Tolong Anda jelaskan tentang dua aliran Muktazilah, Muktazilah Baghdad dan Muktazilah Bashrah? Demikian juga sehubungan dengan ulama dan keyakinan-keyakinan mereka?
Muktazilah adalah salah satu aliran pemikiran yang menggandrungi pemikiran-pemikiran rasional. Para pemeluk mazhab ini berusaha memadukan antara akal dan agama.[1]
Untuk menjelaskan batasan mazhabnya, mereka menetapkan sebuah prinsip (ushûl) dan siapa saja yang tidak berpegang pada lima prinsip (al-ushûl al-khamsah) mazhab Muktazilah ini maka ia tidak tergolong sebagai pemeluk mazhab Muktazilah.
Atas dasar itu, seluruh penganut ajaran Muktazilah apa pun kecendrungan dan pemikirannya harus berpegang pada lima prinsip berikut ini:
1. Tauhid
2. Keadilan
3. Wa’d (janji baik) dan Wa’id (janji buruk)
4. Tempat di antara dua tempat (Manzil baina manzilatain)
5. Amar makruf dan nahi mungkar
Untuk telaah lebih jauh dalam hal ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada indeks: Prinsip-Prinsip Akidah Muktazilah, Pertanyaan 8864.
Meski demikian, mereka memiliki juga perbedaan dalam sikap dalam mengikuti argumen-argumen rasional yang mereka bangun. Hal ini telah menyebabkan munculnya akidah-akidah yang berbeda dan bahkan terkadang saling bertentangan. Perbedaan ini telah menjadi faktor munculnya ragam aliran dan kelompok dalam mazhab Muktazilah.
Salah satu aliran dan kelompok yang penting dalam mazhab adalah pembagian yang mereka lakukan menjadi dua madrasah mengikut letak geografis dengan nama madrasah Bashrah dan madrasah Baghdad.
Kota Bashrah adalah salah satu kota dimana Muktazilah berdiri pada awal abad kedua Hijriah. Pendiri madrasah ini dapat disebut sebagai bapak pendiri mazhab Muktazilah yang pada umumnya para pemeluk mazhab Muktazilah memandang Washil bin Atha. Muktazilah berdiri di kota ini dan bahkan dapat dikatakan bahwa masa baligh dan berseminya Muktazilah bermula dari kota ini.
Madrasah Baghdad juga muncul pada akhir abad kedua Hijriah. Madrasah ini didirikan oleh seorang bernama Bisyr bin Mu’tamir. Ia belajar ajaran Muktazilah pada Bisyrin bin Abu Utsman Zafarani yang merupakan salah seorang sahabat Washil bin Atha.[2] Kemudian ia hijrah ke Baghdad dan mendirikan madrasah (Muktazilah) Baghdad dan mengajak warga sekitar untuk masuk memeluk aliran ini. Orang-orang menyebutkan bahwa ia adalah salah seorang guru besar dalam bidang syair.[3]
Kita tidak memiliki banyak literatur yang menyebutkan alasan terkait dengan faktor apa yang menyebabkan terpisahnya dua kelompok ini dan membuat sebagian penganut mazhab Muktazilah meninggalkan Bashrah menuju Baghdad. Namun sebab-sebab ini dapat dipahami melalui teks-teks yang ada yang membahas tentang mazhab Muktazilah.
Namun secara pasti, salah satu faktor terpenting terpisahkan dua kelompok penganut mazhab Muktazilah adalah perbedaan pandangan politik yang sangat berpengaruh dalam keyakinan dua aliran Muktazilah ini.
Pada umumnya, penganut mazhab Muktazilah di samping pandangan-pandangan ideologis dan keyakinan-keyakinan yang mereka anut, mereka juga memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam masalah-masalah politik. Prinsip amar makruf dan nahi mungkar mengkondisikan mereka untuk tidak bersikap diam dalam masalah politik dan menyatakan keyakinan mereka.
Sebagai contoh Washil bin Atha, sehubungan dengan perang Jamal dan Shiffin yang memecah dua barisan kelompok Muslim, meyakini bahwa salah dari dua kelompok yang bertikai berada pada pihak yang salah (tanpa kita diketahui kelompok yang mana).[4]
Pandangan ini dan pandangan-pandangan semisalnya bagi para pengikut mazhab Muktazilah tidak dapat menerima Ali bin Abi Thalib As berada di pihak yang salah. Sebagian mereka berpandangan bahwa mustahil Ali bin Abi Thalib As berada di pihak yang sesat dari dua kelompok yang bertikai pada perang Shiffin. Hal ini telah menyebabkan munculnya perbedaan pendapat yang tajam dan memiliki saham penting atas terpisahnya dua aliran mazhab Muktazilah ini.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kecendrungan Syiah yang terdapat pada Muktazilah Baghdad lebih tinggi dan dominan ketimbang Muktazilah Bashrah sedemikian sehingga disebutkan bahwa Ja’farain dan Iskafi merupakan pengikut mazhab Syiah Zaidiyah.[5]
Namun klaim bahwa perbedaan dua aliran ini hanya berdasarkan masalah politik dan segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah politik adalah klaim yang tidak berdasar bahkan hal ini merupakan salah satu dalil yang menyebabkan terpecahnya dua kelompok Muktazilah ini. Setelah itu, dua kelompok ini banyak menjumpai ikhtilaf dalam masalah-masalah istinbâth (inferensi) hukum mereka.
Masing-masing dari dua aliran ini berusaha dalam merealisasikan tujuan-tujuannya dan hal ini telah menyebabkan tersebarnya dua aliran dan madrasah ini. Masing-masing memiliki ulama-ulama yang terkenal yang akan kita singgung secara ringkas sebagaimana berikut:
Bashrah sebagai sentral berdirinya mazhab Muktazilah banyak memiliki ulama. Washil bin Atha sebagai pendiri mazhab ini merupakan salah satu pilar ulama Muktazilah Bashrah. Abu Hudzail dan Nazzham merupakan dua tokoh besar Muktazilah Bashrah yang banyak mengangkat masalah-masalah baru dalam pembahasan-pembahasan teologis. Ibad bin Sulaiman juga merupakan salah seorang pembesar Muktazilah. Abu Ali Jubbai dan putranya Abu Hasyim yang lebih dikenal dengan gelar Syaikhahin merupakan ulama-ulama Muktazilah belakangan. Keduanya telah meniupkan semangat baru dalam pembahasan-pembahasan teologis.
Madrasah Baghdad juga memiliki ulama-ulama terkenal. Bisyr bin Mu’tamir yang merupakan bapak pendiri madrasah Baghdad menyebutkan dua ribu syair dan membantah para penentangnya dalam dua ribu syair tersebut. Abu Musa Muradi juga merupakan salah satu ulama besar yang terkenal dengan ibadah dan banyak orang menjulukinya sebagai Rahib Muktazilah. Dan murid-murid unggul lainnya seperti Jafar bin Harb dan Ja’far bin Mubasyyir yang umumnya disebut sebagai Ja’fariyain dan demikian juga alim terkemuka lainnya misalnya Abu Ja’far Iskafi yang disebutkan memiliki sembilan puluh karya dalam ilmu Kalam (Teologi).[6]
Adapun terkait dengan keyakinan-keyakinan dua aliran Muktazilah ini kita tidak memiliki banyak literatur dan pada umumnya keyakinan-keyakinan mereka disebutkan dalam literatur-literatur non-Muktazilah dan disebutkan dari literature-literatur tersebut dan kita akan mencukupkan diri dengan menyebutkan sebagiannya di sini:
Abu Hudzail Allaf yang merupakan salah satu ulama bear Muktazilah Bashrah menolak konsep sifat yang berbeda dari zat Allah Swt. Pendapat ini kemudian menjadi pusat perhatian seluruh pengikut Muktazilah. Meski terdapat banyak perbedaan di antara mereka terkait dengan penyifatan zat terhadap sifat ini.
Ibrahim Nazzham juga meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kemaslahatan pada hamba-Nya. Manusia adalah ruh (itu sendiri) dan ruh adalah benda lunak (latif) yang berada dalam benda katsif (padat) ini. Dan bahwa Allah Swt mencipta seluruh entitas pada satu waktu dan penciptaan Adam tidak mendahului penciptaan anak-anaknya.
Bisyr bin Mu’tamir sebagai pendiri Muktazilah Baghdad juga memiliki beberapa keyakinan meski keyakinan-keyakinan ini tidak diterima oleh kebanyakan warga Bashrah. Misalnya keyakinan bahwa Allah Swt tidak bersahabat dengan orang beriman ketika ia beriman dan tidak membenci orang kafir dalam kekafirannya. Atau apabila Allah Swt bersikap pemurah kepada orang-orang kafir maka mereka pasti beriman kepada-Nya. Bagi orang-orang berakal, alangkah baiknya Allah Swt menempatkan orang-orang berakal pada mulanya di surga dan memuliakan mereka berkat masalah ini.[7]
Ja’far bin Mubassyir salah seorang ulama besar Muktazilah Baghdad meyakini bahwa, “Akal menghukumi bahwa pendosa dalam azab neraka (berbeda dengan pandangan orang-orang yang memandang bahwa hukum ini adalah sesuai dengan tuntutan syariat bukan akal).[8] Seseorang yang mencuri satu biji atau kurang dari satu biji maka ia akan selamanya berada dalam neraka.”[9]
Ulama Muktazilah Baghdad seperti Jafar bin Harb dan Ja’far bin Mubassyir serta Iskafi berusaha mengembalikan sikap-sikap Muktazilah hingga pada batasan tertentu keyakinan mazhabnya. Mereka meyakini kebenaran Imam Ali As dan kesalahan Thalha, Zubair dan Aisyah.[10]
Mereka juga meyakini bahwa Ali As lebih utama setelah Rasulullah Saw meski Abu Hudzail meyakini terhadap kesamaan kedudukan antara Ali dan Abu Bakar.[11]
Harap diperhatikan bahwa pembagian aliran menjadi aliran Muktazilah Bashrah dan Muktazilah Baghdad dewasa ini kehilangan batas demarkasi geografisnya dan sekarang ini berubah menjadi semata-mata sebuah terminologi.[12]
Terdapat pembagian lain terkait dengan mazhab Muktazilah yang ada baiknya kita singgung tentang hal tersebut sebagaimana berikut:
Berdasarkan tingkatan, terdapat pembagian yang dilakukan Muktazilah belakangan. Qadhi Abduljabbar membagi Muktazilah menjadi sepuluh tingkatan. Para khalifah sebagai tingkatan pertama. Hasan bin Ali, Husain bin Ali As dan Muhammad bin Hanafiyah sebagai tingkatan kedua. Tingkatan ketiga, Washil bin Atha dan tingkatan keempat Amru bin Ubaid dan lain sebagianya. Akan tetapi pembagian setelahnya mengalami perubahan.[13] Muktazilah demikian juga terbagi menjadi masa lalu dan masa kontemporer. Pada masa-masa lalu bermula semenjak berdirinya mazhab ini hingga masa Mutawakkil Abbasi pada tahun 234 H – 848 H.[14]
Mutawakkil berbeda dengan para penguasa Bani Abbasiyah sebelumnya, tidak hanya berlaku buruk kepada para penganut mazhab Muktaizlah bahkan dengan paksaan dan desakan mencegah tersebarnya akidah Muktazilah dan bahkan mengusir pengikut mazhab Muktazilah.[15] Hingga beberapa dekade belakangan (pasca Mutawakkil), Muktazilah dapat menghirup udara baru dimana periode akhir Muktazilah bermula pada masa itu. [iQuest]
Untuk menjelaskan batasan mazhabnya, mereka menetapkan sebuah prinsip (ushûl) dan siapa saja yang tidak berpegang pada lima prinsip (al-ushûl al-khamsah) mazhab Muktazilah ini maka ia tidak tergolong sebagai pemeluk mazhab Muktazilah.
Atas dasar itu, seluruh penganut ajaran Muktazilah apa pun kecendrungan dan pemikirannya harus berpegang pada lima prinsip berikut ini:
1. Tauhid
2. Keadilan
3. Wa’d (janji baik) dan Wa’id (janji buruk)
4. Tempat di antara dua tempat (Manzil baina manzilatain)
5. Amar makruf dan nahi mungkar
Untuk telaah lebih jauh dalam hal ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada indeks: Prinsip-Prinsip Akidah Muktazilah, Pertanyaan 8864.
Meski demikian, mereka memiliki juga perbedaan dalam sikap dalam mengikuti argumen-argumen rasional yang mereka bangun. Hal ini telah menyebabkan munculnya akidah-akidah yang berbeda dan bahkan terkadang saling bertentangan. Perbedaan ini telah menjadi faktor munculnya ragam aliran dan kelompok dalam mazhab Muktazilah.
Salah satu aliran dan kelompok yang penting dalam mazhab adalah pembagian yang mereka lakukan menjadi dua madrasah mengikut letak geografis dengan nama madrasah Bashrah dan madrasah Baghdad.
Kota Bashrah adalah salah satu kota dimana Muktazilah berdiri pada awal abad kedua Hijriah. Pendiri madrasah ini dapat disebut sebagai bapak pendiri mazhab Muktazilah yang pada umumnya para pemeluk mazhab Muktazilah memandang Washil bin Atha. Muktazilah berdiri di kota ini dan bahkan dapat dikatakan bahwa masa baligh dan berseminya Muktazilah bermula dari kota ini.
Madrasah Baghdad juga muncul pada akhir abad kedua Hijriah. Madrasah ini didirikan oleh seorang bernama Bisyr bin Mu’tamir. Ia belajar ajaran Muktazilah pada Bisyrin bin Abu Utsman Zafarani yang merupakan salah seorang sahabat Washil bin Atha.[2] Kemudian ia hijrah ke Baghdad dan mendirikan madrasah (Muktazilah) Baghdad dan mengajak warga sekitar untuk masuk memeluk aliran ini. Orang-orang menyebutkan bahwa ia adalah salah seorang guru besar dalam bidang syair.[3]
Kita tidak memiliki banyak literatur yang menyebutkan alasan terkait dengan faktor apa yang menyebabkan terpisahnya dua kelompok ini dan membuat sebagian penganut mazhab Muktazilah meninggalkan Bashrah menuju Baghdad. Namun sebab-sebab ini dapat dipahami melalui teks-teks yang ada yang membahas tentang mazhab Muktazilah.
Namun secara pasti, salah satu faktor terpenting terpisahkan dua kelompok penganut mazhab Muktazilah adalah perbedaan pandangan politik yang sangat berpengaruh dalam keyakinan dua aliran Muktazilah ini.
Pada umumnya, penganut mazhab Muktazilah di samping pandangan-pandangan ideologis dan keyakinan-keyakinan yang mereka anut, mereka juga memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam masalah-masalah politik. Prinsip amar makruf dan nahi mungkar mengkondisikan mereka untuk tidak bersikap diam dalam masalah politik dan menyatakan keyakinan mereka.
Sebagai contoh Washil bin Atha, sehubungan dengan perang Jamal dan Shiffin yang memecah dua barisan kelompok Muslim, meyakini bahwa salah dari dua kelompok yang bertikai berada pada pihak yang salah (tanpa kita diketahui kelompok yang mana).[4]
Pandangan ini dan pandangan-pandangan semisalnya bagi para pengikut mazhab Muktazilah tidak dapat menerima Ali bin Abi Thalib As berada di pihak yang salah. Sebagian mereka berpandangan bahwa mustahil Ali bin Abi Thalib As berada di pihak yang sesat dari dua kelompok yang bertikai pada perang Shiffin. Hal ini telah menyebabkan munculnya perbedaan pendapat yang tajam dan memiliki saham penting atas terpisahnya dua aliran mazhab Muktazilah ini.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kecendrungan Syiah yang terdapat pada Muktazilah Baghdad lebih tinggi dan dominan ketimbang Muktazilah Bashrah sedemikian sehingga disebutkan bahwa Ja’farain dan Iskafi merupakan pengikut mazhab Syiah Zaidiyah.[5]
Namun klaim bahwa perbedaan dua aliran ini hanya berdasarkan masalah politik dan segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah politik adalah klaim yang tidak berdasar bahkan hal ini merupakan salah satu dalil yang menyebabkan terpecahnya dua kelompok Muktazilah ini. Setelah itu, dua kelompok ini banyak menjumpai ikhtilaf dalam masalah-masalah istinbâth (inferensi) hukum mereka.
Masing-masing dari dua aliran ini berusaha dalam merealisasikan tujuan-tujuannya dan hal ini telah menyebabkan tersebarnya dua aliran dan madrasah ini. Masing-masing memiliki ulama-ulama yang terkenal yang akan kita singgung secara ringkas sebagaimana berikut:
Bashrah sebagai sentral berdirinya mazhab Muktazilah banyak memiliki ulama. Washil bin Atha sebagai pendiri mazhab ini merupakan salah satu pilar ulama Muktazilah Bashrah. Abu Hudzail dan Nazzham merupakan dua tokoh besar Muktazilah Bashrah yang banyak mengangkat masalah-masalah baru dalam pembahasan-pembahasan teologis. Ibad bin Sulaiman juga merupakan salah seorang pembesar Muktazilah. Abu Ali Jubbai dan putranya Abu Hasyim yang lebih dikenal dengan gelar Syaikhahin merupakan ulama-ulama Muktazilah belakangan. Keduanya telah meniupkan semangat baru dalam pembahasan-pembahasan teologis.
Madrasah Baghdad juga memiliki ulama-ulama terkenal. Bisyr bin Mu’tamir yang merupakan bapak pendiri madrasah Baghdad menyebutkan dua ribu syair dan membantah para penentangnya dalam dua ribu syair tersebut. Abu Musa Muradi juga merupakan salah satu ulama besar yang terkenal dengan ibadah dan banyak orang menjulukinya sebagai Rahib Muktazilah. Dan murid-murid unggul lainnya seperti Jafar bin Harb dan Ja’far bin Mubasyyir yang umumnya disebut sebagai Ja’fariyain dan demikian juga alim terkemuka lainnya misalnya Abu Ja’far Iskafi yang disebutkan memiliki sembilan puluh karya dalam ilmu Kalam (Teologi).[6]
Adapun terkait dengan keyakinan-keyakinan dua aliran Muktazilah ini kita tidak memiliki banyak literatur dan pada umumnya keyakinan-keyakinan mereka disebutkan dalam literatur-literatur non-Muktazilah dan disebutkan dari literature-literatur tersebut dan kita akan mencukupkan diri dengan menyebutkan sebagiannya di sini:
Abu Hudzail Allaf yang merupakan salah satu ulama bear Muktazilah Bashrah menolak konsep sifat yang berbeda dari zat Allah Swt. Pendapat ini kemudian menjadi pusat perhatian seluruh pengikut Muktazilah. Meski terdapat banyak perbedaan di antara mereka terkait dengan penyifatan zat terhadap sifat ini.
Ibrahim Nazzham juga meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kemaslahatan pada hamba-Nya. Manusia adalah ruh (itu sendiri) dan ruh adalah benda lunak (latif) yang berada dalam benda katsif (padat) ini. Dan bahwa Allah Swt mencipta seluruh entitas pada satu waktu dan penciptaan Adam tidak mendahului penciptaan anak-anaknya.
Bisyr bin Mu’tamir sebagai pendiri Muktazilah Baghdad juga memiliki beberapa keyakinan meski keyakinan-keyakinan ini tidak diterima oleh kebanyakan warga Bashrah. Misalnya keyakinan bahwa Allah Swt tidak bersahabat dengan orang beriman ketika ia beriman dan tidak membenci orang kafir dalam kekafirannya. Atau apabila Allah Swt bersikap pemurah kepada orang-orang kafir maka mereka pasti beriman kepada-Nya. Bagi orang-orang berakal, alangkah baiknya Allah Swt menempatkan orang-orang berakal pada mulanya di surga dan memuliakan mereka berkat masalah ini.[7]
Ja’far bin Mubassyir salah seorang ulama besar Muktazilah Baghdad meyakini bahwa, “Akal menghukumi bahwa pendosa dalam azab neraka (berbeda dengan pandangan orang-orang yang memandang bahwa hukum ini adalah sesuai dengan tuntutan syariat bukan akal).[8] Seseorang yang mencuri satu biji atau kurang dari satu biji maka ia akan selamanya berada dalam neraka.”[9]
Ulama Muktazilah Baghdad seperti Jafar bin Harb dan Ja’far bin Mubassyir serta Iskafi berusaha mengembalikan sikap-sikap Muktazilah hingga pada batasan tertentu keyakinan mazhabnya. Mereka meyakini kebenaran Imam Ali As dan kesalahan Thalha, Zubair dan Aisyah.[10]
Mereka juga meyakini bahwa Ali As lebih utama setelah Rasulullah Saw meski Abu Hudzail meyakini terhadap kesamaan kedudukan antara Ali dan Abu Bakar.[11]
Harap diperhatikan bahwa pembagian aliran menjadi aliran Muktazilah Bashrah dan Muktazilah Baghdad dewasa ini kehilangan batas demarkasi geografisnya dan sekarang ini berubah menjadi semata-mata sebuah terminologi.[12]
Terdapat pembagian lain terkait dengan mazhab Muktazilah yang ada baiknya kita singgung tentang hal tersebut sebagaimana berikut:
Berdasarkan tingkatan, terdapat pembagian yang dilakukan Muktazilah belakangan. Qadhi Abduljabbar membagi Muktazilah menjadi sepuluh tingkatan. Para khalifah sebagai tingkatan pertama. Hasan bin Ali, Husain bin Ali As dan Muhammad bin Hanafiyah sebagai tingkatan kedua. Tingkatan ketiga, Washil bin Atha dan tingkatan keempat Amru bin Ubaid dan lain sebagianya. Akan tetapi pembagian setelahnya mengalami perubahan.[13] Muktazilah demikian juga terbagi menjadi masa lalu dan masa kontemporer. Pada masa-masa lalu bermula semenjak berdirinya mazhab ini hingga masa Mutawakkil Abbasi pada tahun 234 H – 848 H.[14]
Mutawakkil berbeda dengan para penguasa Bani Abbasiyah sebelumnya, tidak hanya berlaku buruk kepada para penganut mazhab Muktaizlah bahkan dengan paksaan dan desakan mencegah tersebarnya akidah Muktazilah dan bahkan mengusir pengikut mazhab Muktazilah.[15] Hingga beberapa dekade belakangan (pasca Mutawakkil), Muktazilah dapat menghirup udara baru dimana periode akhir Muktazilah bermula pada masa itu. [iQuest]
[1]. Untuk telaah dan mengenal lebih jauh silahkan lihat, “Ragam Pendapat ihwal Berdirinya Muktazilah dan Pengaruhnya” Jawaban No. 8688 yang terdapat pada site ini.
[2]. Mahdi Farmaniyan, Furuq Tasannun, hal. 311, Nasyr Adyan, 1386, Qum.
[3]. Muhammad Ibrahim Fayumi, al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, hal. 338, Dar al-Fikr al-‘Arabi, 2002, Kairo.
[4]. Ahmad Syauqi al-‘Umraji, Al-Mu’tazilah fi Baghdâd wa Âtsâruhum fi al-Hayât al-Fikriyah wa al-Siyasiyah, hal. 149, Maktab Madbuli, 2002, Kairo.
[5]. Al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, hal. 353.
[6]. Ibid, hal. 135.
[7]. Ja’far Subhani, Buhûts fi al-Milal wa al-Nihal, hal. 263, al-Dar al-Islamiyah, Beirut.
[8]. Ibid, hal. 356.
[9]. Ibid, hal. 364.
[10]. Al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, hal. 353.
[11]. Ibid, hal. 339.
[12]. Furuq Tasannun, hal. 316.
[13]. Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, hal. 305.
[14]. Furuq Tasannun, hal. 315.
[15]. Al-Mu’tazilah fi Baghdâd wa Âtsâruhum fi al-Hayât al-Fikriyah wa al-Siyasiyah, hal. 78. (http://islamquest.net/id)
Kirim komentar