Reformasi Profetik, Dr Jalalaludin Rahmat, M.Sc

Apakah perubahan besar yang dilakukan Nabi Muhammad saw? Gerangan percikan cahaya langit apakah yang mengubah gembala unta di sahara menjadi penakluk-penakluk dunia? Kita dapat membuat daftar panjang: dari syirik ke tawhid; dari kepongahan ras ke persamaan; dari kejahilan ke ilmu pengetahuan; dari kezaliman ke keadilan; dari perpecahan ke persaudaraan; dari keserba-bolehan ke kesucian; dari penindasan perempuan ke penghormatan.


 
Bagi bangsa Arab
Kelahiran Muhammad adalah kelahiran

             dari kegelapan kepada cahaya
Arabia untuk pertama kalinya hidup karena kehadirannya
Bangsa-bangsa gembala yang miskin yang terasing di sahara
            sejak terciptanya dunia
Seorang nabi pahlawan dikirimkan kepada mereka
Dengan firman yang mereka percaya
Lihat bagaimana gembala-gembala yang tak dikenal

          menjadi penguasa dunia
Bangsa yang kecil tumbuh menjadi bangsa yang besar

Dan dalam satu abad sesudah itu,
Arabia memanjang sejak Granadha sampai New Delhi
Cemerlang dalam segala cahaya dan kebesaran
Arabia menyinari abad-abad yang panjang pada bagian besar dunia

Imam memang besar dan memberikan kehidupan
Sejarah satu bangsa menjadi tumbuh subur
Menaikkan jiwa besar
            segera setelah bangsa itu percaya kepada orang Arab ini
Orang ini -Muhammad- dan satu abad saja

Bukankah ini sebuah percikan yang jatuh dari langit
Kepada dunia padang pasir yang tidak dikenal dan kelabu
Dan lihatlah, padang-padang pasir itu berubah
            menjadi amunisi yang meledak
Dan sinarnya naik ke langit, sejak Delhi hingga Granadha

Ucapan Thomas Carlyle di atas sering dikutip Bung Karno dengan -seperti biasa- parafrase sendiri, “Kedatangan Muhammad ke negeri Arab seperti jatuhnya percikan api ke tengah sahara. Terjadi ledakan besar, sehingga merah rona angkasa dari Delhi ke Granada.” Bung Karno mengutipnya dari buku Thomas Carlyle dalam terjemahan Belanda, Helden en Helden Vereering. Di situ Carlyle melukiskan jenis-jenis pahlawan. Muhammad saw ditempatkannya dalam kategori Pahlawan sebagai Nabi. Dalam teori perubahan sosial, Carlyle termasuk penganut the great man theory. Berbeda dengan kaum materialis, yang menganggap perubahan teknologi dan distribusi barang dan jasa sebagai sumber perubahan sosial, berbeda dengan kaum idealis yang menyatakan bahwa gagasanlah yang menimbulkan perubahan sosial, the great man theory meletakkan pahlawan sebagai sumber dari segala perubahan. Pahlawan adalah manusia besar yang mengubah sejarah umat manusia.

"And I said: the great man always acts like a thunder. He storms the skies, while others are waiting to be stormed, "kata Carlyle ketika merumuskan teorinya tentang Manusia Besar. Aku katakan bahwa manusia besar selalu seperti halilintar yang membelah langit, dan manusia yang lain hanya menunggu dia seperti kayu bakar.

Apakah perubahan besar yang dilakukan Nabi Muhammad saw? Gerangan percikan cahaya langit apakah yang mengubah gembala unta di sahara menjadi penakluk-penakluk dunia? Kita dapat membuat daftar panjang: dari syirik ke tawhid; dari kepongahan ras ke persamaan; dari kejahilan ke ilmu pengetahuan; dari kezaliman ke keadilan; dari perpecahan ke persaudaraan; dari keserba-bolehan ke kesucian; dari penindasan perempuan ke penghormatan.

Dalam tulisan singkat ini, kita akan menengok sekilas pada dua butir yang pertama.

Dari Syirik ke Tawhid

Masyarakat jahiliah disebut Al-Quran sebagai kaum musyrikin. Mereka memuja berbagai berhala. Bukan hanya berhala dari kayu dan batu. Gemintang, pepohonan, unta, kepala suku, jin, tradisi leluhur, atau apa saja dapat diberhalakan. Berhala-berhala itu telah membelenggu masyarakat -membungkam kebebasan berbicara, mematikan pikiran kritis, dan melumpuhkan perlawanan kepada tirani. Manusia mempersembahkan kepasrahan dirinya kepada banyak berhala. Karena itu, mereka takut kepada banyak hal. Jiwa mereka gelisah karena harus menaati banyak tuan.

Dari puncak Bukit Hira turun Sang Rasul. Ia membawa firman Tuhan: Tidaklah mereka diperintah kecuali menyembah Allah saja dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya. (QS. Al-Bayyinah: 5); Dan Tuhan kamu adalah Tuhan yang satu, tidak ada Tuhan kecuali Dia Yang Mahakasih Mahasayang (QS. Al-Baqarah: 163). Sekarang bangsa Arab meninggalkan semua berhala dan menyerahkan dirinya kepada Allah saja. Mereka tidak memuja siapa pun kecuali Allah. Mereka tidak mencintai siapa pun dengan puncak kecintaan selain Allah. Harga diri mereka timbul. Ketakutan hilang. Kegelisahan digantikan dengan ketentraman.

Ketika pasukan umat Islam bergerak menuju Persia, seorang sahabat diutus untuk menemui Panglima Rustam di istananya. Panglima ini dilaporkan sempat mengejek tentara Islam dengan mengatakan: “Buat menyambut para gembala unta, cukuplah aku kirimkan gembala-gembala babi.” Ia mengira bangsa Arab yang dihadapinya adalah bangsa yang belum diubah dari syirik ke tawhid.

Utusan pasukan Islam datang dengan pakaian yang lusuh dan mengendarai keledai. Ia masuk ke istana dengan penuh kepercayaan diri. Keledainya diseret ke dalam balai pertemuan dan diikat pada salah satu kursi di istana. Rustam bertanya, “Bangsa macam apakah kalian ini?” Sahabat itu menjawab, “Nahnu qawmun ibta’atsana Allâh li yukhrijan nâs minazh zhulumât ilân nûr, min jauwril adyân ilâ ‘adlil Islâm, min ‘ibâdatil ‘ibâd ilâ ’ibâdatillâhi wahdah. Kami adalah bangsa yang dipilih Tuhan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari kezaliman berbagai agama kepada keadilan Islam, dari penghambaan kepada hamba ke penghambaan kepada Allah saja.” Ketika orang-orang Persia menghinanya dengan mengonggokkan tanah di atas punggungnya, utusan ini tertawa gembira, “Lihat, mereka telah menyerahkan tanahnya kepada kita.” Kelak bangsa Persia bukan hanya menyerahkan tanahnya, mereka juga menyerahkan hatinya untuk Islam.

Seorang pemikir Persia, Ali Syariati, dalam “Rasulullah saw: Sejak Hijrah hingga Wafat”, menulis tentang keberhasilan Nabi saw dalam mencabut akar-akar kemusyrikan dengan meletakkannya pada perspektif masa depan umat:

“Akar-akar kemusyrikan telah dicerabut dari seluruh penjuru Jazirah Arabia. Bait Umat Manusia yang didirikan oleh Bapak Agama yang Lurus, Ibrahim, telah disucikan diri dari noda-noda keberhalaan, dan hukum Allah dan manusia telah tertanam pula dalam kehidupan masyarakat yang saling bersaudara satu sama lain. Namun Muhammad cukup sadar untuk tidak silau oleh kemenangan-kemenangan yang diraihnya. Dia adalah orang yang mampu memahami umatnya lebih dari siapapun, dan dapat melihat dengan jelas adanya api kemunafikan, dendam kekabilahan, semangat primordial dan moral jahili yang bersembunyi di belakang tabir persatuan umatnya yang telah dibentuk oleh kekuatan iman dan tajamnya pedang politik.

“Muhammad sadar betul bahwa, kendati dia mampu menyatukan para pemimpin kabilah dan pembesar-pembesar Quraisy di bawah panji Islam, namun pendidikan jiwa, penanaman keimanan yang baru di dalam kalbu dan akal umat, dan pematangan sikap beragama yang baru dipisahkan dua puluh tahun dari akal-akal jahiliahnya itu, tidak bisa tidak, masih membutuhkan waktu yang sangat lama dan mesti melalui beberapa generasi.

“Nabi, sejak semula, sudah menyadari adanya ancaman-ancaman tersebut. Namun yang lebih ditakutkannya adalah masa depan umatnya yang belum lama diikat oleh tali persaudaraan keimanan dan yang masih silau dengan kemenangan-kemenangan yang diraihnya bila dia tinggalkan nanti.
 
“Sang ayah akan segera meninggalkan alam semesta ini. Akan tetapi bagaimana nasib bocah yang usianya baru dua puluh tahun dan yang dalam tubuhnya mengeram ratusan penyakit itu, sedangkan dia harus berdiri pada kedua telapak kakinya sendiri -sesudah ayahnya meninggal- seraya harus menghadapi angin kencang yang menerjang dirinya dari segala penjuru?”

Dengan cara apakah sang Ayah melindungi masyarakat Islam yang bocah ini dari bahaya terbentuknya berhala baru? Ia mengamanatkan kepada umatnya untuk mengikuti pembawa agama yang tidak memasukkan kepentingan yang rendah pada ajaran agama, kepada mereka yang dibersihkan dari segala nista dan disucikan Allah sesuci-sucinya, kepada Ahlul Bait yang disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33. Ia bersabda: “Aku tinggalkan bagi kamu dua pusaka yang jika kamu berpegang teguh kepadanya kamu tidak akan sesat selama-lamanya: Kitab Allah dan Ahli Baitku.” Mazhab Ahlul Bait adalah mazhab yang ditegakkan di atas tawhid murni -kecintaan sejati hanya dipersembahkan kepada Allah swt!

Dari Kepongahan Ras kepada Persamaan

Karena suku-suku bangsa ini terasing di sahara, mereka mengembangkan kecintaan kepada suku sebagai cara agar mereka bertahan hidup. Kesetian kepada suku kemudian berkembang menjadi kebanggaan rasial. Mereka senang menghitung prestasi-prestasi sejarah yang diukir oleh nenek-moyangnya. Dari keturunan siapa mereka berasal dijadikan ukuran derajat mereka. Karena itu, dalam bahasa Arab keturunan disebut juga sebagai hasab (berasal dari hasiba, menghitung). 

Nabi saw menghapuskan kebanggaan ras atau etnis. Satu-satunya ukuran kemuliaan adalah amal salih. Ia menyampaikan firman Tuhan: Bagi setiap orang derajat berdasarkan amal yang dilakukannya (QS. Al-An’am: 132). Hakikat kemanusiaan tidak terletak dalam darah tetapi pada akhlaknya. Secara perlahan-lahan, Nabi saw memotong satu demi satu tonggak kepongahan ras.

Ia memotong kebiasaan pernikahan yang didasarkan kepada kesederajatan dalam keturunan. Ia menikahkan budak-budak belian dengan perempuan bangsawan. Ia bersabda, “Aku menikahkan Zaid bin Haritsah kepada Zainab binti Jahasy dan aku menikahkan Miqdad kepada Dhiba’ah binti Zubair bin Abdil Muthallib supaya mereka mengetahui bahwa kemuliaan yang paling tinggi adalah Islam dan bahwa yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bagus keislamannya.” (Kanz Al-Ummâl 313; Makârim Al-Akhlâq 1:452-1546).

Ia memotong kebiasaan orang Arab untuk merendahkan orang ‘Ajam dengan memberikan penghormatan kepada para sahabat yang berasal dari luar Arab, seperti Salman al-Farisi.
 
“Pada suatu hari Salman sedang duduk bersama orang-orang Quraisy di mesjid. Mereka sedang membangga-banggakan keturunan mereka secara bergiliran. Ketika sampai kepada Salman, Umar bin Khatab bertanya kepadanya, ‘Katakan kepadaku siapa kamu? Siapa bapakmu? Apa asal-usulmu?’ Salman menjawab, ‘Aku Salman anak hamba Allah. Dahulu aku tersesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepadaku melalui Muhammad saw. Dahulu aku miskin, lalu Allah memperkaya aku dengan Muhammad. Dahulu aku budak, lalu Allah membebaskan aku dengan Muhammad. Inilah nasabku dan inilah hasab-ku.’
 
“Ketika Nabi keluar dan menemukan Salman berbicara kepada mereka, Salman berkata kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah ingin aku adukan apa yang aku dapatkan dari mereka. Aku duduk bersama mereka dan mereka mulai menjelaskan nasab mereka dan membangga-banggakannya. Ketika sampai kepadaku, Umar bin Khaththab berkata kepadaku: Katakan kepadaku siapa kamu? Siapa bapakmu? Apa asal-usulmu? Aku menjawab aku Salman anak hamba Allah. Dahulu aku tersesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepadaku dengani Muhammad saw. Dahulu aku miskin, lalu Allah memperkaya aku dengan Muhammad. Dahulu aku budak, lalu Allah membebaskan aku dengan Muhammad. Inilah nasabku dan inilah hasabku.’

“Rasulullah saw bersabda, ‘Hai orang-orang Quraisy sesungguhnya hasab manusia itu adalah agamamu, jati dirinya adalah akhlaknya, dan asal-usulnya adalah akalnya. Allah swt berfirman: Sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kamu berbagai suku bangsa dan golongan supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa.’ (QS. Al-Hujurat: 13)’ Selanjutnya Nabi saw berkata kepada Salman: ‘Tidak ada seorangpun di antara mereka yang lebih utama dari kamu kecuali karena ketakwaan kepada Allah. Jika kamu lebih takwa maka kamu lebih utama di atas mereka.’” (Bihâr Al-Anwâr 22:511).

Kepada Salman, Nabi saw juga menyampaikan sabdanya yang terkenal, “Salman dari kami Ahlul Bait”. Pada zaman Imam Ja’far al-Shadiq, Al-Fadhl dengan bapaknya Isa dari keturunan Bani Hasyim menemui Imam Ja’far. Isa bertanya, “Betulkah ucapan Rasulullah saw bahwa Salman seseorang dari kami Ahlul Bait?” Imam menjawab, “Betul.” Ia bertanya, “Jadi dari keturunan Abdul Muthallib?” Imam menjawab, “Dari kami Ahlul Bait.” Ia bertanya lagi, “Jadi dari keturunan Abu Thalib?” Imam menjawab, “Dari kami Ahlul Bait.” Isa berkata kepada Imam: “Aku tidak mengenal (silsilah) dia.” Imam Ja’far berkata, “Ketahuilah, hai Isa, bahwa Salman dari kami Ahlul Bait.” Kemudian Imam merapatkan tangannya ke dadanya seraya berkata, “Hubungan itu tidaklah seperti anggapan kalian. Sesungguhnya Allah menciptakan tanah kami dari tempat yang tinggi dan menciptakan tanah untuk golongan kami di bawah itu. Mereka termasuk golongan kami. Tuhan menciptakan tanah untuk penciptaan musuh kami dari Sijjin, tempat yang paling rendah dan menciptakan golongan mereka di bawah itu. Mereka termasuk golongan mereka. Salman lebih baik dari Luqman.” (Bihâr Al- Anwâr 22:481).

Salman termasuk di antara tonggak-tonggak yang meperkokoh mazhab Ahlul Bait. Tonggak-tonggak lainnya adalah Miqdad, Ammar bin Yasir, dan Abu Dzar. Semuanya tidak berasal dari Bani Hasyim, tetapi mereka semua diciptakan dari bahan tanah yang sama. Pada suatu hari terjadilah perdebatan antara Abu Dzar dengan salah seorang budak yang berkulit hitam. Abu Dzar melontarkan kalimat, “Hai anak perempuan hitam.” Mendengar itu Nabi saw menepuk bahu Abu Dzar, “Thafâ shâ’. Keterlaluan kamu Abu Dzar. Tidak ada kelebihan orang putih di atas orang hitam, tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang ‘Ajam kecuali karena amal salihnya.” Mendengar itu, Abu Dzar merapatkan kepalanya ke tanah. Ia meminta kawannya itu menginjak kepalanya sebagai tebusan atas kepongahan ras yang secara tidak sengaja tampak keluar dari mulutnya.
 
Misi Rasulullah saw itu dilanjutkan oleh para pengikutnya sepanjang sejarah. Sekali-kali kebiasaan jahiliah muncul, tetapi para mukmin yang salih mengembalikannya lagi pada Sunnah Nabi. Pada zaman Umayyah, misalnya, dibedakan antara orang Arab dengan bukan Arab. Tetapi tradisi Umawiyyin ini tidak berbekas banyak pada kaum Muslimin. Suatu saat para budak berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan kerajaan Islam dengan nama Dinasti Budak (Mamlûk).
 
Ketika Declaration of Human Rights dikumandangkan, umat Islam disadarkan kembali pada warisan mulia dari Nabi mereka. Warisan yang terkadang kita onggokkan dalam puing-puing sejarah keemasan Islam. Simaklah bagaimana Syaikh Ja’far Subhani menulis pada kalimat-kalimat terakhir bukunya, “Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah saw”: “Beliau menegakkan hak-hak manusia ketika hak-hak itu sedang diserobot; beliau melaksanakan keadilan ketika kezaliman merajalela dimana-mana; beliau memperkenalkan kesamaan ketika diskriminasi yang tak semestinya sedang lumrah; beliau memberikan kebebasan ketika manusia sedang berkeluh kesah dalam penindasan, kekejaman dan ketidak-adilan.

“Beliau membawa risalah yang mengajarkan manusia untuk taat dan bertakwa kepada Allah saja, memohon pertolongan dari Dia saja. Risalahnya yang universal meliputi semua aspek kehidupan manusia, termasuk hak-hak, keadilan, persamaan, dan kebebasan.
“Inilah risalah yang manusia, sekali lagi, telah kehilangan bimbingannya. Maka, mengapakah kita tidak datang lagi ke bawah naungannya agar umat manusia terselamatkan dari kehancuran dan dapat mencapai kedamaian, kemajuan dan kebahagiaan....”(Majulah Ijabi)

Kirim komentar