Rancangan dibalik Teror Suriah

Rancangan dibalik Teror Suriah

Clare Daly dalam sebuah pidato luar biasa berani di depan Parlemen Irlandia menyebut Obama sebagai penjahat perang dan hipokrit  abad ini.  Dia benar, kebijakan kriminal Obama cukup banyak, termasuk membantu teroris di Suriah. Tapi harus diingat bahwa Obama hanyalah sebuah instrumen hidup. Ada faktor lain di balik aksi-aksi Obama itu.
 
Isu mendukung dan mempersenjatai teroris Suriah cukup mampu mengalihkan perhatian dunia dari ancaman yang ditimbulkan Israel. Mantan Kepala Intelijen Israel, Amos Yaldin dalam Forum Kebijakan Israel yang diselenggarakan Februari lalu mengatakan, "Dan militer ini (militer Suriah) yang merupakan ancaman besar bagi Israel kini mulai lemah dan, mengalami disintegrasi. Kita masih memiliki risiko di Suriah, risiko berubahnya Suriah menjadi negara al-Qaeda, sejenis Somalia. Tapi dari sudut pandang militer, negara ini tidak begitu berbahaya dibanding tentara reguler Suriah."  

Membuat musuh saling membunuh satu sama lain adalah taktik ulung yang sudah digunakan dalam perang 8 tahun Iran-Irak. Menurut Leon Wieseltier, perang Iran-Irak itu cukup mengganggu Israel yang sedang berada di selatan Libanon. Dalam perang Iran-Irak itu, Amerika menyuplai senjata dan dukungan intelijen untuk kedua belah pihak. Ketika ditanya apa logikanya, mantan pejabat itu menjawab, "Anda harus berada di sana." Lalu muncul pertanyaan, kenapa harus Suriah? 

Para pemimpin awal Zionis bertugas mengontrol dan mengamankan perairan di kawasan itu. Tahun 1919, dalam Konferensi Perdamaian Paris, Chaim Weizmann menyatakan bahwa Israel jangan hanya mengamankan semua sumber daya air yang menyuplai 'negara' itu, tapi harus  mengontrol sumber air juga. Pemerintahan Yishuv pun menjalankan kebijakan tersebut, sampai sekarang. Bahkan Perdana Mentri Israel ketiga, Levi Eshkol mengatakan air bak darah yang mengalir lewat arteri-arteri Israel.   

Jadi, kekacauan di Suriah saat ini telah dirancang dengan bantuan dan dukungan Israel demi mengakomodasi agenda ekspansi Israel dan pengendalian persediaan air di kawasan Timur Tengah sambil melemahkan musuh-musuhnya.  

Israel pernah menghadapi musim kering paling dahsyat tahun 1990-1991. Lalu kekeringan tahun 1998 memaksa Israel mengalihkan diri pada Turki yang kaya air. Turki dan Israel pun terlibat negosiasi serius sejak Mei 2000. Sedianya, Israel akan mengimpor 50 milyar m3  air tawar dari Turki dengan kapal tanker. Tentu saja hal itu tidak efektif. Maka rencana alternatif pun dirancang.  

September 2000. Bashar al Assad yang masih muda menjadi presiden Suriah menggantikan ayahnya. Sementara itu, sebuah makalah berjudul "Geopolitik Air" ditulis oleh Institute for Advanced Strategic and  Politic Studies (IASPS). Dalam makalah itu, pemasangan pipa dan jaringan energi besar dibutuhkan untuk menyediakan air secara luas di Israel. Karena itu dibutuhkan sebuah struktur politik dan militer yang dapat menjamin keselamatan tranfer air. Tapi saluran pipa yang langsung menuju Turki, tentu saja, harus melewati Suriah. 

Sebelumnya, pertengahan 1990-an Haim Saban, keturunan Mesir yang lahir di Israel dan salah satu pemilik media besar di Amerika, mulai  terlibat dalam dunia politik lewat dukungannya pada Israel. Saban mengaku dia sangat ingin melindungi Israel. Dalam sebuah konferensi di Israel, Saban mengajukan metodenya demi mempengaruhi politik Amerika; sumbangan terhadap partai politik, membangun think tank, dan mengontrol media.  

Tak heran, tahun 2002, Saban menjanjikan $ 13 juta untuk membentuk sebuah badan  riset di Brookings Institution. Badan itu diberi nama Pusat Saban untuk Kebijakan Timur Tengah. Pusat itu nantinya akan sangat berperan penting dalam menopang 'oposisi' Suriah.  

Lalu tahun 2006, Time Magazine mengungkapkan bahwa Amerika yang sok menjadi hansip dunia, telah melakukan agitasi, pendanaan, dan mendukung 'oposisi' di Suriah. Menurut majalah itu, AS mendukung pertemuan rutin aktivis Suriah, baik internal atau yang tersebar  di Eropa. Diharapkan, pertemuan itu akan memfasilitasi strategi yang lebih koheren dan rencana aksi untuk semua aktivis anti Assad.  

Dukungan Amerika pada 'oposisi Suriah' yang meliputi penjahat, teroris, dan pejuang asing untuk mengubah rezim di negara itu sekali lagi membuktikan kemunafikan Amerika. Dalam Menurut Advokasi Penggulingan Pemerintah Amerika (Cornell Law) disebutkan bahwa upaya menganjurkan/mengorganisir/membantu/mengatur sebuah masyarakat atau kelompok untukmenggulingkan pemerintah Amerika yang sah memiliki konsekuensi serius, termasuk denda dan hukuman penjara hingga 20 tahun.  

Dan dalam laporan Time Magazine di atas, Amerika telah membantu oposisi dan melemahkan Assad lewat yayasan pimpinan Amar Abdulhamid, salah satu anggota oposisi Suriah bernama Front Keselamatan Nasional (NSF) yang berbasis di new York. Abdulhamid aktif di Pusat Saban (2004-2006) sebelum pindah ke Pertahanan Nasional Demokrasi yang dikelola Neocon.

Tahun 2008, tokoh utama Israel, Dennis Ross bertemu dengan 'oposisi' untuk membahas 'Transisi Suriah'. Amar Abdullhamid juga hadir di sana. Lalu bulan Februari 2009, Dennis Ross bergabung dengan tim administrasi Obama. Dan bulan April 2009, TV Baradaa yang didanai AS dan berbasis di London memulai propaganda anti Assad di Suriah. Pemimpin Redaksi TV Baraada, Malik al-Abdeh, adalah pendiri Gerakan Keadilan dan Pembangunan untuk warga Suriah yang berada di pengasingan yang saat ini dipimpin oleh Anas al-Abdah. Dan Anas juga hadir dalam pertemuan tahun 2008 dengan Dennis Ross.  

Jadi jangan heran jika John McCain yang menjadi anggota Komite Pembebasan Irak (CLI) yang dibentuk demi membersihkan Irak dari Saddam Hossein; pemandu sorak untuk intervensi Libya, oposisi Mesir dan pemboman Iran dan aksi buruk lainnya itu blusukan ke Suriah untuk mengunjungi 'oposisi' Suriah (lewat Turki). Dan sebagaimana yang diharapkan, McCain kembali melakukan orasinya; bukan di Gedung Putih tapi di Pusat Saban!
 
Segera setelah presentasi McCain di Pusat Saban, Gedung Putih langsung membantah pernyataan PBB dan menyatakan, Suriah telah menyeberangi 'garis merah' karena  menggunakan senjata kimia terhadap teroris di negara itu.
 
Banyak sekali pihak yang melembagakan kebijakan Israel dan mempromosikannya sebagai 'kepentingan Amerika' seperti think tank, forum, dan pakar media di AS atau negara lain. Tapi kita tak boleh lupa pendukung lain Zionis. 
 
Meski banyak kelompok di Washington yang mendukung kebijakan agresif dan ekspansionis Israel, tapi tak satu pun kelompok yang begitu bersemangat dan bergairah seperti kaum Injili. Menurut model dispensasional, ketika kekacauan akan terjadi, orang-orang beriman akan 'diangkat' menjauh sebelum kekacauan terjadi. Periode kesusahan akan berujung pada pertempuran terakhir di Armageddon, sebuah lembah di barat laut Yerusalem. 

Hubungan dekat antara evangelis Amerika dan Israel menjadi tujuan sangat jelas bagi politisi Israel, terutama di Partai Likud. Menurut Rabbi Marc Tanenbaum dari AJC, "Komunitas injili merupakan blok terbesar dan tercepat dalam mengembangkan sentimen pro-Yahudi di negara ini." Israel dan organisasi Yahudi terus bergantung pada dukungan evangelis untuk menjustifikasi pendudukan Israel di tanah Arab.

Sebagai contoh, beberapa hari setelah penyerbuan Libanon bulan Juni 1982 (dengan lampu hijau dari Reagan), muncul iklan satu halaman penuh di koran terkemuka AS yang meminta evangelis mendukung invasi itu. Tahun 1998, ketika Benjamin Netanyahu mengunjungi Washington, dia bertemu dengan Jerry Falwell dan banyak fundamentalis Kristen sebelum bertemu dengan Presiden Clinton. Demikian pula, baru-baru ini,  April 2013, Pat Robertson memperingatkan bahwa Amerika akan mendapat hukuman jika bersedia menjadi perantara perdamaian antara Israel dan Palestina.
 
Bahkan dana dari Kristen sayap kanan di Amerika telah disalurkan ke Tepi Barat. Walikota Ariel di Tepi Barat menyatakan bahwa 2/3 pemukiman Yahudi dibangun dengan dana Kristen Zionis.
 
Meski banyak evangelis yang benar-benar siap dan mendorong agenda ekspansionis Israel tapi politisi Israel belum siap untuk menghadapi Armageddon.
 
Bulan Maret lalu, Business Inside mengungkapkan, Amerika menghabiskan ratusan juta dolar untuk membangun bunker di Israel yang harus selesai 900 hari sebelum 13 Februari 2013. Proyek yang disebut Site 911 itu memiliki 5 tingkat  di bawah tanah dan 6 bangunan luar. Luasnya sekitar 127 ribu m3. Di 3 lantai pertama ada ruangan kelas, auditorium, dan laboratorium (semua terletak di balik pintu anti guncangan) dengan proteksi radiasi dan keamanan besar-besaran. Hanya ada satu gerbang yang bisa dilalui pekerjanya untuk keluar masuk selama proyek pembangunan itu yang dijaga ketat oleh Israel. Setiap pintu fasilitas tersebut akan memiliki penjelasan rinci tentang mezuzah (sejenis tiang pintu rumah tradisional Yahudi) yang ditulis dengan tinta yang bisa dihapus.

Daftar konflik yang menunggu kita masih begitu panjang dan berdarah-darah. Suriah tak akan menjadi konflik terakhir. Tapi kita masih terus menenggelamkan kepala kita dalam pasir dan mengharapkan seorang pahlawan untuk melakukan 'sesuatu yang akan terjadi'. Hanya ada satu harapan untuk masa depan dan satu-satunya kekuatan yang bisa mengubah jalur kehancuran ini; "Kita, masyarakat.

islamtimes

Kirim komentar