Sampang dan Tendensi Kekuasaan

Sampang dan Tendensi Kekuasaan

Sampang, namanya. Disitulah berdiri pusat-pusat pendidikan tradisional berupa pesantren-pesantren berlabel ‘salafiyah’ yang berafiliasi kepada teologi orisinil Sunni yang dikelola secara temurun dalam hierarki yang ketat oleh kyai.

 

Ia adalah pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Luasnya kurang lebih 5.168 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk hampir 4 juta jiwa.

Penduduknya dikenal temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja serta fanatik dalam beragama Mereka menjunjung tinggi harga diri yang dikemas dalam peribahasa “lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata”.(lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata)). Karakteristik dan pandangan inilah melahirkan tradisi carok, yaitu tradisi bertarung sebagai penyelesaian final konflik yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Namanya sudah bisa dianggap sebagai contoh perpaduan ekstremitas karakter temperamental dan loyalitas terhadap agama. 

Nah, di sebelah utara pulau itu terdapat sebuah kota yang bisa dianggap sebagai saripati karakteristik unik itu. Sampang, namanya. Disitulah berdiri pusat-pusat pendidikan tradisional berupa pesantren-pesantren berlabel ‘salafiyah’ yang berafiliasi kepada teologi orisinil Sunni yang dikelola secara temurun dalam hierarki yang ketat oleh kyai. Ia adalah atribut sakral yang secara tradisional dianggap sebagai representasi tunggal penjelasan agama Islam. 

Dalam kota yang dihuni oleh orang-orang paling temperamental di pulau itulah, ada sebuah kecamatan yang bisa dianggap sebagai saripatinya. Dalam kecamatan besar yang terdiri dari 20 desa, berdirilah sebuah desa yang merupakan kawahnya. Sebuah dusun kecil bernama Karang Gayam adalah inti kawah atau magmanya. Di situlah sebuah tragedi kemanusiaan yang nyaris menjadi sebuah genosida (pemusnahan manusia) atas nama agama. 

Ahad, 26 Agustus 2012, sebenarnya itu Hari Raya Topat (hari ketujuh bulan Syawal). Namun, saat itu, sekitar pukul jam 11 pagi, bukannya membawa ketupat untuk silatutahmi, tapi sekitar 500 orang membawa clurit, pedang, pentungan dan sejumlah bom Molotov menyerang beberapa rumah. Satu orang korban tewas bernama Hamama (50), tujuh orang menderita luka kritis, puluhan orang mengalami luka-luka, juga puluhan rumah warga dibakar. Korban lalu ditempatkan, tepatnya diungsikan oleh pemerintah setempat di Gedung Olah Raga Kabupaten Sampang (GOR Sampang). 

Kejadian di atas adalah sepenggal tragedi kemanusiaan yang dihadirkan oleh kehendak dominasi atas nama agama. Itulah potret buram ekstremisme. Ironis! 

Ekstremisme

Di tengah kemelut dan kebingungan mencari jalan keluar, tiba-tiba bangsa yang sedang berjuang untuk bertahan ini diganggu dengan ekstremisme, serta paham-paham yang secara nyata menentang kebhinekaan. Padahal kebhinekaan yang terwujud dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika itu merupakan salah satu pilar utama bangsa dan negara ini. 

Ekstremisme itu terjadi tak terelakkan, akibat dari melelehnya nasionalisme dan memudarnya kesadaran akan nilai dan arti kebhinekaan. Karena bukan merupakan gagasan logis dan metodis, ekstremisme tak selalu tampil dalam satu pola atau gerakan dan modus. Ia kadang muncul sebagai sebuah sikap personal, namun kadang pula muncul sebagai pilihan komunal. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang menyimpan kepentingan dan tendesi negatif, kadang pula diyakini secara naïf sebagai kesalehan dan kualitas keberimanan.

Ekstremitas biasanya mudah diterima terutama oleh individu-individu yang tak waspada dan memahami dampak serta efeknya. Ia mudah diterima karena cenderung meliburkan logika dan memakzulkan segala pertimbangan dan aturan, termasuk hak indvidu-individu yang tidak menerimanya.

Dari sinilah, ekstremitas berpeluang mengalami ekspansi makna. Ekstremitas keyakinan biasanya berproses menuju ekstremitas sikap dan gaya hidup.

Ekstremisme sikap biasanya menolak semua perbedaan, terutama dalam penafsiran terhadap doktrin agama. Bagi ekstrimis, begitu pelaku sering dinobatkan, perbedaan muncul karena penyimpangan dari doktrin yang benar. Berbeda dalam memahami dan mengamalkan agama dianggap sebagai upaya menghancurkan dan menodai doktrin agama. Sejurus dengan itu, individu yang meyakini atau memilih doktrin yang berbeda dengan doktrin yang diyakini secara ekstrem sebagai kebenaran yang utuh dan mutlak, dianggap sebagai musuh, bahaya, ancaman dan perusak. 

Ekstremisme berproses dalam pikiran penganutnya seperti narkoba yang terus merangsangnya menutupi kelemahan dalam sikap dengan cara yang ekstrem pula. Karena itu, ia memerlukan legitimasi dan dasar agar terus mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dan nilai-nilai yang dianut di luar lingkarannya.

Pluralitas dan realitas yang menampilkan perbedaan dengan apa yang dianutnya akan membuat pengiman ekstremisme gamang dan mencoba untuk mengukur kebenaran doktrin yang dianutnya. Karena itu, sebelum menggoyahkan doktrin yang telah dianut secar ekstrem, ia harus membasminya dengan harapan perbedaan yang ada di hadapannya tidak lagi memancing pertanyaan tentang kebenaran doktrinnya.

Fatwa 

Tak ayal lagi, diperlukan sebuah doktrin yang mampu memantapkan ekstremitas sikapnya sekaligus menjadi pembius kesadaran inetektualnya. Doktrin pemantap ini haruslah kuat dan sebisa mungkin mampu menutup semua keraguan yang berseliweran dalam benaknya.

Dengan dasar doktrin itu, ia diharapkan menjadi tenang dan mencerabut naluri keingintahuan. Tidak hanya itu, ia bahkan bisa menambah poin kesalehannya bila menerapkannya secara ekstrem. Dengan doktrin ini, kekerasan bisa terlihat sebagai kesalehan, penindasan menjadi cara meraih pahala, pembunuhan, penjarahan, dan semua tindakan yang menurut standar di luar doktrin itu adalah kebiadaban. Bisa dipastikan itu sebagai jalan pintas meraih kerelaan Tuhan.

Doktrin itu bukan undang-undang negara, bukan pula aksioma rasional, tapi dikemas dalam sebuah frase yang kudus. Fatwa sebutannya.

Ia terlanjur dipahami sebagai teks yang dating dari langit. Para pembuatnya juga sudah dianggap sebagai “tuhan-tuhan bertulang” yang tidak layak dipertanyakan apalagi ditentang.

Dalam sekejap, pendapat yang dikemas dengan kata “fatwa” bisa menimbulkan sebuah atau beberapa peristiwa. Ia sangat efektif untuk menciptakan sebuah aksi dan mengubah manusia yang lugu dan santun menjadi beringas dan sadis. Dengan satu kata “fatwa”, rumah-rumah bisa rata dengan bumi, anak-anak menggigil menangis tercekam takut dan wanita-wanita menjerit takut kehilangan kehormatan.

Hanya karena yang menerbitkan fatwa itu adalah orang-orang yang entah bagaimana prosesnya dianggap duplikat-duplikat orang suci (Nabi). Mereka tiba-tiba menggunakan parang, clurit dan semua sarana pemusnahan dihunus dan ditari-tarikan dalam sebuah even kolosal pembantaian. Alasan peragaan seni kebencian itu cukup satu: “berbeda”!

“Berbeda” ditafsirkan secara ekstrem sebagai sinonim “sesat”. Sesat terlanjur direduksi sebagai “kehilangan hak menghirup udara”, manusia maupun ternaknya, rumah maupun ladang tembakaunya.

Tendensi Kekuasaan

Agama atau mazhab bukan tendensi di balik rencana genosida di Omben Sampang dengan sasaran kaum Muslim Syiah. Bukan rahasia lagi, para kyai membentuk semacam lingkaran kekuasaan kultural secara turun memurun, sehingga setiap gejala sosial dan perubahan pandangan keagamaan ditafsirkan sebagai aksi pembangkangan dan upaya meruntuhkan dominasi. 

Sasarannya adalah kalangan masyarakat yang tidak menikmati pendidikan formal dan berhati tulus. Mereka dengan mudah dijejali dengan mitos-mitos dan dongeng kesaktian serta posisi supranatural semacam keramat yang luar biasa. Harapannya, dominasi yang tidak didasarkan pada parameter kualifikasi intelektual dan keilmuan yang jelas ini bisa tetap lestari. 

Tajul Muluk seorang sosok yang dianggap “pengganggu”. Dia adalah simbol perlawanan dan "pembangkangan" terhadap feodalisme relijius, yang bila tidak dieliminasi dengan segala macam cara, akan menularkan kesadaran baru yang dikhawatirkan menerbitkan sikap kritis. 

Keberagamaan secara Syiah tak ayal mengubah paradigma seseorang dalam berpikir, bertindak dan bersikap. Nah, dengan logika "dominasi" itulah, Tajul Muluk atau siapapun, Syiah atau Sunni, bila menunjukkan sikap yang tidak mengafirmasi status quo itu. Diperlukan sebuah surat sakti yang menjustifikasi tujuan eliminasi dan peneguhan status quo, apapun risikonya, airmata, darah dan nyawa bukan sesuatu yang masuk dalam daftar pertimbangan. 

Di Jatim tendensi kekuasaan kultural (atas nama kesukuan dan trah) juga diwakili oleh sebuah yayasan yang menjadi sanggar dan pusat propaganda kebencian sektarian beberapa manusia yang merasa kekuasaan kulturalnya (sebagai pemegang hak istimewa "keluarga suci") terancam oleh sebuah mazhab yang dianggap bisa menyebarkan kesadaran tentang kesucian yang hanya menjadi niscaya bagi Nabi dan para penerusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam khazanah utama umat Islam. Dengan logika "dominasi" inilah, mereka melakukan semua cara bahkan yang paling sadis pun untuk mempertahankan dominasi kultural ini, apapun risikonya termasuk menghina dan sebarapa luas area kerusakan yang diakibatkannya.

Syiah, mazhab dan lainnya tidak lebih dari kedok-kedok yang sengaja dimunculkan sebagai kosmetika tendensi ini. Kekuasaan baik struktural (politik dan lainnya) maupun kultural (agama) selalu menggiurkan dan membutakan hati, sebesar jubah dan sorban dikenakan.

Pemerintah dan Rakyat Indonesia terutama media harus bersikap rasional dan cermat melihat dan menyikapi setiap aksi kekerasan atas nama agama. Masyarakat Madura adalah masyarakat yang pada dasarnya sangat toleran dan menerima keragaman. Intoleransi dan ekstremisme adalah sesuatu yang sangat mungkin diciptakan sebagai bagian dari bahasa kekuasaan (language of power) yang salah dipahami. [Ahlul Baiit Indonesia/Muhsin Labib]

Kirim komentar