Sejarah Kehidupan & Perjuangan Imam Husein
Oleh : Muhammad Jawâd Bâfaqih
Pentingnya Sejarah
Sejarah merupakan suatu bukti yang amat berharga dan merupakan landasan bagi ideologi dan hukum-hukum agama. Meski demikian untuk mengetahui kebenaran sejarah diperlukan adanya suatu ketelitian sehingga dapat sampai pada kebenaran. Dengan mempelajari sejarah kehidupan orang-orang terdahulu, maka kita dapat menjadikan semua itu sebagai suatu pelajaran untuk melakukan perbuatan baik mereka dan meninggalkan perbuatan buruk mereka.
Peristiwa Kelahiran Imam Husain
Asma pun lalu membawa bayi yang terbungkus kain putih itu dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Rasululah saw begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakannya azan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian ditidurkannya bayi itu di pangkuannya, lalu beliau saw menangis tersedu-sedu. Mendengar tangis Rasulullah saw itu, Asma pun bertanya, "Demi ayah dan ibuku, siapa yang Anda tangisi, wahai Rasulullah?" "Anakku ini," jawab beliau saw. Asma berkata, "Dia baru saja dilahirkan." Rasulullah saw berkata, "Wahai Asma, dia kelak akan dibunuh oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada mereka."
Berbagai Keutamaan Imam Husain
Al-Quran al-Karim, firman Allah yang agung, yang tidak mengandung kebatilan di dalamnya, mengungkapkan dalam banyak ayatnya sebagian besar dari derajat tinggi di sisi Allah yang diraih oleh al-Husain. Beberapa di antara ayat-ayat itu adalah:
Ayat Tathhir
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian Ahlulbait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya."[al-Ahzâb: 33]
Para penyusun kitab-kitab hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini diturunkan untuk Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain dan Fathimah az-Zahra. Pada suatu hari Nabi saw tengah berselimutkan kain, lalu datanglah Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain, kemudian Nabi saw menyelimutkan kain tersebut kepada mereka dan berdoa, "Ya Allah, mereka ini adalah Ahlulbaitku, karena tu hilangkanlah dosa dari mereka."
Allah Swt berfirman:
"Katakanlah: 'Aku tidak meminta kepada kalian sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluarga-(ku)."(asy-Syu'ara: 23)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai Imam Ali, Fathimah az-Zahra, Imam Hasan dan Imam Husain. Jabir bin Abdullah berkata, "Ada seorang pria Arab dusun datang menemui Nabi saw dan berkata, 'Wahai Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam.' Nabi saw berkata, 'Hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tanpa sekutu, dan bahwasanya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya.' Pria Arab dusun berkata, "Apakah engkau meminta upah untuk ini?' Nabi saw berkata, "Tidak, kecuali kasih sayang terhadap keluarga(ku).' Pria Arab dusun itu berkata, 'Baiklah, mari sekarang aku berbaiat denganmu, dan terhadap orang yang tidak mencintaimu dan keluargamu, semoga kutukan Allah ditimpakan kepadanya.' Nabi saw berkata, 'Amin.'"
Dalam Shahih at-Turmudzi diriwayatkan hadis dari Ya'la bin Murrah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Husain bagian dariku dan aku merupakan bagian dari Husain, Allah mencintai siapa yang mencintai Husain."
Diriwayatkan dari Salman al-Farisi bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Al-Hasan dan al-Husain adalah dua orang anakku. Barangsiapa yang mencintai mereka berdua, berarti mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku, pasti Allah mencintainya, dan barangsiapa yang dicintai Allah, maka Dia memasukannya ke dalam surga. Barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku dan barangsiapa yang membenciku, pasti Allah membencinya, dan barangsiapa dibenci Allah, maka Dia akan memasukkannya ke dalam neraka dengan mukanya terlebih dahulu."
Kehidupan Imam Husain as. sebelum Hari Asyura’
Setelah Nabi saw wafat, Fathimah tidak pernah tersenyum kecuali satu kali, dan itu tatkala Asma membuatkan untuknya sebuah keranda khusus dan tertutup, sehingga orang-orang tidak dapat melihat tubuhnya. Beliau berjuang keras untuk menegakkan hak suaminya, Ali bin Abi Thalib as.
Selama empat puluh hari dia pergi bersama Ali ke berbagai rumah kaum Muhajirin dan Anshar dan meminta bantuan dan kerjasama mereka seraya berkata, "Bagaimanakah kalian membiarkan warisan Nabi saw dikeluarkan dari rumahnya dan dibawa ke rumah lain?"
Mereka berkata, "Wahai putri Nabi saw, jika suamimu datang lebih dahulu kepada kami sebelum Abu Bakar, maka kami akan berbaiat kepadanya."
Di sinilah Ali berkata kepada mereka, "Patutkah aku tidak memakamkan Nabi saw dan memperebutkan kekuasaan bersama para pesaingku?"
Demi mendukung pernyataan suaminya, Fathimah berkata, "Ali tidak melakukan perbuatan, melainkan itu adalah tugasnya, sedangkan mereka melakukan perbuatan yang akan membangkitkan murka Allah Swt."
Tiga bulan setelah wafat Nabi saw, Fathimah terbaring di tempat tidur dan dalam keadaan sakit. Mereka khawatir Fathimah meninggal dunia dalam keadaan tidak rela kepada sebagian sahabat Nabi saw, sehingga hal itu akan memicu terjadinya perseselisihan dan kekacauan di tengah umat Islam. Mereka memutuskan untuk menjenguk Fathimah dan meminta maaf kepadanya.
Bukti atas perkara ini cukup jelas di mana kerelaan Fathimah semata-mata demi kemenangan hak dan kemarahan Fathimah semata-mata karena kemenangan batil. Benar, mereka membiarkan Fathimah tenggelam dalam sederetan penderitaan berat dan kesedihan yang tidak berakhir, dan mereka sibuk membangun dasar-dasar kekuasaannya. Adakalanya Fathimah berziarah ke pusara ayahnya dan dengan menangis penuh sedih berkata, "Berbagai musibah telah turun mendatangiku secara silih berganti yang jika semua itu diturunkan pada siang yang terang benderang maka akan berubah menjadi malam yang gelap gulita. Setelah kepergianmu, kesedihan dan air mata senantiasa menemaniku, sebagai upaya meringankan berbagai penderitaanku."
Pada hari-hari terakhir dari kehidupannya, karena mengetahui bahwa saat-saat kematiannya telah hampir tiba, dia bangkit dari tempat tidur mengambil air dan memandikan anak-anaknya dan menyuruh mereka pergi berziarah ke makam suci Nabi saw. Anak-anak ini merasa heran atas sikap ibunda mereka ini. Mereka saling bertanya apakah ibu hendak pergi seorang diri ke Baitul Ahzan dan menangis? Hal semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya, apakah dia hendak tinggal di rumah seorang diri dan menangis? Hal itu juga telah dilarang oleh khalifah dan kaki tangannya.
Setelah kepergian anak-anak, dia meminta air dan mandi lalu mengenakan pakaian baru. Kemudian berkata kepada Asma binti Umais yang merasa bangga menjadi pelayan dan perawat Fathimah, "Bentangkan tempat tidurku, telah tiba saat-saat kematian."
Anak-anak datang dan menemui ibunya. Asma memberitahu mereka tentang kematian ibu mereka. Dengan berlinang air mata mereka pergi menuju masjid untuk memberitahukan kepada ayah mereka apa yang telah terjadi. Berita kematian Fathimah menyebar ke seluruh penjuru kota Madinah. Dan masyarakat berduyun-duyun datang ke rumah peninggalan Nabi saw ini dengan berlinang air mata untuk turut serta dalam acara pemakaman jenazah. Tetapi Abu Dzar berdiri di depan pintu rumah dan memberitahu mereka bahwa pemakaman jenazah ditunda. Orang-orang pun membubarkan diri.
Pada malam hari, di mana tirai kegelapan menutupi berbagai penjuru, dan masyarakat yang tidak merasakan kesedihan besar dengan cepat melupakan peristiwa yang tengah terjadi dan tidur dengan pulas. Hanya ada beberapa orang yang merasa berduka yakni Ali anak-anaknya dan beberapa orang sahabat setianya yang tetap terjaga. Dan di kegelapan malam itu pula sesuai dengan wasiat putri Nabi saw, pemakaman pun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Para pengantar jenazah pulang sedangkan Ali tetap berada di sisi pusara, dan dengan hati hancur karena kehilangan istri dan pendamping mulianya, dia berkata, "Wahai Rasulullah! Salamku dan putrimu yang datang menemuimu, dan dengan cepat bergabung bersamamu. Wahai Rasulullah, kesabaranku dalam menghadapi kehilangan putri pilihanmu amatlah kecil…kini titipan telah dikembalikan dan gadaian telah ditebus. Kesedihanku untuk selamanya dan malam hariku aku lalui dengan terjaga…"
Tetapi ketika masyarakat terus mendesak beliau agar menerima baiat mereka, maka Imam Ali pun bersedia menerima baiat sebagai khalifah dengan syarat beliau akan menjalankan pemerintahan berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Sebelum meninggal dunia, Imam Ali melaksanakan wasiat Rasulullah saw dan menetapkan Imam Hasan sebagai penggantinya. Dalam hal ini, Imam Ali menjadikan seluruh anaknya yang mulia serta para tokoh Syiah sebagai saksi.
Ketika berita tentang wafatnya Imam Ali dan pembaiatan Imam Hasan sampai ke telinga Muawiyah, dia menyuruh seorang dari Bani Himyar untuk menyusup ke Kufah dan satu orang dari Bani Qain ke Bashrah, untuk menyampaikan berita kepadanya tentang segala perkembangan dan menjatuhkan kehormatan Imam Hasan.
Muawiyah terus berusaha melemahkan pasukan Imam Hasan dengan membagi-bagikan hartanya dan melakukan aksi suap. Sehingga banyak dari pasukan Imam Hasan yang membelot dan berpihak pada Muawiyah. Maka tak ada pilihan lain bagi Imam Hasan kecuali menerima damai dengan mengetahui tujuan Bani Umayah, sebagaimana kakeknya menerima damai dari orang-orang musyrik meskipun sebenarnya Rasul mengetahui isi hati mereka. Setelah menerima perjanjian damai ini, Imam Hasan pun kembali ke Madinah.
Imam Husain selalu menyertai saudaranya itu di semua masa-masa sulit yang dihadapinya. Ini lantaran beliau tahu bahwa perdamaian itu demi kebaikan Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, beliau tidak mengritik sang kakak.
Ternyata Muawiyah mengingkari janjinya untuk menikahkan Ja’dah dengan Yazid dan berkata kepada Ja'dah, "Bagaimana mungkin aku menikahkan putraku dengan seorang wanita yang tega membunuh cucu Nabi."
Imam Husain dan Yazid bin Muawiyah
Sejak tahun ke-14 Hijriah–yakni tahun penyerahan Syria kepada pasukan Islam–sampai tahun ke-18 Hijriah, Yazid bin Abi Sufyan, menjadi gubernur mereka dan karena pada tahun itu dia meninggal akibat wabah kolera, maka saudaranya yang bernama Muawiyah bin Abi Sufyan menggantikan posisinya.
Bila Yazid memegang kekuasaan atas urusan umat Islam, memprogram masa depan dan menggariskan perjalanan mereka, maka hal itu berarti berakhirnya ajaran Islam secara mutlak, bertentangan dengan prinsip yang diturunkan dari langit, dan kembali ke masa Jahiliah.
Al-Quran menjelaskan kepribadian orang-orang semacam ini sebagai berikut:
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan."(Maryam: 59)
Imam Husain Bangkit Melawan Yazid
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah wasiat dari Husain bin Ali bin Abi Thalib kepada saudaranya, Muhammad, yang dikenal dengan panggilan Ibnu Hanafiyah. Bahwasanya al-Husain bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang datang membawa kebenaran dari sisi al-Hak, dan bahwa surga dan neraka adalah benar, dan bahwa hari kiamat pasti akan tiba dan tiada keraguan atasnya, dan bahwa Allah akan membangkitkan manusia dari kubur, dan sesungguhnya aku berangkat bukan untuk tujuan menyombongkan diri, melakukan perbuatan sia-sia, berbuat kerusakan dan kezaliman, sesungguhnya aku berangkat guna melakukan pembenahan pada umat kakekku, aku hendak melakukan amar makruf dan nahi mungkar serta mengikuti jalan yang telah dirintis oleh kakekku dan juga ayahku.”
Setibanya di Mekah, beliau bersama rombongan tinggal di sana selama 95 hari dan pada hari ke-8 Dzulhijah, yakni pada hari ketika para jamaah haji akan berangkat menuju Mina, beliau beserta rombongan berangkat menuju Irak. Dengan tindakannya ini, selain menjalankan tugas keagamaan, yaitu melakukan amar makruf dan nahi mungkar, beliau ingin memberitahukan kepada seluruh kaum Muslim dunia bahwa beliau tidak mengakui Yazid sebagai khalifah dan tidak sudi membaiatnya, bahkan menentangnya.
"Ya Allah, sesungguhnya kami adalah keluarga Nabi-Mu Muhammad, dan kini kami dikeluarkan dan diusir dari tanah suci kakek kami, dan Bani Umayah melakukan pelanggaran atas diri kami, ya Allah, demi hak kami balaslah mereka dan tolonglah kami dalam menghadapi orang-orang yang zalim."
Pada tanggal 10 Muharam, tentara Umar bin Sa'ad yang diperintahkan oleh Yazid untuk membunuh Imam Husain telah bersiap-siap melakukan penyerangan. Setelah salat Subuh Imam Husain mulai mengatur strategi. Seluruh kemah dijajarkan dan diikat menjadi satu, sebagai benteng. Sedang di belakangnya digali parit memanjang yang ditumpukkan jerami di dalamnya dan dibakar, untuk menghalangi musuh menyerang dari belakang kemah. Jumlah tentara pendukung Imam Husain hanya 72 orang terdiri dari 32 tentara berkuda dan 40 orang pejalan kaki, sangat tidak sebanding dengan pasukan musuh yang berjumlah lebih dari 4000 orang. Imam Husain menempatkan Zuhair bin Qain di sayap kanan, dan Habib bin Madzahir di sayap kiri, sedangkan bendera beliau serahkan kepada adiknya Abbas bin Ali bin Abi Thalib. Imam Husain memandang ke arah musuh yang telah berbaris dan siap untuk melakukan pembunuhan masal atas keluarga Rasulullah dan pecintanya. Kemudian Imam Husain mengangkat kedua tangan, menghadapkan wajah ke langit dan berdoa:
“Ya Allah ya Tuhanku, Engkaulah kepercayaanku di setiap kesedihan, dan harapanku di setiap kesulitan. Engkaulah kepercayaan dan Penolongku dalam setiap masalah yang menimpaku. Betapa banyak penderitaan yang menyebabkan hati menjadi lemah, fikiran menjadi kacau, jalan keluar menjadi buntu, sahabat menjadi terhina, dan musuh merasa gembira, lalu semua ini kuadukan kepada-Mu karena cintaku kepada-Mu dan berpaling dari selain-Mu, maka Engkau memberiku jalan keluar dan menghapus penderitaan itu dariku. Engkau adalah Pemberi setiap kenikmatan, Pemilik setiap kebaikan dan Puncak harapan.”
“Wahai Husain! Rupanya engkau tergesa-gesa menuju api neraka di dunia, sebelum neraka di akhirat”.
Imam Husain menjawab: “Engkaulah orang pertama yang akan dibakar dalam api neraka Allah.”
Muslim bin 'Ausajah sangat geram dan meminta izin kepada Imam Husain untuk memanah Syimir: “Izinkan saya memanahnya wahai Imam, sungguh jarak panah ini telah tepat, dan pasti akan mengenainya.”
“Wahai manusia! Dengarlah kata-kataku. Janganlah kalian tergesa-gesa menyerang sebelum aku mengingatkan kewajiban kalian atas hak-hakku, sehingga telah sempurna hujahku atas penyerangan yang kalian lakukan pada diriku. Sungguh pelindungku adalah Allah yang menurunkan al-Quran dan Dia melindungi hamba-Nya yang saleh”
“Amma ba'du, silahkan kalian meneliti nasabku, dan lihatlah siapa diriku! Dan kemudian lihatlah siapa diri kalian. Pertimbangkanlah! Apakah dihalalkan bagi kalian membunuhku dan menghinakan kehormatan keluargaku? Bukankah aku adalah anak dari putri Nabi kalian? Bukankah aku adalah putra al-Washi, pengemban wasiat yang juga sepupu Nabi kalian, juga orang pertama yang beriman kepada Allah dan percaya pada wahyu yang dibawa Rasulullah? Bukankah Hamzah pemuka syuhada adalah paman ayahku? Bukankah Ja'far yang Rasulullah menyebutnya sebagai pemilik dua sayap di surga adalah pamanku? Tidak sampaikah kepada kalian sabda kakekku Rasulullah tentang aku dan kakakku yang menyatakan 'Kedua orang ini adalah pemuka pemuda surga?' Bila kalian membenarkan apa yang aku sampaikan, dan ucapanku adalah benar, itu karena aku termasuk orang yang membenci kebohongan. Atau bila kalian tetap menganggapku berbohong, maka tanyakanlah kepada saksi di antara kalian, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa'id al-Khudri, Sahl bin Sa'ad as-Sa’idi, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik yang akan membenarkan apa yang mereka telah dengar dari sabda Rasul tentang diriku dan kakakku. Apakah semua ini tidak cukup untuk menghentikan kalian menumpahkan darahku?”
Dengan nada sinis Syimir bin Dziljausyan menjawab khutbah Imam Husain: “Hanya orang yang menyembah Allah tanpa alasan saja yang percaya pada omongannya” Dengan geram Habib bin Madzahir menjawab Syimir: “Demi Allah, engkaulah orang yang menyembah tanpa sedikitpun alasan, benar apa yang engkau katakan tentang kepercayaan terhadap khutbah al-Husain, karena Allah telah membutakan hatimu”
“Bukankah kalian telah mengundangku dan membaiatku dengan surat kalian untuk memimpin kalian?” Tetapi mereka mengingkari yang Imam Husain katakan. Imam Husain berkata: “Subhanallah, Sungguh kalian telah melakukannya, bila kalian tidak menghendakiku, maka biarkan aku pergi meninggalkan kalian” Qais bin Asy'ats berkata: “Pertama menyerahlah terlebih dahulu pada penguasa Bani Umayyah, baru kami akan melepaskanmu”
Imam Husain menjawab: “Tidak demi Allah, aku tidak akan memberikan baiat sebagaimana kalian, seperti pemberian orang yang hina. Dan aku tidak akan lari dari kalian seperti larinya seorang budak.”
Tiba-tiba dari barisan musuh, seekor kuda melesat cepat menuju ke arah Imam Husain. Begitu sampai, si penunggang kuda meloncat turun, berjalan mendekati Imam Husain dan berkata:
“Allah menjadikan aku sebagai tebusan bagimu wahai putra Rasulullah, akulah orang yang mencegahmu pulang dan menggiringmu hingga ke tempat ini. Demi Allah yang tidak ada lagi Tuhan selain Dia, aku benar-benar tidak menyangka mereka akan berbuat sejauh ini, dan menolak semua yang engkau tawarkan. Aku datang kepadamu sebagai orang yang bertaubat, apakah engkau mengampuni kesalahanku? Izinkan aku berperang demi membelamu wahai putra Rasulullah.” Imam Husain berkata: “Benar wahai al-Hur, Allah menerima taubatmu dan mengampunimu, engkau adalah orang yang merdeka di dunia dan akhirat sebagaimana namamu”
Dan sebagai sebuah kebiasaan peperangan pada masa itu selalu diawali dengan perang tanding satu lawan satu. Maka keluarlah dua orang dari pasukan Umar bin Sa'ad; pembantu Ziyad bin Abi Sufyan yang bernama Yasar dan pembantu Ubaidillah bin Ziyad yang bernama Salim, sambil menantang tanding siapa saja dari pasukan Imam Husain. Maka melompatlah Habib bin Mazhahir dan Burair bin Hudhair. Tetapi Imam Husain menahan keduanya. Kemudian Abdullah bin Umair al-Kalbi meminta izin kepada Imam Husain untuk menghadapi tantangan kedua orang tersebut, dan Imam Husain pun mengizinkan. Terjadilah perang tanding yang sangat seru antara Abdullah bin Umair yang dikeroyok oleh Yasar dan Salim. Dengan gagahnya Abdullah bin Umair bertempur sehingga dia berhasil membunuh Yasar. Dan dengan tiba-tiba Salim menerkamnya dari belakang. Keduanya bergumul dan akhirnya Abdullah bin Umair berhasil menikamnya dan membunuhnya.
Terjadilah perang tanding antara Burair—seorang tua yang hidup dengan mengajar al-Quran—dengan Yazid bin Ma’qal. Meskipun tubuhnya bungkuk karena usia, Burair bertempur dengan gagah. Dia memukulkan pedangnya dengan kuat sehingga membelah kepala Yazid, dan pedangnya tersangkut di kepala Yazid. Seorang pengecut bernama Radhi bin Munqadz yang melihat kesempatan itu segera menyerang Burair dari belakang. Dan terjadilah pergumulan antara Burair dan Radhi. Dan ketika terdesak, Radhi menjerit-jerit minta tolong, maka Ka'ab bin Jabir datang dan menombak Burair dari belakang sehingga tembus. Burair terguling, Radhi bangkit mengambil pedang dan menebas kepala Burair yang sudah tidak berdaya itu. Burair merintih dan memanggil Imam Husain, “Salam bagimu wahai Aba Abdillah.”
“Hal min nâsirin yansurunî ; masih adakah orang yang akan menolongku…?”
Zainab menahan Imam Ali Zainal Abidin, dan saat itu pula Abdullah putra Imam Hasan al-Mujtaba yang berumur 11 tahun, berlari ke arah Imam Husain sambil berteriak, “Jangan bunuh pamanku!” Bahr bin Ka’ab sedang mengayunkan pedangnya ke arah Imam Husain, dan anak kecil itu menangkis dengan tangannya, sehingga tangannya tergelantung hampir putus. Imam Husain pun segera memeluknya. Tiba-tiba Harmalah melepaskan anak panahnya dan mengenai tubuh putra Imam Hasan yang tengah berada dalam pelukan Imam Husain.
Imam Husain berkata: “Apakah kalian saling menganjurkan untuk membunuhku? Sungguh Allah murka atas pembunuhan yang kalian lakukan padaku.”
Imam Husain mengumpulkan darah yang mengucur dari kepalanya, kemudian mengusapkan darah itu ke seluruh wajah dan janggutnya, sambil berkata: “Seperti inilah aku akan menemui kakekku Rasulullah, dengan wajah penuh darah inilah aku akan menemui ibuku Fathimah, ayahku Ali dan kakakku al-Hasan.”
Kemudian Syimir berdiri, menginjak punggung Imam Husain, menarik kepala suci Imam Husain dan menggerakkan pedangnya, maka terpenggallah kepala putra Rasulullah.
Syimir si manusia neraka mengangkat kepala suci Imam Husain tinggi-tinggi dan mempertontonkannya kepada keluarga Rasulullah dan pasukan Umar bin Sa'ad. Zainab menjerit, “Duhai Husain,” dan kemudian pingsan.
Adapun pasukan Umar bin Sa'ad bersorak-sorak memperebutkan kepala Imam Husain yang dilemparkan oleh Syimir ke arah mereka. Kemudian mereka berhamburan ke arah tubuh Imam Husain yang tergeletak tanpa kepala. Menginjak-injak tubuh itu, dan memperebutkan segala yang dikenakan oleh Imam Husain. Bahar bin Ka'ab mengambil celana Imam Husain. Nashl bin Darim merampas pedangnya, al-Aswad mengambil sandalnya, sementara seorang dari kabilah yang lain sedang menarik-narik cincin yang dikenakan oleh Imam Husain. Tetapi cincin itu tidak mau terlepas, maka dia mencabut pisaunya dan memotong jari manis Imam Husain as.Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji’ûn.
(ikmalonline)
Kirim komentar