Malala Yousafzai dan Ancaman Transnasional Taliban

Malala Yousafzai dan Ancaman Transnasional Taliban

Dina Y. Sulaeman*

Malala Yousafzai, gadis remaja yang kepalanya ditembak Taliban sepulang sekolah,  kini telah sembuh dari luka parah yang dideritanya. Kejadian penembakan itu membuat dunia internasional tersentak. Ternyata, di zaman semodern ini, masih ada kelompok yang melarang anak perempuan sekolah. Dan parahnya, larangan itu dilakukan atas nama Islam, agama yang justru sangat mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Eropa bisa keluar dari Abad Kegelapan justru setelah berkenalan dengan khazanah keilmuan Islam.

 

Malala, meski masih belia (lahir 12 Juli 1997), aktif memperjuangkan hak pendidikan bagi anak-anak perempuan di tanah kelahirannya, yang selama ini dirampas oleh Taliban. Dia fasih berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris, sehingga suaranya terdengar jauh ke berbagai penjuru dunia. Dia diwawancarai banyak media dan bahkan ada jurnalis Barat yang membuat film dokumenter  khusus tentangnya. Ini rupanya membuat Taliban semakin naik pitam dan memutuskan menembaknya. Pada tanggal 10 November 2012, Sekjen PBB mencanangkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Malala yang menandai perjuangan untuk menunaikan hak pendidikan bagi anak perempuan sedunia.

 

Pada tanggal12 Juli 2013, Malala pun diundang memberikan pidato di hadapan Majlis Umum PBB, yang dihadiri oleh Sekjen PBB, Ban Ki Moon. Pidatonya sungguh luar biasa, apalagi mengingat usianya yang baru 16 tahun. Bagian yang paling menarik adalah betapa beraninya Malala mengungkapkan ‘hakikat' Taliban yang sebenarnya. Berikut ini kutipannya.

Saudara-saudaraku, ingatlah satu hal: Hari Malala bukanlah hari saya. Ini adalah hari untuk setiap wanita, setiap anak, dan setiap gadis yang telah bersuara untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Ada ratusan aktivis hak asasi manusia dan pekerja sosial yang tidak hanya berbicara untuk memperjuangkan hak-hak mereka, tapi juga berjuang untuk mencapai perdamaian, pendidikan, dan kesetaraan. Ribuan orang telah tewas di tangan teroris dan jutaan telah terluka. Saya hanya salah satu dari mereka. Jadi di sinilah saya berdiri, saya hanyalah satu gadis di antara sekian banyak lainnya. Saya berbicara bukan untuk diri saya sendiri, tapi untuk mereka yang suaranya tidak dapat didengar. Mereka yang telah berjuang untuk meraih hak-hak mereka. Hak mereka untuk hidup dalam damai. Hak mereka untuk diperlakukan dengan hormat. Hak mereka untuk mendapatkan kesempatan yang setara. Hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.

Teman-teman, pada tanggal 9 Oktober 2012, Taliban menembak bagian kiri kepala saya. Mereka menembak teman-teman saya juga. Mereka mengira bahwa peluru akan membungkam kami, tetapi mereka gagal. Dan dari keheningan itu, muncullah ribuan suara. Para teroris mengira mereka akan mengubah tujuan saya dan menghentikan cita-cita saya. Tapi tidak ada yang berubah dalam hidup saya kecuali ini:bahwa kelemahan, ketakutan,dan keputusasaan sudah sirna.  Sebaliknya, kekuatan, kekuasaan, dan keberanian telah lahir. Saya adalah Malala yang sama. Cita-cita saya tetap sama. Harapan saya tetap sama. Dan impian saya tetap sama.

Saudara dan saudariku, saya tidak melawan siapa pun. Saya berbicara di sini bukan untuk balas dendam pribadi terhadap Taliban atau kelompok teroris lainnya. Saya berada di sini untuk berbicara tentang hak pendidikan bagi setiap anak. Saya menginginkan pendidikan bagi putra dan putri dari Taliban dan semua teroris dan ekstremis. Saya bahkan tidak membenci anggota Taliban yang menembak saya.

Bahkan jika ada pistol di tangan saya dan dia berdiri di depan saya, saya tidak akan menembaknya. Ini adalah welas asih yang saya pelajari dari Nabi Muhammad, Nabi yang Pengasih, dari Yesus Kristus, dan Buddha. Inilah warisan perubahan yang saya dapatkan dari Martin Luther King, Nelson Mandela, dan Mohammed Ali Jinnah.

Inilah filosofi tanpa kekerasan yang telah saya pelajari dari Gandhi, Bacha Khan, dan Ibu Teresa. Dan ini adalah sikap pemaaf yang telah saya pelajari dari ayah dan ibu saya. Ini adalah apa yang disampaikan oleh jiwa saya: menjadi jiwa yang damai dan mencintai semua orang.

Saudara dan saudariku, kita menyadari pentingnya cahaya ketika kita melihat kegelapan. Kita menyadari pentingnya suara kita,ketika kita dibungkam. Dengan cara yang sama, ketika kami berada di Swat, bagian utara Pakistan, kami menyadari pentingnya pena dan buku ketika kami melihat senjata. Orang bijak berkata, "Pena lebih tajam dari pedang." Memang benar. Para ekstremis takut pada buku dan pena. Kekuatan pendidikan menakutkan mereka. Mereka takut perempuan. Kekuatan suara perempuan menakutkan mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka membunuh 14 siswa dalam serangan terbaru di Quetta. Dan itulah mengapa mereka membunuh guru perempuan. Itulah mengapa mereka meledakkan sekolah setiap hari. Karena takut perubahan dan kesetaraan yang akan kami bawa ke tengah masyarakat kami. Dan saya ingat bahwa ada seorang anak di sekolah kami yang ditanyai oleh wartawan, "Mengapa Taliban menentang pendidikan?" Anak itu menjawab dengan sederhana, dengan menunjuk bukunya, "Karena seorang talib tidak tahu apa yang tertulis dalam buku ini."

Mereka berpikir bahwa Allah adalah ‘makhluk' kecil yang konservatif, yang akan menodongkan senjata ke kepala seseorang hanya karena orang itu pergi ke sekolah. Para teroris ini menyalahgunakan nama Islam untuk keuntungan pribadi mereka sendiri. Pakistan adalah negara demokrasi cinta damai. Etnis Pashtun menginginkan pendidikan untuk anak perempuan dan anak-anak mereka. Islam adalah agama perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan. Setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan. Perdamaian sangat dibutuhkan bagi [terselenggaranya] pendidikan. Di banyak bagian dunia, terutama Pakistan dan Afghanistan, terorisme, perang, dan konflik membuat anak-anak terhalang ke sekolah. Kami benar-benar lelah dengan perang-perang ini."

 

Malala, telah mengingatkan dunia betapa berbahayanya ideologi yang diusung oleh Taliban, yaitu Wahabisme. Taliban berarti "pelajar"; yaitu pelajar di madrasah-madrasah yang didirikan oleh misionaris Wahabi dari Arab Saudi. Mereka awalnya berjuang untuk mengusir Soviet. Namun, setelah Uni Soviet terusir, Taliban justru memperkenalkan sebuah bentuk pemerintahan ber-"syariah Islam" yang mengerikan (antara lain, perempuan diwajibkan mengenakan burqa, dilarang sekolah dan bekerja; perempuan lebih baik mati daripada ditangani oleh dokter laki-laki).

 

Pasca terror 9-11, AS menyerbu Afghanistan dan menumbangkan Taliban dengan alasan Taliban telah menyediakan tempat berlindung bagi Al Qaida. Taliban dan Al Qaida memang secara lahiriah tampak sebagai organisasi berbeda, namun ideologi dan cara-cara yang dipakainya sama. Taliban pun secara terbuka menyatakan mendukung agenda Al Qaeda. Pasca 9-11, Taliban memindahkan  pusat aktivitasnya ke Pakistan, dan tetap menggunakan cara-cara kekerasan atas nama Islam. Malala, adalah satu di antara sekian banyak korbannya di Pakistan.

 

Namun sayangnya, banyak yang mengabaikan peringatan dari Malala. Bahkan, mereka membiarkan (bahkan mendukung) ideologi yang sama,yang kini tengah disebarluaskan di berbagai penjuru dunia, dengan berbagai ‘nama'dan ‘wajah'. Misalnya, di Suriah, ideologi ala Taliban dibawa oleh pasukan pemberontak yang tergabung dalam Jabhah al Nusrah (yang secara terbuka juga mengaku berafiliasi dengan Al Qaida).  Tak heran bila cara-cara teror ala Taliban banyak dipakai kelompok pemberontak di Suriah, antara lain meledakkan sekolah dan universitas. Laporan dari Save the Children menyebutkan bahwa 22% dari 22.000 gedung sekolah di Suriah kini sudah tidak bisa digunakan lagi. Bahkan baru-baru ini terungkap bahwa Taliban Pakistan telah mendirikan markas di Suriah untuk membantu para jihadis.

 

Dan buat bangsa Indonesia, ancaman ala Taliban pun sudah ada di depan mata. Upaya-upaya perekrutan jihadis Indonesia secara terang-terangan untuk dikirim ke Suriah adalah salah satu indikasi yang sangat jelas dari keberadaan anasir-anasir Taliban di negeri ini. (IRIB Indonesia/PH)

*mahasiswi Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate Global Future Institute, penulis buku ‘Prahara Suriah'.

Kirim komentar