Menyingkap Hakikat Wahabisme; Tawassul Dalam Pandangan Wahhabi (Bagian kedua)
Para sahabat Nabi dan pengikut setia beliau biasa bertawassul dengan Nabi supaya doa mereka dikabulkan. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab malah menyebut tawassul sebagai perbuatan syirik. Tawassul adalah salah satu cara supaya doa dikabulkan oleh Allah Swt. Tawassul berarti menjadikan seseorang yang punya kedudukan mulia di sisi Allah sebagai wasilah kepada Allah untuk dikabulkannya doa.
Dalam ajaran Islam dinyatakan bahwa manusia bisa bertawassul kepada Allah dengan salah satu dari tiga cara. Pertama melalui amal saleh. Artinya, seorang hamba yang mukmin bisa menjadikan amal saleh yang dilakukannya sebagai wasilah kepada Allah supaya doanya dikabulkan. Kedua, tawassul melalui doa hamba-hamba Allah yang saleh. Dalam arti, seseorang meminta orang saleh untuk mendoakannya. Tawassul seperti ini dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf. Setelah mengakui kesalahan di masa lalu, mereka minta ayah mereka, Nabi Ya'qub as, untuk berdoa supaya Allah mengampuni mereka. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran di surat Yusuf ayat 97-98. Ketiga adalah adalah dengan menjadikan kedudukan mulia hamba-hamba Allah yang saleh di sisi Allah sebagai wasilah. Tawassul dengan cara ini sering dilakukan oleh para sahabat Nabi dengan menjadikan kedudukan Nabi di sisi Allah sebagai perantara bagi terkabulnya doa mereka.
Tidak ada seorang Muslimpun yang menolak tawassul dengan cara menjadikan amal saleh sebagai wasilah. Hanyasaja, kaum Salafi dan Wahhabi menentang tawassul yang menjadikan manusia sebagai perantara antara seseorang dengan Allah, misalnya dengan mengatakan, "Ya Allah aku bertawassul dengan Nabinya kepada-Mu." Tawassul dengan cara ini oleh kaum Wahhabi dinilai sebagai perbuatan dosa dan syirik.
Pandangan kaum Salafi dan Wahhabi bertolakbelakang dengan pendapat mayoritas Ahlussunnah. Imam Ahmad bin Hanbal dalam ‘Musnad'nya meriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa suatu hari seseorang yang buta mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, "Ya Rasulullah mintalah kepada Allah untuk menyembuhkanku." Nabi Saw bersabda, "Kalau kau mau aku akan mendoakanmu tapi kalau kau mau aku akan menundanya dan ini lebih baik bagimu." Orang buta itu menjawab, "Doakanlah, ya Rasulullah." Beliau lalu menyuruhnya untuk berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat lalu berdoa demikian, "Ya Allah aku memohon kepadaMu dengan wasilah Muhammad Saw berilah pandangan inayah kepadaku. Wahai Muhammad, aku berwasilah denganmu kepada Allah untuk terkabulnya hajatku. Ya Allah jadikan dia pemberi syafaat untukku." Setelah melaksanakan apa yang diajarkan Nabi Saw, orang tersebut sembuh dari kebutaannya. (HR Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal juz: 4 hal: 138) Hadis riwayat Imam Ahmad ini diterima oleh seluruh pakar hadis. Bahkan hakim Neisyaburi menukilnya dalam Mustadrak dan menyatakan bahwa hadis ini sahih. Riwayat tadi menjelaskan sahnya bertawassul dengan Nabi dan salihin yang punya kedudukan mulia di sisi Allah Swt.
Tawassul dengan cara yang disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad tadi sudah dikenal oleh para sahabat dan merekapun melakukannya. Salah satu pemikiran kaum Wahhabi dan Salafi yang menyimpang adalah vonis syirik yang mereka jatuhkan bagi siapa saja yang bertawassul dengan nabi dan wali. Ibnu Taimiyah mengatakan, "Siapa saja yang mendatangi kubur Nabi dan orang yang saleh lalu memohon kesembuhan dari penyakit atau terlunasinya utang berarti ia telah menjadi musyrik. Sebab, selain Allah tidak ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal itu. Karena itu, orang tersebut harus dipaksa bertaubat dan jika tidak bersedia maka dia harus dibunuh."
Pendiri ajaran Salafi dalam kesempatan lain mengatakan, "Siapa saja yang berkata bahwa si fulan lebih dekat kepada Allah daripada aku karena itu aku menjadikannya sebagai wasilah untuk doa-doaku berarti dia telah mengatakan hal yang berbau syirik dan orang itu musyrik." (Ziyaratul Qubur wa al-Istijar bi al-Maqbur hal 156)
Hal serupa dikatakan Muhammad bin Abdil Wahhab. Penerus pemikiran Ibnu Taimiyyah ini mengatakan, "Mereka yang bertawassul dengan malaikat, nabi dan wali serta menjadikannya sebagai pemberi syafaat untuk mendekatkan diri kepada Allah, darah dan harta mereka halal." (Kasyf al-Syajat hal: 58) Ibnu Abdil Wahhab tanpa dalil dan argumentasi apapun mengklaim pandangannya yang menyimpang itu sebagai pendapat seluruh mazhab Islam dengan mengatakan, "Semua mazhab Islam sepakat bahwa orang yang menjadikan siapa saja sebagai wasilah antara dia dan Allah lalu menyeru orang itu berarti dia telah kafir dan murtad, nyawanya boleh ditumbahkan dan hartanya bisa dirampas.."
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Aal Syeikh, salah seorang mufti Wahhabi mengenai tawassul dengan nabi mengatakan, "Setelah kematiannya, nabi tidak bisa melakukan pekerjaan apapun bahkan tidak bisa mendoakan siapa saja. Karena itu, bertawassul dengan beliau tidak bisa dibenarkan secara logika dan bisa menyebabkan syirik."
Ulama Wahhabi menyebut Syiah sebagai kelompok kafir dalam bentuk yang terburuk. Sebab, kaum Syiah biasa bertawassul dengan Nabi dan Ahlul Bait. Dewan Fatwa Wahhabi saat ditanya tentang pernikahan dengan orang yang menganut mazhab Syiah menjawab demikian,"Ahlussunnah tidak diperkenankan menikah dengan orang Syiah. Jika pernikahan sudah terlanjur terjadi maka ia dihukumi batal dan tidak sah. Sebab orang Syiah biasa bertawassul dengan Ahlul Bait dan ini adalah perbuatan syirik terbesar."
Satu hal yang menarik adalah fatwa yang dibuat oleh dewan ini mengenai pernikahan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Dewan ini menyatakan, menikah dengan orang Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani diperbolehkan dengan syarat mereka bukan pezina. Orang-orang Wahhabi ini tidak menyadari bahwa al-Quran dengan jelas menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai kaum kafir. Surat al-Taubah ayat 30 menyebutkan, "Orang-orang Yahudi mengatakan, Uzair anak Allah, dan orang-orang Narsani mengatakan Masih putra Allah. Demikianlah kata-kata mereka yang keluar dari mulut mereka. mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu." Fatwa kaum Wahhabi jelas menyimpang dari kebenaran. Sebab, orang-orang Syiah tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Mereka beriman kepada keesaan Allah, kenabian Rasulullah, mempercayai al-Quran, hari akhir dan banyak hal lain yang juga dipercayai oleh muslimin Ahlussunnah.(IRIB Indonesia)
Kirim komentar