Menyingkap Hakikat Wahabisme; Tawassul Dalam Pandangan Wahhabi (Bagian Pertama)

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Tawassul Dalam Pandangan Wahhabi (Bagian Pertama)Salah satu dalil orang-orang Wahhabi yang dijadikan alasan untuk mengharamkan tawassul adalah bahwa tawassul sama dengan meminta kepada orang yang sudah mati, dan itu adalah perbuatan yang sia-sia. Untuk mendukung argumentasi mereka membawakan ayat 8 surat al-Naml bahwa Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya engkau tak bisa membuat orang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang tuli mendengar panggilan apabila mereka telah berpaling."

 

Ayat ini menyamakan orang-orang musyrik dengan orang yang sudah mati. Jika orang mati tidak bisa mendengar seruan kebenaran seruanmu juga tak akan didengar oleh orang musyrik. Jika orang mati dan orang tuli bisa mendengar tentunya orang-orang musyrik juga akan bisa mendengar seruanmu.

 

Ayat lain yang dibawakan oleh kaum Salafi adalah ayat 22 surat Fathir. Allah berfirman,"Dan tidaklah sama orang hidup dan orang mati. Allah menjadikan siapa saja yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah engkau menjadikan orang yang di kubur itu mendengar."

 

Metode argumentasi mereka dengan ayat ini sama seperti ayat sebelumnya. Orang-orang Wahhabi berpendapat bahwa meminta sesuatu kepada orang yang sudah mati sama seperti meminta sesuatu kepada benda mati.

 

Untuk menjawab argumentasi yang lemah dan tidak logis ini kita katakan bahwa amat disayangkan kaum Wahhabi dengan mudahnya memutarbalikkan makna dari ayat suci al-Quran. Dengan cara itu mereka berharap bisa memperkuat pemikiran yang jelas tidak sejalan dengan ajaran Islam. Ayat-ayat yang dijadikan argumentasi tadi sebenarnya ingin menyatakan bahwa jasad tanpa ruh yang terbaring di dalam kubur sudah tidak bisa lagi memahami sesuatu. Sementara, dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permintaan kita kepada jasad yang tak bernyawa, tapi kepada ruh suci pemilik jasad itu yang kini hidup di alam barzakh. Mengenai mereka al-Quran dengan jelas menyatakan, mereka itu hidup. Singkatnya, kita memohon syafaat kepada mereka yang disebut hidup oleh al-Quran, bukan kepada benda mati. Jika jasad tidak bisa mendengar dan mengerti kata-kata kita, bukan berarti bahwa ruh suci mereka tidak bisa mendengar dan mengerti permintaan kita. 

 

Dalam kitab Sahih Bukhari mengenai perang Badr disebutkan bahwa setelah kaum kafir Qureisy menderita kekalahan telak, Nabi Saw bersama sekelompok orang dari sahabat beliau mendatangi sebuah lubang tempat dikuburkannya jasad para prajurit musyrik Qureisy yang tewas dalam perang itu. Nabi menyebut nama mereka satu persatu dan bersabda dengan suara yang keras, "Bukankah sebaiknya dulu kalian patuh kepada Allah dan NabiNya? Kami sudah menyaksikan kebenaran apa yang dijanjikan Allah kepada kami dan apakah kalian sudah mendapatkan apa yang dijanjikan tuhan kalian kepada kalian?" Sahabat Umar bertanya kepada Nabi, "Ya Rasulullah, apakah Anda berbicara dengan jasad yang tanpa nyawa?" Nabi Saw menjawab, "Demi Dia yang jiwa Muhammad berada dalam genggamannya, kalian tidak lebih mendengar apa yang kukatakan dibanding mereka."

 

Riwayat-riwayat dari Ahlul Bait as juga menyebutkan beberapa hal dalam masalah ini. Diriwayatkan bahwa setelah mengkafani jenazah Rasulullah Saw, Imam Ali as membuka wajah Nabi dan berkata, "Demi ayah dan ibuku! Sungguh engkau hidup suci dan mati dalam keadaan suci. Ingatlah kami di sisi Tuhanmu." (Nahjul Balaghah khutbah 230)

 

Dalam budaya bangsa Arab kata-kata ‘ingatlah aku di sisi Tuhanmu' berarti memohon syafaat. Hal yang sama dilakukan Nabi Yusuf as saat meminta kawan yang bersamanya di penjara untuk mengingatkan nasib beliau kepada raja setelah bebas nanti.  Riwayat lain menyebutkan bahwa Sahabat Abu Bakar sesaat sebelum Nabi dimakamkan membuka wajah Nabi Saw dan meminta syafaat beliau. (Khulashatul Kalam)

 

Kaum Salafi menolak adanya ruh yang terpisah dari badan. Mereka menganggap bahwa setelah seseorang mati, ruh akan binasa bersama badannya. Karena itu, mereka menolak adanya kehidupan bagi ruh para nabi setelah kematian mereka. Karena itu bertawassul kepada mereka dan meminta syafaat mereka yang baik jasad maupun ruhnya sudah binasa adalah perbuatan yang percuma dan sia-sia. Padahal ayat al-Quran menyebutkan dengan tegas bahwa ruh akan tetap hidup setelah berpisah dari badan.

 

Para ulama Ahlusunnah menolak pandangan Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam masalah ini. Khalil Ahmad Saharanpuri Hanafi (lahir 1346 H) mengatakan, "Kami dan para ulama kami meyakini bahwa dalam berdoa diperbolehkan bertawassul dengan para Nabi, salihin, para wali dan syuhada baik ketika mereka masih hidup maupun setelah mati. Tak masalah jika seseorang mengatakan misalnya, ‘Ya Allah aku menjadikan si fulan wasilah di sisi-Mu supaya Engkau mengabulkan doaku dan memenuhi hajatku."

 

Imam Baihaqi mengatakan, "Di zaman khalifah kedua terjadi paceklik. Bilal bersama beberapa orang sahabat Nabi Saw datang ke makam Rasul dan berkata, ‘Ya Rasulullah! Mintalah hujan kepada Tuhanmu untuk umatmu." (al-Tawashshul ilaa Haqiqati al-Tawassul hal: 253)

 

Ali bin Ahmad Samhudi (wafat 911) dalam kitab Wafa'a al-Wafa' menulis demikian: Meminta pertolongan dan syafaat dengan perantara Nabi Saw kepada Allah Swt adalah perbuatan yang diperbolehkan, baik sebelum beliau diciptakan, atau setelah kelahirannya maupun setelah kematian beliau, baik di alam barzakh maupun di alam akhirat."

 

Lebih lanjut Samhudi membawakan riwayat dari Umar bin Khattab tentang tawassul Nabi Adam as. Nabi Adam yang mengetahui bahwa kelak akan lahir seorang Nabi bernama Muhammad yang punya kedudukan teramat tinggi di sisi Allah, Adam berkata, "Ya Allah demi kedudukan Muhammad [di sisiMu] aku mohon, ampunilah aku." (Wafa'a al-Wafa' jil: 3 hal: 1371)

 

Islam menyebut syafaat yang sebenarnya adalah milik Allah Swt, dan Dialah yang mengizinkan sekelompok hambaNya seperti para nabi, syuhada dan salihin untuk memberi syafaat kepada manusia yang lain. Ayat 87 surat Maryam Allah Swt berfirman: "Mereka tidak memperoleh syafaat kecuali orang yang telah mengadakan janji dengan Allah yang Maha Pemurah."

 

Di surat Thaha ayat 109 Allah Swt berfirman,"Di hari itu syafaat siapa saja tidak akan berguna kecuali yang telah diberi izin oleh Allah yang Maha Penyayang dan Dia meridhai perkatannya."

 

Pertanyaannya adalah mengapa Allah memberikan hak syafaat kepada sebagian hamba-Nya? Salah satu alasan seperti yang ditegaskan oleh para ulama adalah karena Allah berkehendak menunjukkan kebesaran dan keagungan mereka di sisiNya, bahwa mereka adalah orang-orang yang didekatkan kepada-Nya. Ketika seorang hamba telah mencapai derajat khalifatullah, maka dia akan mendapat hak memberi syafaat yang diperoleh dari Allah Swt untuk menunjukkan keunggulan mereka di atas hamba-hamba Allah yang lain.

 

Nabi Saw bersabda, "Ada tiga kelompok yang memberi syafaat di sisi Allah, para nabi, ulama dan syuhada." (al-Khishal: 156 dan 157)

 

Di hadis yang lain Rasulullah Saw bersabda, "Para nabi, para washi, mukminin dan malaikat bisa memberi syafaat dan menjadi perantara untuk pengampunan." (Bihaar al-Anwar juz: 8 hal: 58)

 

Syafaat adalah kesempatan yang dibuka bagi hamba-hamba Allah untuk menerima ampunan dan maghfirah. Tentunya untuk menerima syafaat ada serangkaian syarat yang mesti dipenuhi dan hal itu telah disebutkan dalam sejumlah riwayat. Diantaranya, orang terkait harus menyesali akan perbuatan dosa yang mereka perbuat.(IRIB Indonesia)

Kirim komentar