Imam Khomeini, Kakek yang Penyayang dan Lemah Lembut
Tidak bisa dipungkiri Imam Khomeini adalah tokoh besar revolusioner yang paling berpengaruh di abad ke 20. Entah berapa buku yang mengutip namanya, dan media massa yang mengulas perannya serta berapa banyak orang yang terinspirasi oleh gerakan, perjuangan dan pemikirannya. Dengan kepemimpinan dan bimbingannya, ia menggerakkan rakyat Iran menjatuhkan rezim yang sempat merayakan ulang tahunnya yang ke 2.500. Dengan tangan kosong ia bangkit dan meluluhlantakkan kekuasaan diktator yang memiliki kekuatan militer yang terkuat kelima di dunia.
Diantara kharismatiknya, meskipun dalam keadaan sibuk memimpin negara yang sedang berbenah dan memulihkan diri pasca kejatuah rezim Pahlevi, Imam Khomeini tidak melupakan dan melalaikan keluarganya. Menurut kesaksian anggota keluarganya, imam Khomeini tetaplah seorang suami, ayah, mertua dan kakek yang baik dan penuh perhatian dengan keluarganya. Tidak ubahnya ketika masih seorang santri biasa, meskipun telah menjadi Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran yang digelari rakyat Iran dengan Imam, Imam Khomeini tetaplah meluangkan waktunya bermain dengan cucu-cucunya.
Berikut diantara penuturan Khanum Thabathabai menantu Imam Khomeini istri dari Sayyid Ahmad Khomeini mengenai sikap Imam Khomeini terhadap anak kecil:
Putra saya Ali, sewaktu masih kecil ia sering melakukan hal-hal yang menjengkelkan. Ia juga sering membandel. Meskipun ia berkali-kali menyusahkan kakeknya, namun Imam tetap dengan penuh tersenyum melayaninya bermain. Beliau sering mengatakan kepada saya, "Tidak masalah, anak harus dibebaskan bermain." Jika Imam datang, atau kami yang mendatangi beliau, Ali sepanjang hari akan selalu bersama Imam. Dan Imam terus melayaninya bermain. Hal ini yang membuat Ali sangat mencintai Imam, begitupun sebaliknya.
Suatu hari saya melihat Ali sedang berada disisi Imam. Keduanya sedang bermain. Ali meminta arloji imam. Imam berkata, "Bapak yang baik, jarum arloji ini bisa mengenai matamu dan melukaimu." Ali menjawab, "Kalau begitu beri juga kaca matamu, agar jarumnya tidak melukai mataku."
Imam menimpali, "Kaca mata juga begitu. Kacanya bisa pecah dan melukai matamu. Matamu itu halus, selembut bunga." Namun Ali tetap memaksa, "Kek, berikan kaca matamu.."
Imam berkata lembut, "Jangan, kamu bisa mematahkan gagangnya, dan saya tidak punya kaca mata lagi. Anak-anak tidak boleh mengambil ini karena bukan mainan."
Beberapa saat kemudian. Ali tampak menyerah. Iapun keluar dari rumah, dan masuk lagi dengan mengetuk pintu. Imam mempersilahkan ia masuk. Ali berkata, "Kek, bagaimana kalau sekarang saya adalah kakek, dan kakek yang jadi cucunya."
Imam pun berkata, "Baiklah."
Alipun kemudian berkata, "Kalau begitu, pindah dari tempat itu. Anak kecil tidak pantas menempati tempat kakek."
Imampun sambil tersenyum pindah dari tempat duduknya. Alipun mengambil posisi Imam. Ali berkata, "Sekarang, berikan kaca mata itu, jangan lupa jam tangan itu juga. Anak kecil tidak pantas memegang dua benda itu dan menjadikan mainan!."
Imam pun memanggil Ali, "Kesini, tahu apa yang aku hendak sampaikan padamu?. Begini ya caramu hendak mengambil jam dan kacamataku?"
Keduanyapun tersenyum. (ABNA)
Kirim komentar