Menyingkap Hakikat Wahabisme; Syafaat Dalam Pandangan Wahhabi
Syafaat dalam Islam merupakan nikmat besar yang dianugerahkan Allah kepada umat manusia. Bagi mereka yang tidak merusak penghambaannya dengan syirik dan kekafiran, syafaat dari orang-orang saleh akan bermanfaat bagi mereka, mengubah keputusasaan menjadi harapan dan menumbuhkan kerinduan kepada rahmat Allah di hati.
Dalam masalah syafaat, kaum Salafi dan Wahhabi telah salah memahami ajaran Islam dengan menyamakan permohonan syafaat kepada Nabi dan shahilin dengan syirik. Untuk mendukung pandangan yang salah ini mereka membawakan sejumlah argumentasi yang intinya adalah bahwa memohon kepada selain Allah merupakan perbuatan dosa dan syirik. Di antara dalil mereka adalah ayat 18 surat al-Jin, "Maka janganlah kalian menyeru seseorangpun bersama Allah." Dalil berikutnya adalah ayat 60 surat Ghafir, "Berdoalah kepadaKu niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian.."
Jika dicermati dengan baik, ayat pertama sebenarnya melarang manusia untuk menyeru seseorang sebagai sekutu Allah, yang tentunya mengisyaratkan akan keharaman menyembah selain Allah. Sebab, ibadah, ruku, dan sujud kepada selain Allah adalah perbuatan syirik dan orang yang melakukan disebut musyrik. Sementara, memohon syafaat tidak berarti menyembah atau beribadah kepada pemberi syafaat. Orang yang memohon syafaat tentu menyadari bahwa segalanya ada di tangan Allah dan syafaat hanya bisa diberikan dengan izin-Nya. Yang dilakukan seorang muslim adalah menjadikan orang-orang saleh yang punya kedudukan mulia di sisi Allah sebagai perantara supaya doa dan permohonan ampun mereka dikabulkan Allah. Sebab, doa orang-orang saleh khususnya Nabi tak mungkin tertolak.
Pemikiran, pandangan dan akidah Muhammad bin Abdul Wahhab sama sekali tidak dilandasi oleh pemikiran dan logika yang benar. Kepercayaan yang menyimpang itu bisa dibantah dengan logika, ayat-ayat suci al-Quran dan hadis-hadis yang sahih. Baik Ibnu Taimiyyah maupun Muhammad bin Abdul Wahhab tidak memahami dengan benar makna dari penghambaan dan penyembahan. Karena itu, mereka berpikir bahwa memohon syafaat dari para nabi dan wali sama dengan menyembah mereka. Padahal dalam penyembahan ada satu unsur ketundukan mutlak yang khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Sementara, ketundukan yang wajar tidak bisa disamakan dengan penyembahan.
Dalil lain yang digunakan oleh kaum Wahhabi untuk menolak syafaat adalah bahwa syafaat merupakan hak mutlak Allah yang tidak dimiliki oleh siapapun juga. Al-Quran menyebutkan, "Bahkan mereka mengambil pemberi syafa'at selain Allah. Katakanlah: "Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?" Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan". (Q.S. al-Zumar: 43-44)
Ayat tadi sebenarnya tidak menyatakan bahwa "hanya Allah yang memberikan syafaat dan tidak ada seorangpun yang bisa memberinya". Tentunya, Allah tidak akan pernah mensyafaati siapapun juga di sisi siapapun selain-Nya. Memberi syafaat seperti ini jelas tidak mungkin dilakukan Allah. Logika tidak bisa menerima bahwa Allah menjadi perantara untuk pengampunan dosa seseorang. Sebab, yang akan dipertanyakan adalah kepada siapakah Allah mengajukan syafaat? Ayat tadi hendak menyatakan bahwa Allahlah yang mengizinkan pemberian syafaat dan yang menerimanya. Dia akan memberikan hak syafaat kepada siapa saja yang layak dan akan menerima syafaat untuk orang yang dikehendaki-Nya. Karena itu, ayat tadi tidak sejalan dengan klaim kaum Wahhabi yang menafikan syafaat.
Sejak zaman Nabi dulu hingga sekarang, umat Islam hanya meyakini Allah sebagai Tuhan alam semesta dan memilik mutlak syafaat, bukan para auliya-Nya. Kaum muslimin percaya dengan sepunuh jiwa bahwa para syafi' hanya bisa memberi syafaat dengan izin Allah. Kepercayaan ini didasari oleh sejumlah ayat suci al-Quran yang menegaskan bahwa Allah telah menganugerahkan hak kepada Nabinya untuk memberi syafaat kepada umat manusia. Karena adanya izin inilah, umat Islam meminta Nabi Saw untuk memberi mereka syafaat. Apalagi, yang disinggung oleh ayat tadi adalah benda-benda atau manusia yang tidak memiliki akal dan kekuatan berpikir. Sementara, para nabi dan wali adalah manusia-manusia yang berakal sempurna.
Ulama Ahlussunnah seperti Imam Bukhari dan Tirmidzi dalam kitab hadis mereka tidak pernah menyamakan syafaat dengan perbuatan syirik. Dalam Sunan Tirmidzi yang termasuk salah satu dari enam kitab sahih disebutkan satu riwayat dari Anas bin Malik yang mengatakan, "Aku meminta Nabi untuk memberiku syafaat di hari kiamat. Beliau menerima dan bersabda, ‘Aku akan melakukannya.' Aku kemudian bertanya lagi, ‘Di manakah aku menemuimu ya Rasulullah?' Beliau menjawab, ‘Di jembatan sirath." (Sunan Tirmidzi jus:4 hal: 621 hadis ke 2433)
Riwayat tadi menerangkan bahwa Anas dengan yakin meminta syafaat Rasulullah dan beliaupun mengabulkan permintaannya. Dalam benak Anas tak ada pikiran bahwa perbuatan ini tergolong syirik.
Sahabat Nabi yang lain bernama Sawad bin Azib pernah membawakan beberapa bait syair tentang Rasulullah Saw yang isinya memohon beliau untuk memberinya syafaat. Dia mengatakan, "Jadilah pemberi syafaat bagiku di hari tak ada syafaat yang bisa berguna bagi Sawad bin Azib meski senilai biji kurma."
Para pemimpin Salafi tidak pernah menyinggung hadis-hadis seperti yang disebutkan tadi. Mereka juga tak pernah bersedia menerangkan ayat-ayat seperti ayat 64 surat al-Nisa' yang dengan jelas menyebutkan hak syafaat yang diberikan Allah kepada RasulNya. "Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Ayat suci ini dengan sangat jelas menyebut Nabi Saw sebagai pemberi syafaat untuk pengampunan dosa umat manusia.
Fakhrurrazi mengatakan, "Yang dimaksudkan dalam ayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah memohonkan ampunan bagi mereka, adalah penjelasan akan kedudukan beliau yang tinggi. Artinya, orang-orang itu hendaknya mendatangi seseorang yang memiliki kedudukan tinggi risalah kenabian. Beliaulah yang mengetahui hakikat ghaib yang diwahyukan kepadanya, dan beliaulah duta Allah di antara hamba-hambaNya. Sebab, dengan kedudukan yang tinggi ini, syafaat beliau tidak mungkin tertolak."
Allah Swt sendiri dengan jelas menyatakan telah memberikan hak kepada Rasulullah untuk memohonkan ampunan bagi umatnya. Lalu mengapa kaum Salafi mengingkarinya? Di sini ada baiknya kita menyimak apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah. Perintis aliran Salafi ini mengatakan, "Allah swt telah memberikan hak syafaat kepada auliya-Nya, tetapi Dia melarang kita untuk memintanya."
Pernyataan seperti ini menunjukkan kebuntuan pemikiran Salafi. Sebab di ayat 64 surat al-Nisa' dijelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk meminta syafaat kepada Nabi. Selain itu, ada satu lagi pertanyaan, mungkinkah Allah memberikan hak kepada seseorang tetapi Dia melarangnya untuk menggunakan hak itu? Ini jelas satu pandangan yang kontradiktif. Jika Allah memberikan suatu hak tentunya Dia mempersilahkan umat untuk memperoleh manfaat dari hak itu bukan malah melarangnya. Memang dalam banyak kasus, kaum Salafi sering terjebak dalam kontradiksi karena kelemahan mereka dalam berlogika. (IRIB Indonesia)
Kirim komentar