Pada masa lalu yaitu sebelum Revolusi Islam Iran, siapakah yang menjadi wali fakih?

Pada masa lalu yaitu sebelum Revolusi Islam Iran, siapakah yang menjadi wali fakih?

Jawaban: 

Teori wilâyah fakih berasakan pada teks perintah-perintah para Imam Maksum As. Dengan bermulanya masa ghaibat kubra (okultasi mayor) pada tahun 326 H, ulama besar seperti Syaikh Shaduq (381 H), Syaikh Mufid (413 H), Sayid Murtadha (436 H), Syaikh Thusi (460 H), memenuhi pelbagai kebutuhan masyarakat sesuai dengan ajaran-ajaran Islam berdasarkan pelbagai tuntutan ruang dan waktu. Mereka berdiri di front terdepan untuk membela kebenaran Islam dari pelbagai serangan musuh.

 

Melakukan praktik ijtihad dalam fikih, mengelaborasi prinsip-prinsip akidah, akhlak, sejarah, tafsir al-Qur’an, mengajarkan ilmu-ilmu Islam, mempropagandakan agama, tarbiyah masyarakat, mengelokkan moral masyarakat, melakukan perlawanan terhadap kejahatan dan kezaliman para penguasa tiran merupakan hal terpenting dari pelbagai aktivitas mereka. Pada masa ghaibat kubrâ (okultasi mayor), ulama dan para juris besar mengemban tanggung jawab mengatur dan membina masyarakat Syiah di antaranya adalah Syaikh Mufid yang merupakan orang yang paling senior para juris tersebut dan pandangan- (333 [atau 338] – 413 H) pandanganya dapat dijumpai dalam masalah ini.[1]

 

Syaikh Mufid merupakan juris terbesar sejarah Syiah pada abad keempat dan kelima Hijriah. Seluruh ucapan fakih besar dunia Islam ini mengisahkan penerimaannya terhadap prinsip wilâyah fakih dan bahwa para juris memikul tanggung jawab sebagai pemimpin untuk mengatur masyarakat Islam pada masa ghaibat para Imam Maksum As. Ucapan-ucapan Syaikh Mufid yang sejarahnya telah berusia lebih dari ribuan tahun, hingga kini tetap bersinar terang, meski sebagian orang tidak melihat sinar terang ini atau enggan melihat sinar terang ini.[2]

 

Pasca Syaikh Mufid terdapat ulama lainnya, secara berurutan satu dengan yang lain, membahas masalah wilâyah fakih dan batasan-batasan wewenangnya. Di antara mereka kita dapat menyebut Syaikh Abu al-Shalah Halabi (447 H), Ibnu Idris Hilli (598 H), Muhaqqiq Hilli (676 H), Muhaqqiq Karaki (940 H), Maula Ahmad Muqaddas Ardabili (990 H), Jawad bin Muhammad ‘Amili (1226 H), Mulla Ahmad Naraqi (1245 H), Mir Fattah ‘Abdul Fattah bin Husaini Muraghi (1274 H), Shahib Jawahir (1266 H), Syaikh Murtadha Anshari (1281 H), Hajj Aqa Ridha Hamadani (1322 H), Sayid Muhammad Bahr al-‘Ulum (1326 H), Ayatullah Burujerdi (1382 H), Ayatullah Syaikh Murtadha Hairi (1362 H), dan Imam Khomeini (1368 H).[3]

 

Pandangan-pandangan Syahid Awwal, Syahid Tsani,[4] Allamah Majlisi[5] juga dapat dijumpai dalam masalah wilâyah fakih.

 

Karena itu, teori wilâyah fakih merupakan satu teori yang memiliki latar sejarah yang panjang dan prinsipil dalam keyakinan Syiah.

 

Adapun apakah jumlah wali fakih dapat lebih dari satu (beberapa wali fakih) atau tidak? Silahkan merujuk pada Pertanyaan 1439 (Site: 1445) yang terdapat pada site Islam Quest untuk memperoleh jawabannya.

 

Terkait dengan mengapa penerapan wilâyah, dari sisi fukaha dan para juris terbatas sebelum Revolusi Islam Iran? Jawabannya adalah bahwa sebelum Revolusi Islam Iran dan pada setiap masa pemerintahan Islam belum berdiri, ulama dan para juris menerapkan wilâyah mereka pada tataran terbatas yang sesuai dengan kewenangan dan kemampuan mereka. Persoalan ini juga berlaku bahkan bagi pribadi Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. Kendati mereka memiliki wilâyah batin atas seluruh semesta, namun penerapan wilâyah pada masyarakat, terbatas pada keluasan pelbagai kewenangan dan tiadanya gangguan dari pihak penguasa (tiran).

 

Di antara para juris dalam sejarah Islam yang menerapkan wilâyah adalah Mirza Syirazi yang mengeluarkan pengharaman tembakau. Fatwanya yang terkenal itu salah satu penerapan wilâyah dan Mirza Syirazi telah menggunakan salah satu kewenangan seorang wali fakih.

 

Tentu saja, kondisi bagi juris seperti Mirza Syirazi tidak terlalu kondusif sehingga ia mampu menerapkan wilâyah dalam konteks yang sangat luas dan kemudian membentuk pemerintahan Islam.

 

Oleh itu, pada masa sebelum Revolusi Islam Iran dan dalam sejarah Syiah, terdapat banyak juris dan fakih seperti Syaikh Shaduq, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Syahid Awwal, Syahid Tsani dan Allamah Majlisi memiliki iman terhadap hakikat wilâyah fakih dan menerapkan wilâyah yang mereka miliki. Dan karena fatwa-fatwa mereka digunakan pada pelbagai daerah dan pada umumnya tidak terdapat pertentangan di antara fatwa-fatwa tersebut, misalnya pada satu negara seperti Iran, terdapat beberapa juris dan fakih yang mengeluarkan hukum-hukum wilâi (penerapan wilâyah yang dimiliki). [IQuest]

 




[1]. Diadaptasi dari Pertanyaan 7180 (Site: 7498).  

[2]. Silahkan lihat, Indeks: Wilayah Fakih dan Syaikh Mufid, Pertanyaan 22 (Site: 255).  

[3]. Silahkan lihat, Indeks: Wilayah Fakih dan Ulama, Pertanyaan 23 (Site: 256) dan 24 (Site: 257). Diadaptasi dari Pertanyaan 21 (Site: 254).

[4]. Syahid Tsani mengungkapkan pandangan-pandangan politiknya dalam Syarah “Al-Lum’ah al-Dimisyqiyah” dengan uraian panjang-lebar. Sebagai contoh kami akan menyinggung dua hal tersebut di sini:

 

1.     Syahid Tsani sebagaimana Syahid Awwal yang berpandangan bahwa peradilan pada masa ghaibat merupakan tugas fakihjâmi’ al-syarâith (yang memenuhi selaksa persyaratan). Menurut keduanya, para fakih boleh menjalankan hudud syariat pada masa ghaibat sepanjang tidak menimbulkan kerusakan dan..dengan syarat mereka memiliki syarat-syarat mengeluarkan fatwa (ifta) seperti, iman, adalah, pengetahuan terhadap hukum-hukum syariat. Demikian juga pandangan Syahid Tsani bahwa penerimaan peradilan dan pelaksanaan hudud syariat dari seorang fakih adalah wajib hukumnya bersyarat bahwa ia tidak dipaksa melakukan perbuatan haram dan [ia juga] memiliki kemampuan untuk melakukan tugas amar makruf dan nahi mungkar. Dalam hal ini, wajib bagi masyarakat untuk merujuk kepada mereka dan juga wajib bagi mereka menerima fatwa para fukaha. Pandangan ini memotivasi ulama untuk menerima peradilan dari pihak pemerintahan Shafawi.

 

2.     Syahid Tsani merupakan fukaha pertama yang berpandangan bahwa shalat Jum’at pada masa ghaibat – bukan haram juga bukan wajib takhiyiri (pilihan) – melainkan wajib ‘aini (harus dilaksanakan).  Silahkan lihat, Murtadha Syirwardi, Andisye Siyâsi Musalmânan, hal. 145.

 

[5]. Murtadha Syirwardi, Andisye Siyâsi Musalmânan, hal. 148. 

Kirim komentar