Catatan Kecil dari Sampang

Catatan Kecil dari Sampang

Akhirnya saya datang lagi ke GOR Sampang, menjelang siang pada Selasa 7 Mei 2013. Inilah tempat 166 muslim Syiah menjalani pengungsian sekitar 8,5 bulan. Saya datang dengan segala kelelahan, karena kurang tidur dan kecamuk perasaan tak menentu memikirkan apa yang akan terjadi di hari ini dan nasib pengungsi. Akankah hari ini mereka dikeluarkan dari GOR menuju tempat relokasi?

Hari itu kabarnya akan ada demonstrasi ribuan orang dari kampung-kampung sekitar Bluuran dan Karanggayam ke kantor Pemkab dan DPRD Sampang menolak kepulangan pengungsi dan menuntut pengungsi direlokasi. Ajakan demonstrasi itu kabarnya dilakukan melalui corong-corong masjid dan musala. Truk-truk sudah disiapkan di pinggir jalan raya menyambut para warga yang mau demonstrasi sejak pukul 07.00 WIB.

Ingatan tentang penyerangan kasus Sampang I dan II seketika penuh memanggil di laci memori saya. Memunculkan sikap siaga untuk menghadapi situasi paling buruk yang mungkin harus dihadapi. Lantaran alasan itulah kami berlima datang ke GOR Sampang dari Jakarta. Saya memang bertekad untuk menemani pengungsi ketika kemungkinan situasi paling buruk itu terjadi. Apa pun itu.

Tetapi kekhawatiran saya sekejap hilang. Setelah melewati gerbang GOR, melewati sekawanan polisi yang hilir-mudik dengan mobil mereka, saya masuk ke GOR Sampang yang memilukan itu. Sesampai di pintu gerbang GOR Sampang, saya disambut oleh para pengungsi laki-laki, tua, dan muda, dengan sambutan yang paling wajar yang bisa mereka berikan. Mungkin karena mereka tak menyangka jam kedatangan saya bersama empat kawan lainnya.

Sebagian besar dari mereka mungkin tak tahu siapa apalagi nama saya, kecuali setelah Iklil Al Milal, pemimpin pengungsi di GOR Sampang mendekati dan memeluk kami satu per satu seraya mengambil pipi saya dan teman-teman lain ke pipinya. Satu per satu mereka menyalami, memeluk, dan tampak berkeras untuk mencium pipi kami semua yang datang meski kami agak setengah enggan berlama-lama karena kelelahan.

Dengan sehalus-halusnya mereka mencoba menyalami dan memeluk kami disertai ucapan pelan selawat dari sebagian orangtua saat mencium pipi saya. Satu per satu, tua dan muda datang. Awalnya saya ingin menyudahi saja dengan salaman, mengingat begitu banyaknya orang untuk disalami, dipeluk dan dicium pipinya. Tapi saya merasa mereka bersikeras melakukan itu semua. Mereka mencoba memperlihatkan senyum terbaiknya, seolah ingin menjauhkan tamu mereka dari rasa gundah karena memikirkan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi hari itu termasuk penderitaan mereka selama ini.

Pelan-pelan, kesabaran, kepasrahan, kepolosan, keberanian, ketulusan dan keyakinan mereka energinya berpindah ke tubuh saya yang lelah dan penuh pikiran tak menentu. Mereka menyelamatkan iman saya kembali dan mengetuk hati saya yang pekat oleh debu pikiran kota, bahwa keyakinan adalah kebanggaan dan kemuliaan yang tak perlu ditakutkan. Itu tampak dari diri mereka tanpa harus berbusa-busa meyakinkan saya.

Saya duduk bersama mereka dan menyatu dengan hati mereka. Kami membicarakan apa yang akan terjadi sebentar lagi dengan datangnya para pendemo. Tak sedikit pun ketakutan memancar dari wajah mereka. Mereka terus tersenyum menyalin penderitaan dari muka mereka dengan kepasrahan. Mereka berbicara sedikit saja. Mungkin karena keterbatasan kosa kata bahasa Indonesia, atau karena tak ada lagi yang perlu dikatakatan dan diyakinkan.

“Saya cuma ingin pulang. Ini salah paham. Bersaudara semua. Sudah lama saya maafkan,” ucap seorang pengungsi lelaki sekitar 40-an tahun.

Sayup-sayup demonstrasi pun terdengar. Mereka melintasi GOR Sampang dan berhenti persis di pinggir GOR. Demonstran mengarahkan barisan ke muka kantor DPRD. Jumlahnya tak sebanyak yang dikabarkan. Hanya sekitar 400-an orang saja, tak seperti angka yang disebut bupati Sampang seusai demonstrasi, yakni sekitar 2.000-an orang. Tampak di dalam kerumunan demonstran anak-anak remaja mirip santri dan orangtua mendekati manula bergabung dengan lelaki dewasa.

Si korlap yang terdengar rapi tutur katanya memulai orasinya dengan mengatakan ini murni dukungan dari bawah dan berhati-hati provokasi. Saya tak terlalu yakin pendemo lainnya mengerti maksud korlap dengan hat-hati provokasi. Satu orang tampak membagi-bagikan air mineral. Sementara yang lainnya menciprat-cipratkan air ke kerumunan pendemo seperti bermaksud mendinginkan udara yang panas di siang bolong itu. Begitu tertib dan teratur. Seorang ibu berbaju kuning berdandan ala orang kota mendekati dan mengatur demo dan kemudian lenyap dengan sebuah mobil pribadi. Sejumlah pengungsi yang melihat video demonstrasi itu mengatakan bahwa sejumlah tim sukses bupati terlibat di dalam demonstrasi itu.

Orasi yang dipimpin korlap berpeci hitam, berbaju koko dan bercelana denim tampak mulai meninggikan nada dan pesan. Sambil mengatakan Islam adalah rahmatan lil alamin, dia mulai menghujat Tajul Muluk sesat. Tajul Muluk dan pengikutnya usir. Angkat kaki dari Sampang. Antek-antek CIA, dan lain sebagainya. Perwakilan demonstran lalu masuk ke kantor DPRD bertemu dengan Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Sampang. Ada bupati, ketua DPRD, dan kapolres Sampang berdiri menyambut pendemo.

Dengan sangat lancar dan tanpa keraguan, Forpimda menyetujui begitu saja keinginan demonstran untuk merelokasi pengungsi dan berjanji secepatnya meneruskan hal ini ke Pemprov Jatim. Seketika, keinginan korban pengungsi yang bertahan selama selama 8,5 bulan di GOR Sampang untuk kembali ke kampungnya seperti sirna disapu persetujuan Forpimda. Persetujuan itu seperti sangat rela terlihat dan sengaja membuat keputusan atas dasar tekanan massa yang tampak jelas tak bisa dikatakan mewakili penduduk di Karanggayam dan Bluuran. Demonstrasi itu seperti ingin memberi legitimasi bagi Pemkab Sampang yang memang sedari awal dimulai pengungsian, sudah menghembuskan isu relokasi.

Saya sedikit banyak sudah menduga sikap yang akan diambil pejabat publik Sampang, terutama menjadikan momentum kehadiran massa yang seperti tak punya emosi ini, sebagai dalih menguatkan kehendak mereka untuk merelokasi pengungsi muslim Syiah.

Selama hampir dua tahun mengurus kasus Sampang ini, saya tahu betul mulai dari level nasional dan daerah, begitu langka bisa didapati pejabat publik yang bernalar kebangsaan dan bekerja dengan kesadaran konstitusi untuk melindungi dan menyadarkan warganya supaya hidup rukun serta menerima perbedaan dengan cara damai dan bukan cara politis.

Yang muncul adalah pejabat publik yang selebor bersikap, saling melempar tanggung jawab, dan suka menjadikan urusan publik sebagai permainan politik. Betul saja kata Bung Hatta, di tangan pemimpin yang buruk, yang terbangun di Indonesia bukan persatuan melainkan persatean nasional.

Di dalam GOR Sampang, pengungsi memilih salat zuhur berjamaah. Setelah itu mereka berdoa bersama. Masih terdengar suara toa di luar GOR menyesatkan dan mengusir mereka. Tampak sekjen AhlulBait Indonesia mengambil tempat di tengah pengungsi untuk memberi tausiah dengan mengatakan pesan penting untuk mencontoh pengorbanan Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Mengajak pengungsi untuk bersabar, memaafkan, dan yakin pertolongan Allah pasti akan datang dan mereka yang menindas akan mendapatkan hukuman di pengadilan Allah. Satu sama lain saling menguatkan bahwa jika Allah memberi kesempatan mereka pulang kampung, mereka akan memaafkan dan menghapus dendam. Membangun rumah mereka sendiri dan menjadi warga yang bermanfaat bagi sesama sebagai sebagus-bagusnya dakwah.

Terdengar potongan ayat terucap “Wamakaru wamakarallah wallahu khairul makirin” bahwa "Mereka merancang makar, Allah juga merancang. Sesungguhnya Allah sebaik-baik perancang makar.
"(IpabiOnline)

Kirim komentar