi di tempat yang demikian kecil hingga menimbulkan klaustrofobia di kawasan dunia paling bergejolak itu justru melemahkan daya tahan masyarakat Yahudi?”
Dalam tulisan itu, Godlberg tampaknya berusaha menjawab berbagai kegalauan eksistensial rezim zionis Israel, sembari menimbang ancaman internal yang—menurutnya—terus berusaha menggagalkan solusi dua negara.
“Saya khawatir. Kalian bisa mencoba bertahan dari ancaman luar sebaik mungkin, tapi kalian juga harus waspada dengan ancaman dari dalam,” tulis Goldberg. “Saya benar-benar khawatir terhadap masa 10 sampai 15 tahun Israel di depan. Saya khawatir dengan delegitimasi, dan delegitimasi adalah proses yang (masyarakat) Israel sendiri bisa ikut serta melakukannya,” imbuhnya.
Goldberg melanjutkan, “Kalangan Yahudi Amerika khususnya harus menyadari bahwa segala sesuatunya sangat rapuh.” Lantas, Goldberg menekankan bahwa bertanya tentang pertanyaan terbesar (masa depan eksistensi Israel) adalah baik, meski tak pernah memberi jawaban yang jelas.
Penulis dan ekspatriat Israel, Leonard Fein, memerikan artikel Goldberg sebagai tulisan yang “merusak secara tidak perlu.” Katanya, “Hati saya hancur. Saya merasa kelam, tapi saya pikir kita memang telah merusak (peluang) yang ada.”
Pendiri majalah Moment itu meneruskan, “Sementara saya menghargai kemajuan ekonomi dan sumbangan ilmiah [Israel], saya miris meramalkan apa yang akan terjadi pada 60 tahun mendatang…”
Apa yang disampaikan Goldberg 5 tahun silam itu, tepatnya Mei 2008, tampaknya terus menghantui elit politik dan militer di negeri itu. Bagaimana tidak? “Negara” yang berdiri di atas tanah milik bangsa lain itu kini sedang berada di pusaran torpedo yang dahsyat. Dua tiga negara yang tampak begitu kuat dan berakar dalam ribuan tahun lamanya, seperti Irak dan Suriah, bisa mendadak oleng, apatah lagi dengan negara buatan yang ditanam oleh rezim penjajah yang datang nun jauh dari wilayah itu.
Ketakutan dan kegelisahan bangsa ini dapat kita lihat setiap hari dari serangkaian analisis dan komentar media massa mereka sendiri.
Hampir setiap hari barang satu dua analisis dari para pemikir Yahudi yang mulai mempertanyakan makna dan maslahat kehadiran negara eksklusif Yahudi di tengah-tengah lingkungan yang sama sekali menolaknya. Kian hari kian jelas bahwa Israel ibarat minyak di tengah puluhan juta liter danau yang tak mampu melebur.
Kegelisahan dan kegamangan eksistensial itu makin terlihat dari keragu-raguan keputusan-keputusan elit Israel dalam menghadapi semua perubahan yang terjadi di sekitarnya. Ia tak lagi tampak seperti Israel di tahun 70-an dan 80-an yang gampang menyerang dan menginvasi negara lain. Kini, bahkan untuk menyerang sepetak tanah Gaza atau Libanon Selatan saja, ubun-ubunnya sudah terasa bergetar keras.
Bagaimana tidak? Amerika yang menjadi ibu kandung saja kini bagai badak kehilangan culanya menghadapi guncangan-guncangan Timur Tengah, apalagi Israel.
Bukan suatu kegilaan lagi tampaknya bila sebagian peneliti berpikir bahwa rezim palsu yang dicangkok di tanah asing itu bakal segera lenyap dari peta kawasan, berganti menjadi sebuah negara asli bernama Palestina dengan segala konsekuensi suka-duka berbagi tanah dan kuasa dengan penduduk yang ada di sana.
Hampir tak ada lagi orang pandai yang menganggap kesirnaan Israel sebagai ide pandir di Timur Tengah, kecuali mungkin sebagian kecil orang-orang sok-pintar yang duduk jauh dari kawasan dan menonton kejadian hanya dari layar kaca.
Akhirnya, selamat Memperingati Yaumul Quds di Jumat terakhir Ramadhan 1434 H, tepatnya 2 Agutus 2013. (Islam Times)
Kirim komentar