Perdagangan Manusia di Eropa
Salah satu masalah besar di tingkat global yang dihadapi masyarakat dunia dewasa ini adalah perdagangan manusia. Menurut statistik dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 2012 diperkirakan hampir 21 juta orang di seluruh dunia menjadi korban perdagangan manusia. Kantor PBB urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menyebut perdagangan manusia sebagai bisnis global yang bernilai miliaran dolar, yang hanya kalah oleh perdagangan narkoba dan perdagangan senjata ilegal. Sebuah laporan ILO yang terbit tahun 2005 mengungkapkan bahwa keuntungan hasil perdagangan manusia mencapai sekitar 32 miliar dollar. Dan setengah dari keuntungan itu berasal dari negara-negara industri maju.
Penelitian lapangan menunjukkan bahwa perdagangan manusia di Eropa terus meningkat yang menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan. Laporan yang dirilis Uni Eropa menjelaskan bahwa jumlah korban perdagangan manusia diidentifikasi meningkat sebesar 18 persen antara periode 2008 dan 2010. Cecilia Malmstrom, komisaris Uni Eropa untuk urusan dalam negeri mengemukakan terjadinya kenaikan besar korban perdagangan manusia dari tahun 2008 sebesar 6309 orang menjadi 9528 di tahun 2010. Dari jumlah tersebut, 68 persen korbannya adalah perempuan, 17 persen laki-laki, tiga persen anak laki-laki dan dua persen anak perempuan. Namun, menurut pejabat Uni Eropa itu, jumlah tersebut kemungkinan hanya mewakili sebagian kecil dari semua korban. "Yang kita tahu adalah mungkin hanya puncak gunung es," kata Malmstrom.
Ribuan orang menjadi korban perdagangan manusia setiap tahun di Uni Eropa. Tapi, sebagian besar negara anggota Uni Eropa gagal melaksanakan undang-undang baru yang lebih ketat. UU baru yang disepakati pada 2011 itu menjatuhkan hukuman lebih tinggi bagi pelaku dan membuat upaya penuntutan lintas batas dalam blok itu jauh lebih mudah serta memberikan perlindungan lebih baik kepada korban. Menurut komisaris Uni Eropa untuk urusan dalam negeri hanya enam negara di blok yang beranggotakan 27 negara tersebut yang telah menerapkan undang-undang baru itu sejauh ini.
UNICEF dan organisasi anak-anak ECPAT mengritik lambannya pelaksanaan garis haluan Uni Eropa dalam memerangi perdagangan manusia. Haluan yang diberlakukan dua tahun lalu menuntut negara anggota Uni Eropa untuk memburu pedagang manusia secara terarah dan penjatuhan hukuman lebih berat, serta melindungi korbannya. Batas penerapan garis haluan ini ke dalam hukum nasional adalah 5 Apr 2013. Tapi Jerman tidak melakukannya. Saat ini di Jerman masih diperdebatkan tentang pelaksanaan garis haluan UE tersebut.
Korban terbesar perdagangan manusia, tutur Malmstrom adalah perempuan, dan anak-anak. Mereka dipaksa menjadi budak seksual, dan sebagian terlibat dalam kegiatan kriminal. Beberapa di antaranya bahkan menjadi korban pencurian organ.
Sebagian besar korban yang diidentifikasi adalah warga negara Romania dan Bulgaria, dua anggota termiskin Uni Eropa. Kedua negara itu belum menerapkan undang-undang baru tersebut. Negara anggota Uni Eropa yang tidak menerapkan aturan umum dapat menghadapi sanksi hukum dan denda.
UNICEF melaporkan, dari 1,2 juta orang di seluruh dunia yang menjadi korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak yang dipekerjakan sebagai buruh berupah rendah dan pekerja seksual oleh kelompok kriminal multinasional yang terorganisir. Dilaporkan, konglomerat kriminal yang terorganisir mendapatkan keuntungan sangat besar dari perdagangan manusia dan skema pencucian uang. Kelompok kriminal ini telah menjamur selama beberapa tahun belakangan. Dalam responnya, UNICEF menghimbau negara-negara Eropa agar membuat undang-undang yang lebih tegas untuk menghadapi perdagangan manusia yang melewati batas wilayah mereka.
Hingga kini jumlah orang yang diperdagangkan ke dalam dan di dalam Eropa mencapai ratusan ribu. Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), di luar total jumlah orang yang diperdagangkan, 43 persen korban dieksploitasi untuk prostitusi dan 32 persen sebagai buruh.
Perdagangan ilegal biasanya dimulai dari iklan dalam surat kabar lokal yang menawarkan pekerjaan di negara Eropa Barat oleh agen tenaga kerja. Perempuan muda biasanya ditawarkan pekerjaan sebagai pramusaji di bar atau di klub malam bergengsi. Pertemuan dijadwalkan antara calon potensial dan agen perekrut, detil pekerjaan diselesaikan dengan cepat, dan perempuan-perempuan muda itu ditawarkan gaji yang tidak akan mungkin mereka dapatkan di dalam negeri.
Orang-orang dengan kedudukan sangat lemah terutama berasal dari negara-negara di Eropa Pusat dan Eropa Timur, yang oleh para ahli diperkirakan pelaku perdagangan mendapatkan berjuta-juta Euro dari perdagangan manusia ini.
Seiring keruntuhan rejim komunis di Eropa Pusat dan Eropa Timur, banyak negara hancur secara ekonomis. Orang-orang dari negara berkembang seperti Moldova dan Bulgaria menjadi korban perdagangan manusia. Menurut data statistik Moldova, 25 persen orang muda Moldova dipekerjakan ke luar negeri, dan rata-rata gaji bulanan domestik Moldova adalah Rp 1.365.000,00.
Menurut Lembaga Statistik Nasional Bulgaria, meskipun rata-rata gaji warga Bulgaria sedikit lebih tinggi yakni Rp 4.620.000,00 jumlah migrasi tenaga kerja mencapai 1 juta dari total populasi 7.5 juta. Pada tahun 2009, Pemimpin Bulgarian National Investigation Service, Boiko Naydenov mengatakan, "Bulgaria turut menyumbang praktek perdagangan manusia dan sayangnya tidak mampu memberantasnya,".
Lembaga RiskMonitor menunjukkan laporan mengenai kejahatan terorganisir yang berkaitan dengan perdagangan orang. Laporan menyatakan para pelaku kriminal meraup penghasilan sekitar 1,3 milyar Euro dari 10.000 lebih korban perdagangan ilegal setiap tahunnya di Bulgaria. Para ahli tidak dapat membuat perkiraan akurat mengenai keuntungan perdagangan manusia, namun jumlahnya pasti sangat besar. Menurut Departemen Migrasi kepada Agen Keamanan Nasional Bulgaria di Jerman sendiri, pada 2008 terdaftar 500 kasus dengan korban perdagangan lebih dari 800 orang.
Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama Eropa OECD memperkirakan setiap tahun pedagang manusia membawa sekitar 120.000 – 150.000 perempuan dari Eropa Tengah dan Tenggara ke Eropa Barat, dan memaksanya melakukan prostitusi. Banyak diantaranya masih di bawah umur. Padahal mereka lebih membutuhkan perlindungan dibanding orang dewasa dan karenanya lebih terancam bahaya menjadi korban perdagangan manusia.
Para analis menilai negara-negara Eropa hingga kini relatif tidak serius untuk menangani korban perdagangan manusia, terutama korban yang berasal dari luar benua itu. Namun sebaliknya, jika warga negara-negara Eropa mengalami masalah hukum di luar batas kawasannya, mereka memanfaatkan isu hak asasi manusia sebagai alasan untuk mengamankan kepentingannya. Misalnya, warga negara-negara Eropa yang bermasalah di Afghanistan, Irak, Yaman atau di sejumlah negara Afrika. Tapi setiap tahunnya ribuan orang menjadi korban sindikat perdagangan manusia dan terlantar di Eropa. Dan negara-negara Eropa sendiri tampaknya tidak serius untuk memberangus sindikat yang menyebabkan perdagangan manusia kian hari semakin meningkat dan mengkhawatirkan. (IRIBIndonesia)
Kirim komentar